Bab 6: LOST RESPECT

86 13 0
                                    

Aku keluar dari ruangan Bu Lia dengan perasaan campur aduk. Meskipun aku sudah memutuskan untuk tidak bercerita padanya, tapi pikiranku terus terusik. Pasti Bu Lia penasaran kenapa aku terus menerus memakai jaket. Bahkan, hampir setiap hari. Kalau dilihat dari tawarannya barusan, Bu Lia sudah pasti tidak percaya dengan alasanku.

Di sekolah aku dikenal sebagai anak pendiam. Aku jarang bergaul dengan teman-temanku, kecuali ada tugas kelompok yang mengharuskan kami bersama. Namun, aku hafal semua nama murid yang pernah sekelas denganku. Perpustakaan merupakan salah satu tempat yang paling kusuka. Selain sepi, di perpustakaan aku bisa meminjam buku-buku berbahasa Inggris yang biasa aku pergunakan untuk latihan menerjemahkan. Kebanyakan aku meminjam novel daripada buku lainnya. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran favoritku. Nilaiku tidak pernah jelek untuk pelajaran yang satu itu. Menurutku, menjadi penerjemah adalah pekerjaan yang cocok untukku karena tidak harus bertemu orang banyak.

Sebenarnya aku ingin sekali bergabung dengan teman-teman, tapi aku tidak berani. Kebanyakan murid di sekolahku berasal dari kalangan menengah ke atas. Tas, sepatu, ponsel, dan aksesoris yang mereka pakai, semuanya bagus-bagus. Tidak seperti punyaku. Beberapa perlengkapan sekolah yang aku pakai sudah pudar warnanya. Saat jam istirahat tiba, mereka berkumpul di kantin sambil menikmati jajanan ala anak sekolahan. Satu-satunya teman dekatku di sekolah cuma Arsa. Itu pun karena kami sudah berteman sejak kecil. Saking dekatnya, banyak yang mengira kalau kami berpacaran.

Aku menaiki anak tangga menuju kelas. Kelasku berada di sudut. Masih ada lima kelas lagi yang harus aku lewati. Perasaan benciku pada ayah seketika muncul. Aku menyalahkan dia atas keadaan diriku saat ini. Kalau bukan karena luka-luka di sekujur tubuhku, aku pasti sudah bergabung dengan teman-temanku. Menghabiskan masa remajaku yang tidak akan terulang lagi dengan bahagia. Pasti menyenangkan.

Ayahlah orang yang paling kubenci dalam hidupku. Aku sering berharap agar ayah segera mati, supaya aku dan Kak Arun bebas dari segala tindakan buruknya. Tetapi sebelum ayah mati, aku ingin dia merasakan sakit yang berlipat-lipat dari yang pernah kami alami selama bertahun-tahun, sejak ibu pergi meninggal kami.

Aku jarang sekali merasa benar-benar bahagia. Bila diingat-ingat, ada satu peristiwa yang benar-benar membuatku senang. Saat ayah sakit. Dia hanya bisa terbaring di tempat tidur selama beberapa hari. Suasana rumah menjadi tenang sekali. Paling ayah hanya berteriak memanggil Kak Arun karena membutuhkan sesuatu. Kak Arun yang merawatnya hingga sembuh. Saat ayah tidak bisa berbuat apa-apa, aku mulai berpikir, apakah ayah akan segera mati? Aku mulai menghitung berapa umurnya sekarang. Bila dia tua nanti, tenaganya untuk memukuliku pasti sudah berkurang. Mungkin saat itulah baru aku berani melawannya. Saat dia sudah lemah. Aku harus bertahan sampai hari itu datang.

Terkadang aku juga benci pada diriku sendiri. Aku tahu persis apa yang akan terjadi padaku bila ayah mabuk dan mengamuk, tetapi aku tidak punya cukup keberanian untuk membebaskan diri dari lingkaran kekerasan itu. Semakin hari aku semakin yakin, bahwa apa yang menimpaku selama ini merupakan akibat karena aku membiarkan semuanya terjadi selama bertahun-tahun. Aku ingin menjadi kuat, ingin melawan, tapi dalam hati aku tahu kalau diriku rapuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak pernah punya keberanian untuk melawan ayah saat dia memukuliku.

