Ekspedisi Gunung Samur

0 0 0
                                    

Pagi yang mendung itu, aku sedang menikmati sarapan yang dimasak istriku, Shizuka, sambil mendengarkan berita di TV sebe9lum berangkat kerja. Aku lebih senang mendengar dibanding melihat, karena mataku memiliki penyakit rabun jauh. Aku juga kurang menyukai kacamata.

Berita di TV cukup membosankan, sampai aku melihat berita mengenai sebuah gunung.

"Shizuka, itu berita apa, ya?" tanyaku. Istriku yang sedang bersih-bersih menjawab,

"Berita Gunung Samur, Jonan. Ada kejadian-"

Gunung Samur?

Gunung Samur itu?

Keringat jatuh dari pelipisku saat aku mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu.

----------------------------

"Iya. Kelompokmu ada yang mengikuti," ujar Mbah Parman si dukun.

Kak Andi, pemimpin ekspedisi kami, mengeluarkan keringat hingga bajunya basah.

"Kalian tidak boleh meninggalkan gunung ini."

Ekspedisi kami menaiki Gunung Samur dalam rangka perpisahan universitas tiba-tiba berubah mencekam saat salah satu anggota kami, Evira, hilang tanpa jejak. Kak Andi sebagai pemimpin dan Kak Sakurako dan aku sebagai wakil sedang berkonsultasi dengan dukun setempat. Kami diberi tahu tentang keberadaan Mbah Parman oleh Paijo, warga lokal dan murid Mbah Parman.

"Mbah, saya tidak mungkin melanjutkan ekspedisi. Saya akan membawa mereka semua pulang," ujar Kak Andi bersikeras.

Mbah Parman menyalakan kemenyan. "Temanmu, Evira, belum seratus persen diambil oleh lelembut di sini," ujarnya, "jika kalian pergi, ia pasti akan diambil. Banyak pula anggotamu yang akan diambil."

Kak Layla membalas, "jadi kami harus bagaimana?"

"Kalian bisa berkemah di sini sampai mbah bisa meyakinkan lelembut di sini untuk melepaskan kalian. Untuk urusan makan kalian tidak usah khawatir, desa Paijo melimpah ruah padi dan kedelainya."

"Begitu ya, Mbah," kata Kak Andi pasrah, "adakah hal yang perlu dipantang di sini?"

"Ya. Janganlah kalian merokok atau minum miras, serta hindari hubungan badan. Hal-hal itulah yang membuat kalian diikuti lelembut. Dulu, sempat ada pandemi yang membantai banyak warga di sini. Kegelapan yang menyelimuti gunung ini sangatlah kuat."

Aku melirik Kak Layla, gadis tomboi yang suka merokok dan minum miras. Aku jadi teringat pada pesta gila yang dilakukan setengah (kurang lebih 15 orang) anggota ekspedisi kami kemarin. Pesta yang melibatkan banyak minuman keras dan rokok. Kak Andi sangat marah waktu itu; hal ini wajar berhubung ia memang sedang menjalani pelatihan menjadi anggota kepolisian.

Setelah itu, kami undur diri. Setelah menyampaikan kabar pada 26 anggota kami yang tersisa, banyak resistansi yang muncul.

"Yang benar saja!"

"Bodoh! Panggil polisi, bukan dukun!"

"Bagaimana ini, Jonan?" tanya Kak Andi padaku.

"Ah, bodo amat! Aku akan pergi sendiri kalau begitu!" ujar Markus. Ialah inisiator pesta gila kemarin.

"Hei, tunggu!"

Percuma. Markus dan enam temannya sudah pergi meninggalkan kami. Mereka membawa perlengkapan milik mereka dan menghilang ke dalam hutan.

"Tolong tenang. Kalian tetap di sini," perintah Kak Layla. Kak Andi, Kak Layla, dan aku bersiap mengejar mereka meskipun rembulan mulai bergerak naik.

Berbekal air minum, beberapa buah senter, kapur, serta pisau lipat, kami dengan nekat memasuki hutan.

Vegetasi hutan sangat tebal dan pohon-pohon yang tinggi menjulang menakuti kami. Senter kami hidupkan terus menerus dan mata kami melihat ke kanan dan kiri untuk menemukan Markus dan rombongannya. Setelah dua jam berjalan, kami melihat sesuatu di kejauhan.

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang