Bab 7: CONVERSATION

79 11 0
                                    

Pak Carlos berdiri di depan kelas sambil memegang buku materi. Dia mengenakan kemeja biru cerah dengan garis-garis tipis berwarna putih. Sepatu pantofel hitam dengan hak pendek terpasang sempurna di kakinya. Rambutnya dipotong dengan model bowl cut atau rambut mangkok. Alis tebal, hidung mancung, dan memiliki badan yang cukup tinggi dan proporsional. Kalau dilihat dari tampangnya, Pak Carlos sebenarnya cocok jadi model. Dia juga belum menikah. Berdasarkan tebakanku, umur Pak Carlos sekarang mungkin antara 30 – 35 tahun.

"Pelajaran kita sudah sampai mana?" tanya Pak Carlos sambil membolak-balik lembaran buku. Salah seorang murid perempuan memberitahukan halaman terakhir yang kami pelajari. Setelah membuka halaman yang disebutkan, Pak Carlos meletakkan bukunya di meja guru. Dia menulis kata conversation di papan tulis, kemudian kembali berbalik menghadap kami.

"Baik...," Pak Carlos mengatupkan telapak tangannya di bawah dada hingga menimbulkan bunyi. Gerakan yang sering sekali dia lakukan. Kadang ada beberapa murid yang berlomba menghitung berapa banyak Pak Carlos mengatupkan telapak tangannya selama jam pelajarannya berlangsung. "Berhubung ujian kelulusan tidak akan lama lagi, jadi hari ini kita akan praktek conversation." Sebagian murid menyoraki Pak Carlos. Belajar teorinya saja buat sebagian murid sudah sangat susah, apalagi diminta praktek. Bisa keringat dingin atau berdiri mematung di depan kelas.

"Kalau sepatu Converse saya mau, Pak," celetuk Andi.

"Kalau itu saya juga mau. Tapi..., kali ini kamu harus praktek conversation dulu untuk bisa mendapatkan sepatu Converse. Coba tirukan, con-ver-sa-tion!" Pak Carlos sengaja membuat intonasinya kebule-bulean dengan bibir yang dimonyong-monyongkan.

"Tapi, kalau saya berhasil praktek, Pak Carlos belikan saya sepatu Converse, ya," tantang Andi.

"Boleh, akan saya belikan, tapi KW 7, ya." Pak Carlos tersenyum penuh kemenangan. Seisi kelas sontak tertawa mendengar kalimat terakhir Pak Carlos, termasuk Andi. Produk KW 1 saja kualitasnya buruk, gampang rusak, dan tidak nyaman saat dipakai. Apalagi kualitas KW 7. Sudah pasti sangat hancur-hancuran.

"Baik...," Pak Carlos kembali mengatupkan telapak tangannya. "Karena kalian nggak mungkin bisa praktek conversation sama tuyul, jadi kita akan tentukan siapa yang akan menjadi pasangan kalian." Seluruh murid kembali tertawa dan mulai terdengar celetukan menggelitik yang tak kalah mengundang tawa. Begitulah setiap kali Pak Carlos mengajar. Mungkin dia tahu kalau pelajaran bahasa Inggris itu tidak mudah sehingga Pak Carlos selalu membuat suasana kelas cair terlebih dahulu sebelum memberikan materi. Aku sangat menyukai cara Pak carlos mengajar. Aku bisa ikut tertawa lepas dan seketika rasa sakit di tubuhku terasa menghilang.

"Baik...," Pak Carlos mengatupkan telapak tangannya lagi. "Sekarang kita akan menentukan siapa yang menjadi pasangan kalian," lanjutnya kemudian. Berhubung jumlah antara murid lelaki dan perempuan di kelasku imbang, Pak Carlos meminta para murid lelaki untuk menulis nama mereka di secarik kertas lalu mengumpulkannya. Dia juga meminta ketua kelas untuk menuliskan nama murid perempuan di papan tulis. Setelah semua kertas terkumpul, Pak Carlos mulai membacakan nama-nama yang ada di kertas dan ketua kelas bertugas menuliskannya di papan tulis hingga terbentuklah pasangan-pasangan yang akan praktek conversation nanti.

"Mika akan berpasangan dengan...," Pak Carlos membuka lipatan kertas. "Arsa," lanjutnya.

Aku dan Arsa saling berpandangan. Arsa tersenyum tipis.  Aku menepuk jidat. Sebenarnya aku senang berpasangan dengan Arsa, tapi sahabatku itu tidak terlalu pandai dalam pelajaran bahasa Inggris. Aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengajarinya.

