Sarang Laba-Laba

14 0 1
                                    

Sudah tiga minggu aku menempati apartemen tua ini, ruangan 10 x 15 meter dengan cat dinding yang sudah mengelupas. Saat pertama kali datang pindah ke sini, aku disambut oleh gumpalan debu dan beberapa ekor kecoak yang langsung kubasmi saat itu juga. Dan pada minggu selajutnya, pemanas air rusak dan sampai sekarang belum kunjung diperbaiki. Aku terpaksa mandi di bawah air dingin di pertengahan musim gugur. Saat hawa sedang benar-benar dingin, aku terpaksa merebus air agar tidak pilek keesokan harinya. Kata tetangga sebelahku, hal seperti ini lumrah terjadi.

"Toh, tempat ini memang murah," katanya waktu itu yang kubalas dengan persetujuan. Setelah itu kami tidak pernah berbincang lagi.

Memang saat ini kondisi finansial yang tak mendukung menjadi penghambatku untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik, bisa dibilang gaji pertamaku tidak begitu tinggi. Tapi aku tidak ingin berlama-lama tinggal di rumah orangtuaku, almarhum orangtuaku. Sebulan yang lalu mereka mengalami kecelakaan mobil dan meninggal. Aku sebenarnya tak merasa kehilangan mereka, orangtuaku tidak begitu terlibat dalam hidupku karena kehidupan mereka sendiri sudah begitu sibuk atau mungkin mereka memang memilih untuk tidak terlbat. Meski begitu, berada di rumah ayah dan ibu mengingatkanku akan sosok mereka dan aku tidak ingin mengingat.

Aku lupa kapan aku mulai menyadari adanya sarang laba-laba yang mulai terbentuk di sudut ruangan dekat ranjangku. Hari itu, aku pulang dari kantor dengan rasa lelah yang lebih parah dari biasanya. Kakiku langsung membawaku ke atas ranjang dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Sekitar jam 1 atau mungkin 2, wajahku merasakan ada sesuatu yang merayap, dari mata lalu menuju hidungku. Terkejut, aku langsung bangun dan mengusap-usap wajahku. Setelah menenangkan diri, aku mencoba untuk melihat mahluk apa yang tadi memutuskan untuk mengganggu tidurku.

Ternyata mahluk itu adalah seekor laba-laba.

Ukurannya cukup besar tapi aku bilang begitu karena kaki-kakinya yang panjang. Warnanya hitam pekat, kalau sepraiku berwarna gelap pasti aku tak akan bisa melihatnya. Entah laba-laba itu berjenis apa. Aneh, kukira hama-hama lainnya di ruangan ini sudah hilang bersamaan dengan kecoak-kecoak itu. Apa jangan-jangan laba-laba ini merupakan penghuni baru?

Merasa bahwa keberadaannya tidak diinginkan, laba-laba itu langsung berjalan pergi. Mataku mengikutinya, walaupun itu bukan pekerjaan yang mudah di dalam kegelapan ini, sampai ia kembali ke sarangnya yang tepat berada di atas ranjangku. Ah, mungkin aku harus segera membersihkannya. Tapi... tidak, aku terlalu lelah untuk itu atau bahkan untuk melakukan apapun. Mungkin besok.. saja...

***

Besok, ya?

Aku mengingkari kata-kataku waktu itu.

Sebulan telah berlalu dan sarang laba-laba itu masih menetap dengan nyaman di atas tempat tidurku, sudah meluas bahkan. Jumlah laba-laba yang menempati sekarang juga tambah banyak, dari satu kemudian dua, empat, delapan, dan seterusnya. Sudah seperti barisan geometri saja. Aku mulai menyadari mereka bertambah ketika tiga dari mereka menyaksikanku membuat mie instan dari atas kulkas. Mereka tidak melakukan apa-apa jadi aku hanya melanjutkan kegiatanku—yah, itu juga alasan mengapa aku belum membersihkannya.

Waktu itu juga, aku pulang membawa berkaleng-kaleng bir. Bosku baru saja memarahiku padahal aku sama sekali tidak melakukan kesalahan apa-apa. Entah berapa kali ia melakukan itu sejak aku pertama kali bekerja. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa menenangkan diri dengan bermabuk-mabuk ria. Setelah kaleng keenam mungkin ketujuh? Ah, siapa juga yang peduli. Salah satu dari laba-laba itu berdiri di atas kaleng bir yang akan aku ambil. Tentu saja, aku akan mengambil kaleng lain tapi laba-laba itu juga ikut berpindah mengikuti tanganku.

Sarang Laba-LabaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora