1. THE MAN WHO CAN'T GET A GOOD NIGHT'S SLEEP

8.3K 480 11
                                    

Halo!

Maaf sedikit lama, soalnya kerjaan di dunia nyata bikin nggak bisa main sosmed apalagi WattPad. Tapi, tenang, tiap bab sekitar 2000-3000-an kata. Semoga puas deh bacanya. 

Jangan lupa dikomen kalau ada typo(s). Meski udah diedit, kadang masih suka nyempil. :D
Selamat membaca!

***

1. THE MAN WHO CAN'T GET A GOOD NIGHT'S SLEEP


LELAKI berkacamata tipis yang duduk di balik meja kebesarannya itu tampak melenguh sambil merenggangkan otot leher dan pinggang. Melepas kacamata antiradiasi, lalu menyandarkan punggung ke belakang. Tangan kanannya menggerakkan tetikus untuk menekan ikon CCTV. Selain untuk mengamati kinerja bawahan, juga untuk memantau anak-anaknya yang berada di tempat penitipan anak di lantai lima. Alasan terselubung lainnya, untuk melihat perempuan yang berada di depan ruangannya.

Setelah sepuluh tahun menduda, baru akhir-akhir ini Eka Pratama kembali merasakan nyaman saat berdekatan dengan perempuan asing. Ya, meski tidak terlalu asing karena sudah tiga tahun ini Gracia Cantika Lukman bekerja sebagai sekretarisnya. Namun, perasaan nyaman 'yang asing' itu baru dia dapati dua minggu belakangan. Tepatnya sejak terjebak lift rusak saat kunjungan kerja ke Filipina tempo lalu.

Tama, begitu lelaki itu akrab disapa, takut akan keadaan gelap. Bisa juga dibilang trauma. Bahkan saat tidur pun dia akan membiarkan lampu kuning temaram tetap menyala, atau televisi pintar yang bisa diatur pencahayaan dan tanpa suara yang sayup-sayup memberikan biasan temaram. Dan, perempuan itu di sana, menggenggam tangannya yang gemetar menahan gejolak untuk berteriak karena ketakutan—dan serangan panik. Suara lembut keibuan itu menenangkannya. Memberikan dukungan verbal untuk kepanikannya.

"Bapak jangan panik. Saya yakin bahwa Bapak bisa mengatasinya."

Mungkin saja melalui gelagat Tama yang seketika panik, Gracia langsung berasumsi bahwa bos yang terpaut usia lima tahun di atasnya itu sangat takut gelap atau mempunyai serangan panik. Insting seorang perempuan, juga keibuannya, membuat Gracia langsung meraih lengan Tama dan menggenggam tangan lelaki itu dengan erat. Gemetar dan menggigil, sangat menguar dari tubuh lelaki itu.

Untuk pertama kalinya, Tama membiarkan perempuan asing—selain psikiater atau psikolog—menenangkan dirinya, memberikan sentuhan dan kekuatan verbal, tanpa bisa dia membantah. Detik itu juga, Tama yakin bahwa dia menemukan kembali kenyamanan yang sudah lama hilang saat berdekatan dengan perempuan selain mendiang istrinya.

Getaran ponsel membuyarkan ingatan Tama akan kejadian dua minggu lalu. Dia melihat layar yang menampilkan nomor dari jam tangan pintar milik Raymond, si sulung kembar, menghubunginya. Di layar monitor juga terlihat jelas bahwa Raymond menyentuh earbud di telinga kiri sambil menatap layar jam tangan pintarnya menunggu panggilan dijawab.

"Ya, Boy?" sapa Tama begitu panggilan dijawab.

"Pap, apakah masih lama? Rey mengeluh kelaparan. Tadi kami hanya makan siang sedikit."

Tama melirik jam di sudut komputer, masih menunjukkan pukul tiga sore waktu Singapura. Ya, memang sudah sejak delapan tahun belakangan ini mereka menetap di Singapura. Terutama untuk Tama yang ingin lepas dari kejaran suram bayangan masa lalu.

"Papa pesanin makanan dulu, ya, Boy? Pekerjaan Papa masih ada sedikit lagi. Nggak apa-apa, kan?"

Terdengar Raymond bertanya pada Reynald, lalu membalas Tama, "Yes, Pap. Nggak apa-apa."

"Oke, Boy. Maaf, ya. Sebentar lagi kita pasti pulang."

"No problem. Ditunggu makanannya. Thank you, Pap."

LOST INSIDE YOUR LOVE (✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang