Makhluk Berjubah Hitam

4 0 0
                                    

"Kak Jess, apakah ini satu-satunya cara?" tanyaku.

"Iya."

-------------
Aku tidak tahu makhluk apa itu. Makhluk berjubah hitam yang senantiasa mengikutiku. Mengejarku, kadang-kadang. Mengetuk pintu rumahku pada tengah malam.

Aku tidak tahu.

Yang kutahu, makhluk itu mengikutiku sejak tragedi di sekolah. Tragedi bunuh dirinya Nava.

Korbannya, Nava.

Pelakunya, aku.

Tidak banyak yang tahu, tapi aku yakin akulah yang membunuhnya. Tamparanku, makianku, paksaanku ....

Aku tidak berani lagi keluar atau pergi ke sekolah. Aku keluar dari sekolahku yang lama, kemudian ikut sekolah daring. Hal ini cukup mudah dilakukan, mengingat ayah dan ibuku meninggal saat aku berumur empat tahun karena kecelakaan mobil. Aku diasuh nenek sampai ia meninggal setahun yang lalu.

Makhluk itu mengetuk pintuku lagi. Entah ia makhluk astral atau apa, tapi pintu-pintu beton cukup tangguh menghalaunya.

"Hei, Jenny!" seru siapapun yang mengetuk di luar situ, "ini Jessica! Kenapa kamu tidak membuka pintu?"

Ah, jantungku terasa lega ketika mendengar lantunan suara Kak Jess. Ia adalah sahabatku yang kutemui saat seminar mengenai kewirausahawan yang kuikuti beberapa tahun yang lalu.

"Kenapa kamu tidak menjawab ketukanku tadi?" tanya Kak Jess santai. Ia memakai pakaian yang sangat kasual: sepotong kaus dan celana pendek.

Sebelum aku sempat menjawab, hidungnya mengernyit seolah-olah ia sedang mencium bau busuk.

"Ada yang aneh," gumamnya.

Aku mempersilakannya masuk dan membuat teh untuknya. Kukira ia bisa melihat kegelisahanku karena ia bertanya, "Jenny, apakah kamu sedang memiliki masalah?"

"M-masalah? T-tidak," balasku; mulutku memercikan dusta.

"Tidak mungkin," balasnya, mengoyak kebohongan yang kulontarkan, "gelap sekali."

Aku bangkit untuk menyalakan lampu tambahan. Biasanya, aku hanya menyalakan dua dari empat lampu di ruang tamu. Barangkali, Kak Jess kurang nyaman dengan itu.

"Bukan itu maksudku," ujar Kak Jess kalem, "energi tempat ini gelap sekali."

Ia mengambil sebuah labu sintetik kecil dari dalam tasnya. Secara refleks, aku mengucapkan, "Trick or treat?"

Kak Jess tersenyum lebar. "Ambillah sebanyak yang kau mau."

Kak Jess memang pembuat cokelat dan permen yang lihai. Aku mengambil satu buah cokelat yang langsung kumakan dengan lahap.

Enak sekali.

Tanpa sadar, aku mengambil cokelat-cokelat itu dan melahapnya hingga habis.

Wajah Kak Jess jadi muram. "Maaf, ya," katanya saat aku mengunyah cokelat yang terakhir, "kayaknya kamu ada yang 'mengikuti'."

"Mengikuti?" tanyaku bingung.

"Lelembut. Jin. Hantu. Cokelat itu adalah cokelat yang sangat pahit jika dimakan manusia biasa, tapi sangat lezat jika dikonsumsi lelembut."

"Bagaimana Kak Jess bisa tahu?"

"Aku belajar ilmu magis dari dukun di Jawa."

Aku terdiam sejenak. Jadi makhluk berjubah hitam itu ....

"Aku diikuti sesosok makhluk berjubah hitam," lontarku. Sofa empuk yang kududuki terasa keras. Aku menatap Kak Jess, berharap sebuah solusi.

"Jubah hitam, ya. Hmm, itu pertanda yang buruk sekali. Artinya, lelembut yang mengikutinya lumayan kuat. Mantra dan jimat biasa tidak bisa menghalaunya."

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang