4. George

19 2 0
                                    

“Siapa dirimu. Darimana kau berasal.”

Mulutnya seperti dijejali sebongkah batu. Dia bahkan tidak melihat ke arahku sama sekali. Mencoba menyelamatkannya nampak seperti membuat keputusan yang salah.

“Hei, aku bertanya padamu,” ucapku. Apakah mungkin dia tidak bisa bicara? Tapi sebaiknya dia memperbaiki sikapnya jika dia benar-benar bisu. “Kau tidak bicara?”

Dia memberikan tatapannya ke arahku. Kedua mata itu indah, sejujurnya. Melebar seperti buah badam, berwarna cokelat gelap seperti dilahirkan oleh peri pelindung bumi. Mereka melihatku seperti sedang mempelajariku, sebagaimana yang sedang kulakukan saat ini. Apakah dia sedang berusaha menjawabku? Atau mungkin dia berusaha menyampaikan sesuatu? Dari tatapan matanya?

Kemudian ia menganggukan kepalanya.

Sungguhkah itu?

“Kemanakah tujuanmu? Kau punya tujuan atau sesuatu?”

Dahinya berkerut. Sorot matanya begitu kecewa. Lalu digelengkanlahnya kepalanya. Baik, ada beberapa informasi; dia bisu, tidak punya nama, tidak punya tempat tinggal, tidak punya tujuan. Informasi sempurna yang cukup untuk membuatku ingin memenggal kepalaku sendiri.

“Baiklah. Aku akan mengantarmu ke kantor polisi untuk mengetahui dimana aku harus mengembalikanmu.”

Dengan gerakan tiba-tiba, ia melompat ke arahku. Merangkak bersama satu kakinya yang yang baru saja terkena luka tembak. Gerakannya yang tergesa menggeser meja di antara kami dan dia berlutut padaku. Dia berlutut. Bersimpuh di bawah kakiku. Memegangi salah satu lututku, memohon. Demi Tuhan, apa lagi yang ia lakukan?

Aku merunduk, meraih kedua sikunya. “Oh ayolah, bangun dari sini.”

Lagi-lagi kedua bola mata itu menatap tepat ke arahku. Bulu matanya lentik dan kelopaknya cukup dalam. Dia menggeleng kuat. Menautkan kedua tangan di depan wajahnya, dia memintaku tidak melakukan itu. Apa yang terjadi padanya? Apa yang membuatnya begitu ketakutan?

“Baiklah, aku tak akan membawamu pada polisi sekarang jadi bangunlah, ku mohon.” Aku mengangkat lengannya, membantunya berdiri. “Kembalilah ke tempatmu.”

Setelah itu barulah ia enyah, mematuhi kata-kataku, berpegangan pada kursi di sampingnya hingga menjatuhkan bokongnya pada tempatnya semula. Wajahnya meringis menahan sakit. Sudah pasti luka di kakinya akan menyakitkan setelah kelakuannya tadi. “Tetap buat kakimu berada di atas.”

Gadis itu menaikkan kakinya ke atas sofa. Aku menumpu kedua tanganku di atas pangkuan, memicingkan mata terhadapnya. “Kau adalah kriminal, kutebak. Bukankah begitu?”

Mendengar pernyataanku, disandarkannya kepalanya pada punggung kursi. Dia memalingkan wajah tak acuh seakan pertanyaanku adalah yang paling konyol di dunia. Air mukanya terlihat begitu tidak nyaman. Dia sudah hampir muak, tidak mau ditanya-tanyai, meskipun sejak awal dia sejatinya berharap aku tidak perlu peduli sama sekali. Dan dia benar soal itu. Aku tidak seharusnya perlu tahu macam-macam tentangnya.

Dia tampak seperti orang yang sudah tidak menginginkan apapun. Seperti hasrat sudah memudar sepenuhnya untuk menuntut pengharapan. Aku rasa itu pulalah yang membuat air mata tergenang di pelupuk matanya. Jika pantulan cahaya lampu tidak membohongiku, aku bersumpah melihatnya tengah menahan tangis saat itu. Beban apa yang menimpa gadis itu hingga terlihat sebegitu beratnya?

Path to My LatibuleWhere stories live. Discover now