Yang Membunuh dan Yang Dibunuh

Mulai dari awal
                                    

Puncaknya, si gadis sial itu malah berbalik jadi mata-mata bagi pihak guru.

Pagi yang mendung itu, aku sedang kesal karena pertemuan kemarin terpaksa bubar lebih awal. Kanako sial, Kanako bangsat. Ia memberi bocoran pada para guru.

Si jalang itu selalu senang kalau Fuji-sensei sedang mengajar.

"Kumpul di kamar kosku saja, supaya si brengsek tidak bikin rencan kita bocor," tulis Akari di grup pembicaraan kami.

"Nona Itsumi, tolong diperhatikan ya. Jangan main terus," suara Fuji-sensei yang tegas membuatku semakin kesal.

Pertama kalinya.

Pertama kalinya seorang guru berani menegurku.

Aku melirik Kanako dengan tatapan benci. Ia malah tersenyum; senyuman sinis yang diiringi senyum manisnya pada Fuji-sensei. Fuji-sensei berbalik dan tersenyum pula pada Kanako.

"Duluan. Aku menyusul."

Pulang sekolah, aku segera menghampiri Kanako yang sedang bermesraan di ruang bekas kantin tempat kami biasa berkumpul dengan Fuji-sensei. Kebetulan, guru menyebalkan itu pergi ke toilet sebentar.

"Dengar, Kanako sial," dengusku marah, "sekali lagi kau bocorkan tentang kami, kau dan romansamu dengan Fuji-sensei tersayangmu itu bakal habis! Paham?!"

"Tunggu, Itsumi!" gumam Kanako, "aku tid-"

"Halah, bacot!" ujarku marah seraya mendorong Kanako dengan keras. Ia terjatuh, badannya mengenai lantai yang keras.

Aku pergi ke kamar kosnya Akari. "Si Kanako sial sudah kuperingatkan. Cuma kita yang tahu tentang romansa terlarangnya."

Aku juga mengirimkan pesan ke ayahku. Bunyinya, "Ayah, tolong pecat Fuji-sensei. Ia menyebalkan."

Ayahku menjawab, "Oke."

Mendadak, perutku mual. Aku buru-buru pergi ke toilet, menyemburkan muntahan dari mulut.

"Ah, paling salah makan."

Tapi rupanya tidak. Bukan hanya mual terus-menerus, perutku juga mulai menggembung.

Aneh.

Aneh sekali.

"Kamu hamil."

Kata-kata dokter pribadi keluargaku membuatku beku. "Hamil enam bulan, lebih tepatnya."

Tidak, tidak! Kepalaku pening. Mual-mualku hanya muncul satu bulan yang lalu. Perutku mulai membesar sejak satu bulan yang lalu.

Tidak mungkin aku hamil enam bulan! Maksudku, memang sih aku ada bermain dengan Sora pada rentang waktu itu, tapi gejalanya aneh sekali!

Janggal. Semuanya makin janggal. Aborsi yang kujalani gagal. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima kali.

Sepuluh kali aku berusaha aborsi. Semuanya gagal.

Aku hanya bisa mengunci diri di kamar tanpa pergi ke sekolah. Kecuali orang rumah, hanya Akari, Sora, dan Kaito yang tahu hal ini, dan aku melarang mereka datang. Tanpa kusadari, perutku sudah besar sekali. Pertanyannya,

"Ini anak siapa?"

Padahal baru satu bulan sejak diagnosa dokter kuterima, tapi perutku sudah seperti milik ibu hamil sembilan bulan.

Saat itu, aku melihat pesan dari Akari di grup kami. Aku mengabari mereka tentang kejanggalan ini, serta sepuluh aborsiku yang gagal.

"Praktik aborsi dr. Fuji."

"Ini klinik milik sepupu jauhku. Mungkin bisa dicoba," kata Akari.

Akhirnya aku mencoba pergi ke klinik itu. Klinik itu agak suram dan kurang terawat.

Seorang dokter menyapaku. "Silakan masuk. Anda Watanabe Itsumi, bukan?"

"Bagaimana Anda tahu?" Aku bertanya seraya memicingkan mata.

"Saya diberi tahu oleh sepupu saya, Akari. Selain itu, saya mengenali rambut cokelat Anda yang dikepang dua."

Ia dan seorang suster perempuan menyuruhku berbaring di atas kasur di dalam kamar yang gelap. Jujur, aku agak heran.

Mendadak, lilin-lilin menyala sendiri. Rantai tiba-tiba mengekang tangan dan kakiku.

"Hei! Apa-apaan ini?!"

"Halo, Watanabe Itsumi," suara dingin Kanako menyambutku. Kanako adalah sosok yang berada di balik topeng penyamaran suster itu!

Dokter membuka maskernya. Wajah tirus yang kukenal jelas; wajah Fuji-sensei!

"Fuji-sensei? Kanako?"

"Fuji saja," kata Fuji-sensei, "kan kamu yang membuatku kehilangan pekerjaan. Kamu yang membuatku terpisah dari Kanako sayang."

"Dan kamu juga yang membuat anakku tewas," lanjut Kanako, "saat kamu mendorongku, fetus hasil percintaanku dengan Fuji-sensei meninggal."

"Lalu, perutku ini..."

"Perutmu? Ya isinya anak kami yang kau bantai itu," kata Fuji-sensei kalem.

"Sihir hitam bisa melakukan banyak hal, Itsumi," kata Kanako sambil tersenyum lebar, "dari seribu murid perempuan di sekolah kita, kau yang paing cocok, Itsumi. Kan kau yang menghabisi dia."

"Yah, bayarannya banyak, sih," ujar Fuji-sensei sambil menunjuk pada tiga orang-orangan sawah yang dipasang di pojok ruangan.

Tunggu.

Bukan.

Tiga sosok itu adalah sosok Sora, Akari, dan Kaito!

"Kami juga yang mengirim pesan untuk memancingmu ke sini. Fuji-sensei, anak kita akan segera lahir. Kita akan selalu bersama, ya!" Kanako tersenyum.

Fuji-sensei tersenyum balik, kemudian menggoda, "Dari seribu gadis, kaulah yang terbaik."

Lalu mereka bermesraan dan berciuman dengan panas, sementara perutku makin membesar.

Aku menutup mata, menunggu anak ini, anak Fuji-sensei dan Kanako yang dipindahkan ke rahimku lewat sihir hitam, keluar.

"Aaahhh!" Aku menjerit kencang. Perutkh serasa ditusuk dari dalam. Tangan anak itu berusaha menembus lapisan daging perutku!

Tidak, ia tidak keluar dengan cara biasa. Aku terus berteriak, memohon ampun, sementara anak itu terus menggali ke atas, merobek perutku, mengucurkan darahku.

Lalu akhirnya ia keluar. "Aahh, lucu sekali anak kita. Iya, kan, Fuji-sensei?"

Darahku terlalu banyak tumpah. Pandanganku buram. Badanku lemas.

Aku...

Aku akan mati. Dibunuh oleh bayi yang kubunuh.

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang