5. Gala

30 3 0
                                    

Aku bangun dengan ruang yang dibiarkan gelap tanpa ada lampu menyala. Aku masih bisa melihat sekeliling meski dalam keremangan. Matahari telah meninggi di luar sana, ku rasa. Udara sejuk terasa begitu baik hingga semakin membuatku enggan untuk bangkit. Dingin tak seberapa menyiksa pada kulitku karena gesekan permukaan kain membantuku membuatnya lebih hangat. Telapak tanganku meraba teksturnya yang menyenangkan, sebuah selimut terbentang memeluk tubuhku.

Spontan aku bangkit karena terkejut, mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum aku terlelap dan tak sadarkan diri. Pada akhirnya menyadari bahwa pria itu memang memberiku selimut ketika aku jatuh ke alam bawah sadarku. Pria sama yang menembak kakiku di tengah pelarianku. Benar, aku sedang lari. Aku sedang kabur. Dan kebetulan yang mujur, luka tembak yang disebabkan olehnya sendiri memicu belas kasihannya sehingga aku bisa berada di sini sekarang. Melahap seporsi makanan setelah berjam-jam menahan perih dari perut yang kosong, membasuh diriku yang kotor dan bau sampah dengan kain hangat yang dia siapkan untukku. Lalu jatuh tertidur begitu saja, kehilangan kendali setelah merasa rileks karenanya.

Mungkinkah dia melakukan itu dengan sengaja?

Jemariku meremas selimut di pangkuanku. Jika dia melakukan itu denganku, aku tahu aku akan merasakannya tapi tidak. Dia benar-benar tidak melakukan apapun. Kecuali menutup tubuhku selimut untuk membuatku lebih hangat. Baik sekali, rupanya. Pria itu.

Lalu kemana dia sekarang?

Rumah tampak sepi. Tirai-tirai tertutup, namun cahaya dari luar telah menelisik masuk melalui celah jendela. Pukul berapa sekarang? Berapa lama aku tertidur? Rasanya aku tidur lama sekali hingga kepalaku pusing. Betisku terasa berdenyut-denyut disertai hampir seluruh bagian tubuhku yang lain. Aku menyibak selimut, memeriksa kakiku. Perban yang membalutnya membuatku ngilu. Kucoba untuk bergerak turun dan nyeri menjalar ke seluruh bagian. Kabar baiknya, aku masih bisa menggerakkannya meskipun rasanya seperti sedikit lumpuh.

Aku berpegangan pada lengan kursi untuk membantuku berdiri. Pria itu benar-benar pergi dengan meninggalkan orang asing di rumahnya. Sungguh berani serta malang sekaligus. Jika aku adalah dirinya, mungkin aku tak sudi membiarkan hal seperti ini terjadi. Tapi tentu saja, aku bersyukur ia tidak membuat keputusan seperti yang sebagaimana kupikirkan.

Langkahku pincang dan rasanya sulit sekali bahkan hanya untuk mencapai jendela. Tapi tidak ada waktu untuk bermanja-manja. Kakiku harus sembuh dalam kurun waktu sesingkat mungkin. Ketika telah mencapai dinding terdekat, aku menyingkap tirai jendela. Cahaya matahari masuk membutakan mataku sesaat, memberi cukup penerangan ke dalam ruang. Pada detik berikutnya, tubuhku terpaku oleh pesona. Langit biru pucat secerah hari di musim semi, pepohonan di kanan-kiri menyaring bayang-bayang rindang, bunga-bunga thrift, gorse, dan bell heather yang tumbuh di pekarangan. Dan dibalik pohon-pohon itu, aku dapat melihat sekilas desiran ombak yang bergulung di kejauhan.

Laut. Aku tak percaya ini.

Aku berlabuh pada tempat yang sangat indah. Dengan ajaibnya, aku seakan terseret pada tempat antah-berantah yang aku tak tahu letak persisnya. Ini semua terlihat hampir seperti mimpi. Beberapa kali mungkin aku mengkhayalkan tempat dengan ketenangan yang sempurna. Betapa tempat yang kudambakan. Lucu sekali menghadapi pertarungan dalam hidup hingga membawamu pada kejutan tak terduga seperti ini.

Angin sejuk berembus ketika aku membuka jendela. Sungguh atmosfir yang bagus untuk mendapat beberapa inspirasi. Cuaca yang tepat untuk duduk-duduk di pekarangan dan memikirkan sesuatu untuk diciptakan.

“Mengagumkan,” aku berbisik.

Sayang sekali. Sayang sekali aku bersikap kasar pada pria itu. Dia menawarkanku kebaikan, tapi aku malah membalasnya dengan pahit. Aku berbohong. Jika aku adalah diriku yang kukenal, mungkin aku akan memohon dengan manis di kakinya. Tapi aku telah muak dengan keluguan yang kumiliki. Kebodohanku. Maka aku memutuskan untuk memutar balikkan sikapku. Saat ini, apapun yang terjadi, tak ada lagi sesuatupun yang dapat dipercaya di dunia ini. Karena aku sudah tak percaya pada siapapun bahkan pada intuisiku sendiri.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Oct 30, 2020 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Path to My LatibuleTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon