A Lucky Pleasure

7 2 2
                                    

Alyza, atau yang biasa memiliki nama kecil Lyza itu mungkin adalah gadis SMP kesekian yang memiliki kisah hidup cukup membosankan. Sudah diketahui sejak awal kalau nama bule itu jelaslah bukan berasal dari tanah air. Karena memang Lyza adalah pendatang baru. Pendatang baru yang bagi gadis baru gede itu, sama sekali tidak diharapkan.

Lyza berbeda, dan Lyza sering mendengar papanya berbisik tentang perbedaannya, bahwa Lyza adalah anugerah yang paling sempurna. Tapi, kalian pasti tahu, yang diharapkan oleh orangtua tidak selalu sependapat dengan kita. Lyza beranggapan bahwa kulit putih, bibir pucat, rambut yang serupa itu adalah kutukan yang membuat teman-temannya tidak mau berteman dengannya.

Lyza sering disebut beruang, atau dalam istilah lebih sopan, gadis itu adalah seorang albino. Kondisi menakjubkan yang membuat Lyza berkali-kali dilarikan ke psikiater karena selalu mengurung diri dan tidak mau sekolah.

Hal yang menjadikan hari-hari Lyza menjadi membosankan. Gadis itu hanya termangu di balkon dan melihat matahari terbit, bahkan akan seharian berada di sana jika papanya tidak memberitahu sesuatu yang mengejutkan seperti ini, "Morning, sweatheart. Bagaimana menurutmu tentang pesta ulang tahun?"

Lyza menegakkan tubuhnya. Netranya menatap sang Papa sambil menghela napas lelah. Apakah papanya juga akan mengejeknya karena kemarin bolos ke psikiater dan membuat gadis itu sedikit berulah? "Lyza hari ini berusia lima belas tahun," tuturnya mencicit kecil. Jemarinya saling mengait dengan peluh yang menetes lewat sela-sela rambut lebat sepunggungnya yang Lyza ikat. "Apa yang Papa lakukan saat berusia lima belas tahun?"

Pria di depan Lyza tersenyum sendu. Jemarinya menyusuri wajah putrinya dan menyampirkan helai rambut yang terlihat menggangu. "Papa melakukan banyak hal. Bermain sepeda, skateboard, bahkan pernah mencuri uang nenek untuk jalan-jalan sama pacar Papa."

"Oh ya? Tapikan kondisi Papa sama seperti Lyza," Wajah gadis itu bertambah murung. Emosinya cepat sekali berganti-ganti. "Apa Lyza beneran dikutuk? Lyza pikir hati Lyza juga akan ikut putih dan dingin, Papa. Lyza akan menjadi seperti Anna. Lyza akan mati dan beku jadi es, apa Papa pikir itu bisa terjadi? Kalau begitu Lyza akan dengan cepat meninggal karena Lyza gak punya cowok yang bisa cium Lyza biar jadi normal kayak orang-orang."

Pria di depannya menatap sang putri dalam. Hatinya terasa sakit. Raganya yang sudah lama terkurung dan bermain sendirian membuat Lyza hanya bisa berpikir demikian. Meski gadis kecilnya itu sudah memiliki ponsel yang dapat mengakses apapun, namun itu nyatanya tidak seperti yang diharapkan dia dan istrinya. Karena nyatanya, setiap manusia memerlukan sosialisasi, dan papanya melupakan hal penting itu.

"Hati Lyza gak akan dingin. Lyza gak akan jadi es karena ada Mama dan Papa yang akan cium Lyza setiap hari. Kami mencintai Lyza melebihi Lyza mencintai diri Lyza sendiri." Papanya mengusap pipinya lembut setelah berkata demikian. "Bersiaplah. Teman-teman Lyza akan datang pukul sepuluh nanti."

Lyza memejamkan mata saat bibir lembut papanya menyentuh keningnya. Jemari gadis itu mengutak-atik ponsel dan mencari metode yang kemarin ditemukannya, mungkin seorang teman dapat membantunya untuk bersiap-siap.

Gadis itu bangkit dan menuju ke kamar. Telinganya sudah tersumpal headset yang terputar instrumen menenangkan. Pikirannya fokus membayangkan segala bentuk tubuh manusia. Suasana yang hening menambah daya imajinasi Lyza yang mati-matian menghindari berbagai bentuk wujud tokoh kartun yang pernah ditontonnya.

Metode yang dikenal banyak orang dengan sebutan, Jessica Method.

Hingga ketika Lyza membuka matanya saat instrumen yang diputarnya juga ikut berakhir. Gadis itu terperanjat terkejut. Netranya membola dengan napas memburu saat melihat usahanya berhasil dan dirinya dalam versi yang lain sedang melambai menyapa. Bahkan Lyza sudah mencengkram selimutnya saat sosok teman imajinya itu mencoba mendekat. "Who are you?!"
Sosok teman itu tersenyum sendu. Tangan yang melambai mendadak lemas dan terkapar di samping badan. "Kamu yang memanggilku untuk datang," tuturnya dengan senyum yang tampak dipaksakan.

Lyza diam. Netranya menelisik menatap gadis di depannya. Bahkan getiran halus yang tercipta di belahan bibir  teman-nya ini dapat ditangkap dengan jelas.

"Lyza, aku sempat melihat hatimu yang sudah berwarna putih. Sebentar lagi kau akan mati kedinginan karena tidak ada yang mencintaimu! Kau akan menjadi es dan tidak akan ada yang bisa mencairkanmu karena tidak ada yang benar-benar mencintaimu!"

Lyza mencelos. Pikirannya langsung berpusat pada papanya yang berkata mencintainya tadi pagi. Dan kemarin malam Lyza masih ingat, kalau Mama dan Papa masih mau menemaninya menonton film. Apakah itu bukan cinta?

Jemari Lyza digenggam lembut. Kedua pupil mata biru itu bertemu. Lyza akan menjadi Anna dalam versi apesnya. Atau menjadi Olaf yang kemudian mencair karena terlalu berharap bisa hidup di bawah matahari. Apa Lyza akan mati jika berharap dicintai?

"Sudah menjadi sangat umum jika rasa cinta tidak berbalas, karena cinta hanya-"

"Sebuah rasa tanggung jawab." Lyza melanjutkan dengan mata terpejam dan air mata yang luruh. Jemarinya mengambil buku catatan bersampul putih dari psikiaternya. Sudah banyak catatan di sana yang bahkan belum Lyza baca semuanya.

"Memangnya kau pikir aku suka sendirian dan tidak memiliki teman? Memang seharusnya aku jangan lahir biar nggak merepotkan," ungkap Lyza dengan nada memburu. Tangan mereka yang saling terkait teremas kuat.

"Tapi, Mama selalu bersyukur setiap hari untuk dirimu."

Lyza terisak pelan. Napasnya menjadi berat. Tubuhnya bergetar. Dan Lyza dipeluk, memang tidak ada obat selain pelukan seorang teman. "Aku sangat mengecewakan!"

"Papamu bilang, kamu adalah anugerah yang sempurna."

Lyza menggeleng kencang. Dadanya memburu. Dan tangannya tanpa sadar mendorong teman tak nyatanya itu. Tangannya telungkup hingga menutup kedua telinganya. Tangisnya meraung-raung. "Itu bohong! Tidak ada cinta selain tanggung jawab aja!"

"KALAU GITU KAMU JUGA HARUS TANGGUNG JAWAB!"

Lyza tertegun. Lyza langsung dapat menangkap maksudnya. Netranya berpendar membayangkan pertemuannya dengan psikiaternya dua minggu lalu.

"Setiap orang harus bertanggung jawab untuk dirinya sendiri.

Seseorang tidak akan merasakan cinta dari orang lain tanpa mencintai dirinya terlebih dulu.

Mencintai diri sendiri itu terdapat tiga tahapan. Bersyukur, bahagia, dan cinta.

Jika dengan bersyukur saja bisa mendatangkan bahagia. Maka pada tahap ke tiga, kamu akan menjumpai betapa menakjubkannya dirimu."

Lyza menatap sosok di depannya antara takut dan malu. "Jika kamu tidak mencintai dirimu sendiri, maka siapa lagi yang akan mencintaimu?" gumam keduanya. Lyza terlihat berpikir dan berkata pelan. "Now, you have a name. Your name is Lucky. My Lucky friend, Lucky preasure."

Lucky tersenyum dan melunturkan kegarangannya. Tangannya bertepuk girang dan memeluk Lyza erat. "Aku adalah kamu, apa yang kamu pikirkan aku pasti tahu!"

TAMAT.

Huehehehew. Jangan dicoba metodenya kalau gak mau genderuwo yang nyasar jadi temenmu:v

Jangan lupa untuk vote-komen. Nantikan aku di cerita selanjutnya. Bye!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Nis.ka.laWhere stories live. Discover now