Part 3.

1 0 0
                                    

#Misteritapakjajo
#part3
Oleh Adhe Afrilia

Mereka terpukau melihat kalung emas itu dan aku membayangkan calon ibu-ibu di depan toko emas. Aku terbahak-bahak.

Shinta melotot garang, Marie menyipitkan matanya lancip, Duna menaikkan alisnya karena bentuk segaris di bawah alis itu sudah maksimal. Mereka marah. Fix. Aku terdiam karena tertawa sendiri itu tidak menyenangkan.

Kalung berwarna emas dan berukir bunga teratai dan ada batu merah kecoklatan itu terlihat tidak asing. Sialnya sudah tak kondusif seperti ini pun, tiba-tiba di telingaku seolah terdengar lagu itu.  Let it go, let it go
Can't hold it back anymore.

"Elsa do you wanna build a snowman?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan seringai pada wajahku.

"Pubi ini tidak lucu!" Marie membentak sengit, tak aneh, bisa dibayangkan dia akan menjadi ibu-ibu seperti apa di masa depan. Tapi, aku simpan lagi tawaku, melihat tiga sahabatku sudah berubah merah.

Mama dan Ayahku orang Palembang. Sewaktu kecil, mama pernah memasangkan kalung yang mirip seperti itu padaku, sewaktu pagelaran baju adat. Aku membuka google dan mencari informasi.

Kalung adat Palembang itu bernama kalung tapak jajo. Sekilas dia memang terlihat mirip hanya saja, kalung ini tidak bertumpuk tiga seperti kalung tapak jajo yang seharusnya. Aku menunjukkan informasi itu pada mereka.

Marie serta merta menggigit kalung. Aksi barbar dan sifat primitif yang ia lakukan membuat kami bertiga melihat jijik.

"Jorok!" Shinta menarik kembali kalung itu, mengelap kalung, mencium kalung, melakukan itu berulang-ulang.

"Aku pernah melihatnya di film itu cara membuktikan itu kalung emas apa bukan!" Marie menaikkan sudut bibirnya kesal.

"Gak mesti jorok gitu juga keleus!" ujar Duna mengolok Marie. Sementara Marie mengacungkan dua jari di udara seraya bersumpah dia rajin gosok gigi. Aku semakin terbahak-bahak. Hatiku terasa hangat, seperti menghirup sup di musim hujan. Sepertinya sudah cukup lama sekali kami tidak berkumpul akrab di rumah seperti ini sebelumnya, terakhir mungkin kelas tiga SD.

Shinta menghentikan tawa kami bertiga. Si cengeng itu tak berubah dia menangis tersedu-sedu dengan segala kehalusan perasaannya. Dia meminta maaf telah menyembunyikan kalung itu. Dia merasa dirinya egois menginginkan kalung itu untuk dirinya sendiri. Dia berkata kalau dia takut kalung itu adalah kalung kutukan penyebab kami bertiga berhalusinasi.

Cukup lama kami harus menghentikan tangis Shinta. Aku dan Duna yang paling berusaha keras. Marie hanya sibuk memandang kami bergantian sambil terbengong-bengong.

"Hei kalung itu cantik, kalau kau tak mau memakainya aku mau!" ujar Marie.

"Marie!" Duna melototi Marie. Memang Marie sangat tidak sensitif membuat aku yakin dialah sosok Bu Tedjo di masa depan.

"Bercanda eh serius eh bercanda!" ujar Marie. Aku hanya bisa menggeleng karena aku melihat dia menautkan jari di belakang punggung.

"Shinta, kalung itu milikmu, kau yang menemukannya!" ucapku tegas meskipun aku tahu Marie melirikku sebal. Untungnya Duna mendukung aku. Duna mengatakan pada Shinta, kami tidak terlalu peduli kalau Shinta ingin memiliki kalung itu untuk dirinya sendiri. Meskipun aku tahu Duna salah, terang benderang kenyataan Marie menginginkan kalung itu.

Yah, tidak ada sesuatu yang berkilau dan cantik yang tidak diinginkan Marie sejak kecil. Kami semua tahu itu. Tetapi akhirnya Marie mengatakan hal yang dewasa, bahwa kami harus mencari tahu hubungan kalung itu dengan Maya atau keyakinan kami bertiga bahwa Maya itu ada agar kami bisa tenang menjalani kehidupan tanpa pertanyaan mengusik.

Misteri Tapak JajoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora