Part 3: Gak Papah, Buat Nggak Ngelakuin Apa-apa (Revisi)

Mulai dari awal
                                    

"Iyain aja deh, dari pada senior gue nangis, kan kaciaan." Dan terdengar ledakan tawa dari Mbak Ziya dan yang lain.

***

Berita kepindahanku ke kantor pusat santar terdengar. Apalagi di DK yang lagi sibuk sibuknya karena sebentar lagi bakal ada event tahunan perusahaan dan di ikuti acara ulang tahun perusahaan. Mbak Meli yang baru balik dari luar kota, langsung kocar kacir dengan kerjaan yang segunung.

"Re, lo sini deh. Nih, lo cek ya, harus selesai besok soalnya." Mbak Meli mengasongkan lima bundel map besar padaku.

"Mbak," rengekku. Ketika melihat kerjaan yang tak ada habisnya.

"Sorry re, lo periksa sekarang ya," titahnya, "kepala gue pusing banget nih, satu lagi nanti siang ikut gue meeting bareng panitia acara." Dan setelah meninggalkanku yang terbengong, Mbak Meli kembali keruangannya sambil memijat bahunya yang pegal.

Lembur lagi deh.

***

Aku baru selesai memeriksa tiga map yang diberikan Mbak Meli padaku. Badanku terasa remuk karena harus bolak balik memeriksa persiapan acara dan laporan yang harus diselesaikan. Karena event tahunan perusahaan berdekatan dengan acara ulang tahun perusahaan, pekerjaan yang harus diselesaikanpun menjadi berkali kali lipat lebih banyak. Karena Departemen Keuangan harus bekerja ekstra keras untuk memonitor pengeluaran yang digunakan selama acara berlangsung agar tak mempengaruhi pengeluran perusahaan secara signifikan.

Jadi disinilah aku, masih memeriksa beberapa map yang tersisa. Aku melihat keluar ruangan, masih ada Doni dan Rita yang sama sama lembur denganku. Saat aku menoleh ke ruang Mbak Meli, terlihat dia sedang bersiap siap untuk pulang. Jam di desktop komputer menunjukan pukul 8:27. Aku meregangkan tubuh. Duduk di kursi seharian membuat badanku pegal semua.

"Re, gue pulang duluan ya," suara Mbak Meli terdengar dari seberang ruangan. Aku hanya mengangguk dan Mbak Meli berlalu sambil sesekali masih terdengar ocehannya dengan Doni yang juga sedang bersiap pulang.

Aku kembali melanjutkan beberapa kerjaan yang masih menunggu untuk di selesaikan. Tiga puluh menit kemudian terdengar suara Rita yang juga pamit untuk pulang. Aku masih terkubur dalam tumpukan kerjaan. Satu jam berlalu dan akhirnya pekerjaanku selesai.

Setelah dimakamkan lebih dari 15 jam di kantor, aku bersiap untuk pulang. Keluar dengan tampang lesu, rambut dan wajah yang berantakan. Aku bahkan sudah mengganti Scarpin ku dengan Sneaker yang lebih nyaman.

Setelah sampai ditempat parkir, aku merogoh kunci mobil yang terselip di dalam tas. Ketika aku masih berusaha mencari kunci yang masih bermain petak umpet di tasku yang penuh, hidungku menabrak dada bidang seseorang dengan keras.

Hidungku terasa sakit hingga air mataku keluar menahan nyeri. Sambil mengusap hidungku, aku menggumamkan semua sumpah serapah. Ini orang kalau jalan jangan berhenti sembarangan dong. Kalau mau berhenti klakson dikit atau kasih sein gitu. Di kira gedung ini punya nenek moyangnya apa, main berhenti di tengah jalan. Kekesalanku malah bertambah saat aku masih belum mendengar permintaan maaf dari laki-laki yang dadanya sekeras beton ini.

"Mas, kalau mau berhenti jangan di tengah jalan. Parkiran seluas ini jangan berhenti di dekat jalan orang lalu lalang juga dong, udah salah nggak mau minta maaf," tandasku kelewat sebal.

Ini cowok lagi sariawan ya, makanya nggak jawab. Saat aku melirik keatas dengan sebal pada wajah 'laki laki berdada sekeras beton', wajah yang familiar terlihat. Kenapa laki laki bengis ini ada disini?

Keano. Berdiri dengan pandangan tajam. Tangannya yang dimasukan ke dalam saku celana membuatnya terlihat dingin. Dia menyorotku dengan pandangan tak suka. Celana hitam dan baju kaos berkerah yang berwarna maroon menimbulkan citra kejam dari wajahnya yang datar. Aku balas menatapnya sengit.

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang