Part 29: Awkwardness (Revisi)

Start from the beginning
                                    

"Lo buat masalah lagi ya?" tebak Dimas. Aku menatapnya dengan wajah sedih. Dan menganggukan kepalaku dengan frustasi.

"Kali ini apa lagi? Lo buat Raka marah lagi?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. Memang benar Raka marah jika mendengarkan apa yang terjadi malam ini. Maka dari itu, jangan sampai ini terdengar olehnya.

Rere, lo memang sampah. Bisa-bisanya lo terbuai oleh pesona Kean. Rutukku dalam hati.

Lalu aku kembali mengingat kejadian di balkon. Benar-benar memalukan. Teriakku putus asa.

"Lo nggak bakal membuat ekspresi 'mati segan, hidup tak mau' begini. Gue tebak, pasti masalah yang lo buat lebih besar dari skandal lo dengan bos," kata Dimas.

"Ini menyangkut harga diri gue Dim. Saat ini, harga diri gue berceceran dilantai. Gue masih berusaha mengumpulkannya." Ucapku dramatis lengkap dengan ekspres sedih. Aku kembali memasukkan es batu ke dalam mulutku. Mengunyahnya dengan frustasi karena otakku kembali memutar memori memalukan itu seperti kaset rusak.

Kata-kataku yang semakin ngaur malah membuat Edra dan Mira terkekeh geli. Sedangkan Mbak Meli dan Dimas yang sudah kebal dengan acting dramatisku sudah tak terpengaruh lagi. Mereka malah memilih menyesap segelas wine yang ada ditangan mereka. Sambil masih menatapku penuh tanda tanya.

Dimas dan Mbak Meli sudah mengenalku lama. Mereka sangat tahu bagaimana perasaanku jika aku sudah mengunyah es batu plus memasang ekspresi semerawut seperti sekarang. Makanya mereka tak menganggap lucu tingkah lakuku.

"Lo bisa cerita ke kita. Hm," kata Dimas mendekat padaku. Dia lalu menepuk pundakku sambil menatapku prihatin. Inilah yang selalu aku sukai dari Dimas. Dia selalu bisa diandalkan.

"Ini semua karena bajingan berhati dingin itu. Bisa-bisanya gue mengikuti permainannya.." lirihku.

"Bajingan gila mana yang buat lo kayak gini?" tanya Mbak Meli. Ketika melihat ekspresiku semakin sengsara.

"Ada, namanya raja setan," jawabku semakin ngaur.

"Dim," Mbak Meli menyenggol Dimas.

"Siapa lagi yang gangguin lo?" tanya Dimas, "Temannya Rea? Atau pacarnya?" lanjutnya. Beberapa bulan yang lalu aku memang sempat diganggu teman-teman Rea. Tapi aku tak menghiraukannya sama sekali.

Aku menggelengkan kepala lemas.

"Kalau lo digangguin bajingan gila itu lagi. Lo lapor ke gue." Kata Dimas sambil menepuk pundakku.

"Dilarang pegang-pegang," suara berat Kean terdengar dari belakangku. Dia tiba-tiba muncul. Seperti tuyul, khas Kean.

Kemudian Kean menarik lenganku mendekat kerahnya. Lengan Dimas yang tergantung di pundakku lepas begitu saja.

"Pak," sapa Mbak Meli. Setelah sadar, Dimas dan yang lain juga ikut menyapa Kean.

Aku menatap terkejut kearah Kean. Sedangkan Kean malah tersenyum menggoda.

"Sepertinya kalian sedang membahas sesuatu," kata Kean. Lalu menoleh kearah Dimas dan yang lain. Sejak aku dirawat di rumah sakit. Dimas menjadi dekat dengan Kean.

"Ah, kami sedang membicarakan Rere pak." Dimas menjawab dengan acuh.

"Dimas," geramku. Mencoba menghentikannya. Was-was jika Dimas membuka mulut, menyebarkan semua yang aku katakan pada Kean. Pelaku sebenarnya.

Aku membelalakan mata kearahnya. Memberi ultimatum untuk tidak melanjutkan apa yang sedang dilakukannya. Tapi dia malah tak menggubrisku sama sekali dan kembali melanjutkan ucapannya. Membuka aibku. Membuat harga diriku yang susah payah aku kumpulkan, terancam berceceran lagi dilantai.

"Saya rasa dia buat masalah lagi. Jadi siapa bajingan gila yang buat lo kayak gini? Sampai buat harga diri–" aku langsung membekap mulut pedas Dimas.. Aku mencubit gemas pinggangnya. Hingga dia terkejut.

"Dimas, bisa diam nggak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dimas, bisa diam nggak. Atau lo mau gue kasih jurus sleding kepala?" bisikku. Dimas meronta mencoba melepaskan diri.

Kean yang ada disampingku mengangkat alis penasaran. Lalu sesaat kemudian, dia tersenyum menyadari apa yang ingin Dimas katakan.

"Ah, Siapa yang kamu bilang bajingan gila?" tanya Kean. Lalu semua orang menatapku dan Kean bergantian.

"Bapak." Geramku begitu Kean terekekeh memperhatikan ekspresiku yang tak berdaya.

"Kenapa saya harus jadi bajingan gila karena saya menci–" aku bergerak cepat menutup mulut Kean.

"Hahaha, jangan didengarkan. Pak Kean mabuk. Dia sudah menghabiskan bergelas-gelas anggur dari tadi," kataku. Berusaha menjelaskan situasi yang tampak semakin kacau. Sedangkan keempat orang yang menatapku memberikan tatapan meragukan.

"Haha.. anda benar-benar mabuk rupanya. Seharusnya anda berhenti minum saat saya mengatakan anda akan mabuk," ucapku. Semakin membuat mereka menatapku curiga.

Kean berusaha melepaskan tanganku yang menutup mulutnya. Beberapa orang sudah menatap kearah kami, penasaran dengan keributan yang aku lakukan. Saat mereka melihatku membekap mulut Kean, mata mereka melebar tak percaya dengan keberanianku. Aku langsung melepaskan Kean. Sadar dengan tingkahku yang sudah melewati batas.

"Maaf pak," ucapku.

Aku menelan ludah gugup. Lalu menoleh kearah Mbak Alya yang ada didepan.

"Kenapa kita tidak menyapa pasangan pengantin di depan saja." Aku mencoba mengalihkan perhatian mereka pada Raja-Ratu malam ini yang sepertinya terlupakan karena tindakanku barusan.

"Pak sebaiknya kita menyapa Mbak Alya dan pulang. Sepertinya anda sangat mabuk hingga bicara melantur seperti ini." Tuturku dan menyeret Kean pergi setelah undur diri pada yang lainnya.

***

MellifluousWhere stories live. Discover now