Yang Membunuh dan Yang Dibunuh

1 0 0
                                    

Guru tua yang hobinya nyerocos ini sedang mengajarkan invers matriks: materi antah berantah yang membuatku bingung. Kuperhatikan sekelilingku; teman-teman sekelasku banyak yang mengantuk dan hanya sedikit yang benar-benar memperhatikan.

Aku memainkan gim di gawaiku sambil membuang waktu. Guru tua itu berkeliling, memarahi murid-murid yang tidur atau, sepertiku, bermain gim.

Tapi tidak denganku, tentu saja. Nama Watanabe Itsumi, nama anak dari kepala yayasan sekolah, cukup untuk membuat guru manapun gugup.

Aku melempar seringai nakal saat guru tua itu lewat. Ia hanya bisa menggigit bibir; tidak ada satu pun guru di sini yang berani menegurku, apalagi memarahiku.

Akhirnya jam matematika itu selesai. Bel yang berbunyi kencang menandakan waktu istirahat.

Aku punya geng sendiri yang suka berkumpul di sebuah ruangan bekas kantin.

Kato Akari, seorang gadis ahli matematika peluang (baca: judi) yang hidup lumayan makmur karena keahlian matematika peluangnya (baca: judi). Tubuh rampingnya dan rambut hitam panjangnya membuatnya diidolakan kaum adam yang tukang umbar nafsu.

Kato Sora, kembarannya Akari. Ia agak pendek, lebih pendek dari Akari. Ia memiliki bakat di bidang kimia. Buktinya, ia pernah hampir meledakkan lab kimia.

Takahashi Kaito, seorang lelaki muda tinggi yang gemar bertarung. Ia sering terlibat tawuran, atau, seperti yang sering ia gaungkan, latihan ketangkasan fisik.

Suzuki Kanako, seorang gadis yang... biasa saja. Sebenarnya, dari semua anggota gengku, Kanako yang terlihat paling alim.

Yah, sebetulnya, enggak juga sih. Aku bersumpah Kanako kebal alkohol. Berbotol-botol minuman alkohol bisa ia habiskan sendirian. Justru penampilan alimnya itu yang menjadikan ia mata-mata handal. Hal itu perlu karena kadang-kadang, ada razia di sana-sini. Kemampuan mata-mata Kanako dan pengaruhku membuat gengku susah disentuh.

"Mana Sora?" tanyaku setelah menyadari ketidakhadiran lelaki berambut hitam pendek itu. Aku duduk di lantai yang agak kotor. Akari, Kanako, dan Kaito sedang sibuk mengacak-acak kartu dan mengisap rokok.

"Masih sakit," ujar Akari santai.

Aku menyalakan sebatang rokok. "Jadi pacar yang perhatian, nih?" goda Kanako.

Yah, Sora memang membuatku cukup terpikat. Hubungan kami sudah erat; cukup erat untuk membawa percintaan kami ke ranjang empuk di hotel.

Waktu istirahat akhirnya selesai juga. Setelah mematikan rokok dan membereskan kartu, kami kembali ke kelas kami masing-masing.

Aku kembali memainkan gim di gawai. Aku mengangkat kepala sebentar, melihat guru baru yang akan mengajar bahasa Inggris. Hal itu tak perlu kupedulikan.

Aku melirik Kanako yang matanya terpaku pada guru baru itu; namanya Nobi Fuji. Fuji-sensei, berarti.

Aku memperhatikan wajah Kanako yang memerah.

Wah, wah, bisa drama ini.

Ah, aku tidak peduli. Aku terus bermain gim.

Lalu Akari, Kanako, dan aku bertemu kembali setelah bel pulang.

"Kaito pergi tawuran seperti biasa," kata Akari saat kehadiran Kaito kupertanyakan.

Kanako seperti dimabuk cinta. Ia terus menerus berucap, "Aah, Fuji-sensei yang tampan!"

Oke, oke, jika pendengaranku benar, Fuji-sensei memang baru berusia 21 tahun; hanya terpaut empat atau lima tahun dengan Kanako.

Sejak itu Kanako berubah. Dia jadi benci mabuk alkohol. Ia jarang ikut pertemuan kami. Rokok mulai ia tinggalkan.

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang