Part 5: Keano, Si Raja Setan (Revisi)

Start from the beginning
                                    

Dalam tim baru ini ada tujuh karyawan termasuk aku. Pak Myer lebih tua dua hingga tiga tahun dari Mbak Meli. Terdapat dua ruang meeting di lantai ini, satu dengan kapasitas 5 orang, satu lagi dengan kapasitas 15 orang. Ruang perpustakaan. Lalu tiga sofa dan satu meja tempat istirahat dengan satu set TV LCD. Dua pantry, satu khusus karyawan satu lagi khusus atasan.

Begitu selesai merapikan sedikit barang barangku, aku bergerak kearah ruang CEO. Di depan ruangan, terdapat meja khusus untuk sekretaris. Tak butuh waktu lama aku meletakkan buku agenda, tas, dan beberapa keperluan lain yang aku butuhkan, lalu terdengar suara sapaan dari karyawan lain. Ternyata Kean baru saja masuk.

Aku berdiri merapikan sedikit stelanku hari ini yang berupa kemeja peach dan rok putih selutut. Dan menyapanya dengan sopan. Kean meliriku sebentar. Dia menggunakan kemeja biru dengan stelan Armani yang pas untuk tubuhnya. Aura dingin dan dominan terasa jelas darinya. Wajahnya yang datar membuatku bertanya tanya apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Aku menghela nafas berat setelah Kean masuk ke dalam ruangannya.

***

Tak!

"Ulangi!" terdengar suara Kean yang menggema di dalam ruangannya.

"Sudah berapa lama kamu bekerja disini tapi membuat laporan saja masih tidak becus?" Aku menarik map yang akan ku berikan pada Kean. Melihat suasana hatinya hari ini aku rasa kami semua akan jadi sasaran empuk kemarahannya. "Keluar dari ruangan saya!" Edra keluar dari ruangan Kean dengan wajah di tekuk.

Dia melirikku sebentar, lalu beralih menatap map yang sedangku genggam.

"Mbak Adre juga mau kasih laporan?" Tanya Edra saat aku melangkah kearahnya. Edra adalah karyawan junior dikantor. Dan yang membuatku takjub sikap rajin Edra. Hingga Pak Myer dan Mbak Alya menamainya 'Penjaga Gedung'. Kurasa itu karena dia yang selalu membuka pintu kantor karena datang paling awal.

"Iya, gimana situasi di dalam?" tanyaku cemas. Edra menggelengkan kepala pertanda medan perang penuh gencatan senjata. Aku menghela nafas berat. Setelah memberikan semangat padaku, Edra kembali ke tempatnya.

Ok, tarik nafas dalam dalam, lalu hembuskan. Tarik nafas, hembuskan. Aku mengulang treatment yang sama hingga ku rasa perasaan yang tenang. Ku dorong pintu kayu mahoni di depanku dan melangkah ke dalam ruangan Kean.

Sudah seminggu sejak aku pindah ke kantor pusat. Event tahunan perusahaan berjalan lancar. Kami semua kocar kacir dan lembur beberapa hari sebelum event di adakan. Tetapi itu masih belum cukup, karena tidak lama setelah itu acara ulang tahun perusahaan akan di adakan dalam seminggu kedepan. Dua karyawan dari departemen lain di peruntukan untuk membantu kami, tapi masih saja pekerjaan tak henti mengantri untuk diselesaikan. Meeting disana sini, laporan ini, laporan itu, cek persiapan ballroom, catering, meja dan kursi, pencahayaan, soundsystem, dan hal hal kecil lainnya.

Memasuki ruangan Kean, bulu kudukku langsung merinding. Hening, dingin dan suasana mencengkam dari pria di depanku membuatku ingin melangkah mundur. Aku menyodorkan map yang berisi persiapan acara ulang tahun perusahaan.

Kean memeriksanya dengan wajah datar. Sesekali kerutan muncul di dahinya. Aku ketar ketir meneliti ekspresinya yang dingin. Taku takut gunung merapi bernama Kean meledak didepanku.

"Sudah berapa persen persiapan yang selesai?" Tanya Kean dengan sorot mata tajam kearahku. Aku menelan ludah gugup.

"Sekitar tujuh puluh persen pak," Kean kembali membaca laporan yang ku buat.

Tak!

"Persiapan Galeri?" Kean seketika bergerak maju dari kursinya, menegakkan tubuhnya dan menautkan kedua jari tangannya diatas meja. Dia kembali menatapku dingin.

"Lukisan yang sudah di akuisisi sudah di simpan di tempat penyimpanan. Tapi masih ada beberapa lukisan yang terkendala saat proses akuisisi dan masih diusahkan curator. Selain itu, ini," aku menyerahkan katalog yang telah di tulis oleh curator, "Ini katalog yang telah ditulis oleh curator". Kean membaca dengan teliti katalog yang aku serahkan. Setelah itu dia kembali menatapku.

"Minta dia untuk mempercepat akuisisi lukisan yang masih belum selesai. Dan satu lagi, minta bagian persiapan untuk memberikan laporan mereka padaku hari ini juga."

"Baik." Aku keluar dari ruangan Kean dan menghubungi Dira yang bertugas di bagian persiapan. Aku mengecek jam di desktop komputer, baru jam 10 siang. Aku kembali menyelesaikan beberapa dokumen yang sudah tertumpuk diatas meja. Meraih kaca mata baca yang ku taruh di atas meja, aku kembali dimakamkan dalam tumpukan dokumen. Dira datang, membawa laporan persiapan yang diminta Kean.

Kemudian dia masuk ke dalam ruangan Kean. Tak berapa lama terdengar suara teriakan Kean dari dalam ruangan. Kean menghubungiku melalui intercome dan memintaku untuk masuk. Apalagi sekarang?

"Micha!" ucapnya penuh amarah. Aku bingung melihatnya mengarahkan amarah kepadaku. Sementara Kean berteriak marah padaku, aku melirik Dira yang sedang menundukan kepalanya karena takut menghadapi kemarahan Kean.

"Ya pak," aku bergegas kearahnya, berdiri di sebelah Dira.

"Apa kamu belum memberik hasil notulen rapat pada Dira? Kenapa undangannya masih belum di kirim? Dan ini?" Kean melemparkan laporan yang dibuat Dira kearahku. Aku menangkapnya dan melihat apa yang menjadi penyebab kemarahan Kean.

"Apa kamu tak bisa bekerja dengan becus? Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Saya sudah tekankan untuk tidak menggunakan service mereka untuk acara puncak karena mereka tidak bekerja dengan becus tahun lalu. Dan kenapa hadiah yang disiapkan melebihi tamu yang datang? Kamu membuat perusahaan mengeluarkan dana dengan sia sia!" teriak Kean kearahku.

Ajssghdfshfj! Kamvret!

Aku menghela nafas kasar. Sejujurnya ini bukanlah kesalahanku, Dira yang yang tak bekerja dengan benar. Pada awalnya Dira dan Timy di tugaskan untuk membantu ku. Tapi semua pekerjaan mereka tak ada yang beres. Permasaalahannya adalah Kean selalu menuntutku untuk mengajarkan dan bekerja sama dengan mereka. Tapi apakah aku harus mengawasinya terus seperti anak kecil yang jatuh dan terluka jika dibiarkan sendiri.

"Pak, ini bukan salah saya. Saya sudah memberikan notulen rapat pada Dira dan Timy. Bapak bisa lihat, saya juga sudah cc ke bapak melalui e-mail. Selain itu, hardcopy nya juga sudah saya serahkan pada bagian persiapan lengkap dengan notes di setiap lembarnya berisi apa yang harus dilakukan. Apa ini masih salah saya? Saya sudah katakan berulang kali padanya untuk bertanya jika ada yang tak dia mengerti atau jika ada yang tak bisa dia handle, tapi dia tak pernah bertanya sekalipun. Dan memilih bekerja sendiri." Begitu aku membela diri, Kean menatap nyalang kearahku. Dira masih menundukan wajahnya. Badannya gemetar, dan sesegukan terdengar dari mulutnya.

"Apa saya harus pantau dia seperti anak kecil? Saya juga punya kerjaan yang harus saya selesaikan pak, tak hanya mengawasi dan membimbing dia melakukan pekerjaan yang sudah jadi makanan sehari hari karyawan disini." Aku menarik nafas dalam dalam. Menatap Kean tajam.

"Bukankah saya sudah bilang untuk kerjasama? Apa kamu tak mendangarkan saya sedikitpun? Apa membimbing dia terlalu sulit untuk dilakukan?" teriak Kean membuat Dira terkejut dan sesegukannya semakin jelas.

"Apa saya harus membimbing orang yang tak punya sedikitpun niat untuk belajar?"

"Jangan melimpahkan kesalahan pada orang lain, Micha!" Aku tak habis pikir dengan kemarahan Kean. Sejujurnya aku sudah tidak bisa berkata kata dengan situasi ini. Kenapa kesalahan Dira bisa menjadi kesalahaku? Aku memijit dahiku yang terasa berdenyut. Mencoba meredam amarah, jika kami berdua sama sama terbawa emosi, bisa dipastikan masalah ini tak akan selesai.

"Baik! Saya yang akan menyelesaikan semuanya." Aku keluar dari kantor Kean. Melangkah kearah meja ku dan mengambil ponsel. Menelepon seseorang yang mungkin bisa membantuku.

"Hallo, Dim, lo dimana?"

***

Terima Kasih untuk kontribusi pembaca semua.


MellifluousWhere stories live. Discover now