Bagaimanapun juga, berada di sekolah masih jauh lebih baik ketimbang aku berada di rumah. Namun, saat ini keadaannya sepertinya tidak senyaman biasanya. Menurutku Bu Lia mulai menaruh curiga padaku. Bagaimana jika dia benar-benar tahu? Apakah Bu Lia akan memanggil ayah ke sekolah? Lalu bagaimana reaksi ayah? Pasti dia akan memukuliku lagi. Mungkin lebih parah dari biasanya. Kuembuskan napas dari mulutku. Poni panjang yang terjatuh di wajahku ikut terbang. Semakin aku memikirkannya, semakin aku pusing.

Akhirnya aku sampai di kelas. Suasanan kelas saat jam istirahat cukup ramai. Beberapa murid perempuan berkumpul di kursi bagian tengah sambil membicarakan murid lelaki yang mereka taksir. Ada tiga murid lelaki duduk di bagian belakang kelas sambil bermain game online dari ponsel mereka. Ada juga yang sedang asyik menyantap bekal makan siangnya. Pada saat jam istirahat memang tidak semua murid keluar kelas untuk menghirup udara segar.

Aku melewati Arsa yang sedang fokus menggambar seorang perempuan di buku gambarnya. Arsa sangat suka menggambar. Arsa pernah bilang, setelah lulus SMA dia akan kuliah di jurusan seni. Letak kursi Arsa tidak jauh dari kursiku. Dia ada di barisan sebelah mejaku. Namun, kursi kami tidak sejajar, dia duduk dua kursi lebih depan. Aku sering mencuri pandang saat jam pelajaran terasa membosankan.

"Hai, Arsa," sapaku. Arsa sedikiti terkejut. Sambil terus memegangi pensil, Arsa membalas sapaanku, lalu kembali fokus ke kertasnya. Aku duduk di kursiku dan mengeluarkan bekal yang kubeli di warung nasi yang selalu kulewati setiap pagi. Arsa menghampiriku. Dia sudah selesai dengan dunianya.

"Muka lu nggak enak banget. Kenapa?" Arsa membuka percakapan. Arsa duduk menghadapku. Kedua tangannya memegang sandaran kursi.

"Nggak kenapa-kenapa, kok."

"Tadi gue liat lu masuk ke ruangan Bu Lia."

"Iya. Tadi waktu habis acara dari kampus itu dia minta gue buat datang ke ruangannya."

Aku menyuapkan nasi ke dalam mulutku. Arsa mencomot sebuah kerupuk dari plastik lalu memakannya.

"Kenapa Bu Lia manggil lu, Mik?"

Arsa bertanya dengan wajah penuh keingintahuan.

"Dia tanya kenapa gue pake jaket terus, padahal udara lagi panas."

Aku terus menguyah. Lapar sekali. Tadi pagi aku hanya sempat minum teh manis hangat saja. Arsa menengok ke kanan dan kiri, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku. Matanya membesar.

"Terus lu ceritain semuanya?" tanya Arsa. Suaranya dibuat sepelan mungkin. Aku menggeleng.

"Nggak mungkinlah gue cerita."

"Kenapa lu nggak cerita?"

"Gila kali, ah. Kalau dia tahu kondisi gue, terus ayah dipangil, apa nggak makin buruk nasib gue nanti?" jawabku dengan suara tak kalah pelan. Arsa mengangguk. Dia langsung mengerti apa yang menjadi ketakutanku.

Bel tanda jam istirahat telah selesai terdengar. Arsa kembali ke kursinya. Begitu juga dengan murid-murid lainnya. Tak lama berselang, Pak Carlos, guru bahasa Ingris kami masuk ke kelas. Sebagian besar murid kurang menyukai bahasa Inggris karena menurut mereka pelajarannya cukup sulit. Kebanyakan teman-teman menyukai Bu Lia saat mengajar. Sebagai guru BP, Bu Lia selalu berusaha agar bisa dekat dengan murid-muridnya. Selain itu, tidak ada ujian dan PR pada mata pelajaran Bu Lia.

Berbeda denganku. Aku menyukai bahasa Inggris. Pak Carlos juga pandai melucu. Terkadang teman-teman sering menjahilinya dengan bertanya, "Pak, mobilnya mana?" Sambil tersenyum dia menjawab, "Car loss," yang artinya mobilnya sudah hilang. Penyebutan yang sama, tapi berbeda makna. Seisi kelas akan langsung tertawa mendengar jawaban Pak Carlos. Namun, begitu pelajaran dimulai, suasana kelas akan sepi kembali.

Stitch Our Scars (SOS) [COMPLETED]Where stories live. Discover now