Bab 4: LIES

83 15 1
                                    


Sepintas kulihat ayah setuju dengan usulku. Aku cukup senang karena rencanaku sepertinya berjalan mulus. Namun, tak berapa lama kemudian, ayah bangkit dari kursinya dengan tatapan menakutkan. Tatapan monster yang siap menghabisi apa pun yang ada di depannya. Kedua tangan ayah terkepal. Instingku menangkap sesuatu yang tidak beres. Buru-buru aku meletakkan gelas, lalu berniat masuk ke kamar. Rupanya ayah bisa membaca pikiranku.

"Diam di situ!" teriak ayah.

Langkahku terhenti. Kakiku mendadak tak bisa digerakkan. Aku tidak berani melihat wajah ayah. Aku hanya diam di tempat tanpa tahu harus berbuat apa. Apa yang akan ayah lakukan padaku? Sepertinya aku salah bicara sehingga membangkitkan emosinya. Tak lama kemudian, ikat pinggang ayah berkali-kali mendarat di punggungku. Spontan tubuhku membungkuk menahan rasa sakit. Air mataku tak dapat ditahan.

"Dasar anak kurang ajar! Kamu mau memasukkan ayahmu ke penjara, hah?" Ayah terus memukuli punggung dan kakiku dengan ikat pinggangnya. Aku sudah tidak kuat berdiri dan terjatuh ke lantai.

"Nggak, Yah," jawabku sambil terisak.

"Kalian berdua sekongkol mau menjebak ayah? Kamu kira ayah orang bodoh?" kata ayah sambil terus memukuliku.

"Nggak, Yah."

Ayah mengambil rokok yang masih menyala dari asbak di meja makan. Aku beringsut mundur hingga punggungku menyentuh tembok. Dihisapnya kuat-kuat rokok di tangannya hingga api di ujungnya terlihat merah membara. Ayah berjalan ke arahku. Asap rokok mengepul dari mulutnya.

"Di mana Arun sembunyi?"

"Aku nggak tahu, Yah."

Ayah menempelkan ujung rokok ke lenganku. Panasnya membakar kulitku.

"Jangan bohong!"

Ayah kembali menyundut lenganku. Kali ini lebih lama dari yang pertama. Kulitku benar-benar terbakar. Aku hanya bisa menangis sambil menahan rasa sakit.

"Aku nggak bohong, Yah. Aku nggak tahu Kak Arun di mana."

Ayah menampar pipiku sekuat tenaga. Setelah puas menyiksaku, ayah meninggalkanku di dapur. Dia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Aku meraba pipiku yang masih terasa panas akibat tamparan ayah. Aku melihat tanganku yang terbakar dan juga betisku yang memar.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha berdiri. Aku memegang kursi, tembok, atau apa pun yang bisa membantuku berdiri untuk sampai ke kamar. Langkahku terhuyung. Rasa sakit di betis membuatku tak bisa berdiri lama. Beberapa kali aku harus berhenti melangkah untuk mengumpulkan tenaga.

Ketika sampai di kamar, aku langsung mengoleskan salep di tangan dan betisku. Kuangkat bajuku sampai ke dada. Dari pantulan kaca di dinding aku bisa melihat punggungku yang memerah serta beberapa luka di sana. Aku mengoleskan salep sejauh jangkauan tanganku.

Tiba-tiba aku teringat Kak Arun. Biasanya dia yang akan mengobati luka-lukaku jika monster itu mengamuk padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Entah ayah mendengar suara tangisku atau tidak, aku tidak perduli. Aku juga teringat pada ibu. Seandainya ibu ada di sini, pasti dia akan membelaku dan tidak akan membiarkan ayah menyakitiku. Namun, ibu memilih pergi dari rumah tanpa membawaku dan Kak Arun. Aku menangis sepanjang malam hingga akhirnya tertidur.

Keesokan paginya, aku tetap berangkat ke sekolah. Untung saja jam pelajaran pertama adalah olah raga sehingga celana panjangnya bisa menutupi memar di kakiku. Aku mengenakan jaket biruku untuk menutupi bekas sundutan rokok di tanganku. Aku berjalan perlahan untuk sampai ke sekolah. Berjalan pelan-pelan seperti ini sudah biasa bagiku sehingga aku tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke sekolah tanpa harus terlambat.

Aku membeli makanan untuk bekal makan siangku. Aku tidak mungkin membeli makan di kantin dengan kondisi tubuh seperti sekarang. Aku bisa menjadi bahan perhatian seisi sekolah. Sebelum berangkat, ayah memberiku uang jajan. Mungkin hatinya sudah lebih lega sehabis memukuliku semalam.

Aku meminta izin pada guru olahraga untuk tidak mengikuti kegiatan yang diberikan dengan alasan perutku kram karena sedang datang bulan. Guru olah raga mengizinkanku untuk beristirahat di UKS. Aku mengikuti sarannya. Dari dalam UKS, aku bisa melihat lapangan olah raga. Kulihat Arsa sedang bermain basket dengan murid lainnya. Sesekali dia tertawa dan bersorak saat berhasil memasukkan bola ke ring. Melihatnya seperti itu memberikan semangat baru bagiku.

Sebelum jam pelajaran olah raga berakhir, aku buru-buru mengganti pakaian dengan seragam putih abu-abu. Tak lupa aku mengenakan jaket agar kondisi tubuhku tidak diketahui siapa pun. Mereka hanya tahu kalau aku sedang tidak enak badan. Aku duduk di kursiku sebelum murid lainnya selesai berganti pakaian. Kulihat Arsa masuk. Dia melambaikan tangan. Senyum di bibir tipisnya membuatnya terlihat semakin keren. Saat jam istirahat tiba, dia menghampiriku. Arsa duduk menyamping di depanku.

"Ayahmu ngamuk lagi?"

"Nggak, kok."

"Jangan bohong. Lu selalu pakai jaket kalau habis dipukulin."

Tanpa permisi Arsa langsung meraih tanganku. Dia menggulung lengan jaketku ke atas. Arsa melihat bekas sundutan rokok di lenganku. Aku meringis. Gesekan kain pada luka bakar di kulitku menimbulkan rasa sakit. Arsa menatapku. Aku mendunduk malu. Aku tarik tanganku lalu menurunkan lengan jaketku.

"Apa lagi yang luka?"

"Nggak ada. Cuma ini doang."

"Tadi gue lihat lu jalan agak pincang. Kaki lu kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa, kok. Tadi gue jatuh di jalan."

"Ga usah bohong, deh. Gue kenal lu dari kecil. Coba gue liat kaki lu."

Kami memang berteman sejak kecil. Sejak ibu masih tinggal bersamaku. Aku dan Arsa sering bermain bersama dan sekolah di sekolah yang sama sejak kami TK. Kami tinggal di perumahan yang sama. Rumah Arsa dengan rumahku hanya beda beberapa blok saja. Hanya dua orang yang benar-benar kupercaya di dunia ini, Kak Arun dan Arsa. Saat bersama mereka, aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut tersakiti.

Entah kenapa, aku selalu tidak bisa berbohong pada Arsa. Aku memperlihatkan betisku yang memar padanya kemudian kembali duduk seperti semula. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa aku memilih duduk di kursi paling belakang. Supaya orang-orang tidak curiga padaku.

"Lu nggak istirahat? Makan sana." Aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Gue makan di sini aja bareng lu."

Rupanya Arsa membawa bekal hari ini. Nasi goreng kesukaannya. Sepanjang jam istirahat aku menceritakan semua yang terjadi beberapa hari terakhir. Mulai dari Kak Arun yang kabur dari rumah, aku mendapatkan pekerjaan paruh waktu, dan peristiwa pemukulan tadi malam. Bukan hanya sekali dua kali Arsa menemaniku makan dan mendengarkan seluruh ceritaku seperti sekarang ini. Hampir setiap kali ayah menyakitiku, Arsa ada di sampingku. Dia siap mendengarkan seluruh keluh kesahku.

Diam-diam aku mencuri pandang. Aku memerhatikan wajahnya. Dia terlihat keren dengan belahan rambutnya. Poninya menyerupai tanda kutip. Kulitnya putih bersih. Desiran lembut muncul di hatiku. Aku berharap, jam istirahat jangan cepat-cepat selesai supaya aku bisa lebih lama lagi ada di dekatnya. 

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now