"Sekarang, temui pasangan kalian. Nggak usah malu-malu. Santai aja kayak di pantai," kata Pak Carlos meminta semua murid untuk pindah tempat duduk sesuai dengan nama pasangan mereka masing-masing. Suasana kelas menjadi ramai. Suara kaki kursi dan kaki meja yang beradu dengan lantai mengisi ruangan.

Arsa berdiri dari kursinya lalu memnghampiriku. Kami duduk di bangku paling belakang, di tempatku biasa duduk. Arsa tahu kalau aku tidak nyaman duduk di tempat lain.

"Semua sudah bertemu pasangannya masing-masing, kan?" tanya Pak Carlos.

"Sudah, Pak." Semua murid menjawab serentak.

"Oke. Kalian harus setia satu sama lain, ya. Jangan gonta-ganti pasangan. Kata nenek itu berbahaya. Bisa kena HIV." Semua murid kembali tertawa.

"Tugas kalian sekarang adalah membuat percakapan dalam bahasa Inggris dengan tema My Dream. Ceritakan apa yang menjadi mimpi kalian, lalu hapalkan apa yang kalian tulis. Kita akan praktek di depan kelas."

"Prakteknya kapan, Pak?" tanya Arsa.

"Dua minggu dari sekarang."

Semua murid menyoraki Pak Carlos. Mereka mengeluh kalau waktu yang diberikan terlalu cepat.

"Waktunya terlalu cepat, ya?" Pak Carlos pura-pura menyesal.

"Iya, Pak." Semua serentak menjawab.

"Oke...," Pak Carlos memasang wajah sedang berpikir. "Kalau begitu kita akan praktek minggu depan." Pak Carlos tersenyum.

"Jangan, Pak...." Semua murid keberatan kalau praktek percakapan itu akan diadakan minggu depan. Akhirnya, para murid setuju dengan waktu selama dua minggu untuk mempersiapkan tugas praktek conversation. Pak Carlos mempersilakan setiap pasangan untuk membahas topik conversation mereka nanti. Aku menulis "My Dream" di bagian atas buku tulisku.

"Jadi, mimpi lu apa, Sa?" tanyaku bersiap menuliskan mimpi-mimpi Arsa.

"Setia sama pasangan." Arsa menirukan ucapan Pak Carlos. Kami tertawa.

"Serius, ah. Jadi, apa nih mimpi lu?"

"Gue pingin jadi pelukis terkenal."

Tebakanku benar.

"Sekarang kita ceritain dulu mimpi kita dalam bahasa Inggris secara detail, baru nanti percakapannya kita kembangin sama-sama," kataku memberi perintah. Aku kembali fokus pada buku tulisku. Kutulis semua yang menjadi keinginanku. Di sebelahku, Arsa juga fokus pada kertasnya, tapi dia tidak menulis sepatah kata pun. Dia sibuk melukis. Diam-diam Arsa memandang wajahku, kemudian melukis detail yang baru saja dia perhatikan. Arsa melakukannya beberapa kali. Aku meletakkan pulpen di samping buku tulisku, kemudian meregangkan tubuh. Aku melirik kertas Arsa dan dalam sekejap mataku membelalak.

"Arsa, lu kok malah gambar, sih? Bukannya bikin kalimat."

Arsa buru-buru menutup buku tulisnya supaya aku tidak melihat apa yang dia gambar.

"Bingung gue mau nulis apa. Lu kan tahu gue nggak pinter bahasa Inggris."

Aku mengembuskan napas. Dari awal aku tahu kalau Arsa akan kesulitan dalam mata pelajaran yang satu ini.

"Gini, deh. Lu ceritain apa mimpi lu dalam bahasa Indonesia, tapi nggak boleh satu kalimat doang, ya. Lu tulis di kertas, terus nanti kasih ke gue. Biar gue terjemahin. Nanti lu tinggal ngapalin aja."

"Oke." Arsa membuka lembaran yang masih kosong di bukunya. Kuputuskan untuk terus memerhatikannya. Tiga menit berlalu, tapi belum ada sepatah kata pun yang ditulis oleh Arsa.

"Jangan diliatin, dong. Kan gue jadi nggak bisa mikir," protes Arsa.

"Kalau gue nggak perhatiin, lu pasti akan ngegambar lagi."

Arsa cekikan mendengar perkataanku.

"Kalau lu sendiri nulis tentang apa, Mik?" Arsa berusaha mengalihkan perhatianku.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang