1. Gala

43 4 0
                                    

Guncangan keras membangunkanku dari tidur.

Kepalaku membentur dinding truk, setidaknya itulah yang pertama kali kusadari ketika aku membuka mata. Gelap gulita. Aku berada di dalam truk berbau amis. Kepalaku pening bukan main. Pandanganku sangat kabur, aku tak bisa melihat apapun kecuali mendengar suara samar-samar beberapa lelaki yang sedang mengobrol. Suara mereka begitu kasar seperti membentak, tapi percakapan mereka terdengar biasa. Aku bangkit dan mendapati atap rendah di atas kepalaku adalah kain karung yang berbau apak. Badanku lemas dan suhu tubuhku memanas. Aku tak tahu apakah aku masih sanggup untuk pergi, tapi aku merangkak. Aku merangkak meraih ujung pintu truk pick-up yang memiliki celah sehingga aku bisa pergi. Namun ketika aku meraih celah itu, kain karung di atasku terbuka. Aku dapat menghirup udara dingin nan segar serta kepanikan sekaligus. Seorang laki-laki berjanggut keriting panjang berkacamata menatapku dengan penuh kejut.

Mulut pria itu terbuka, hendak memanggil temannya yang lain. Dia tampak tak begitu yakin pada siapa yang akan dipanggilnya.

Aku melompat menerjangnya, menjatuhkan seluruh bobot tubuhku yang tak seberapa untuk merobohkannya. Kami berdua jatuh di atas tanah, menimbulkan bunyi berdebum yang kencang. Siku dan lututku terluka, seluruh tubuhku sakit.

"Ada apa itu, Bernie?" seseorang berseru di balik truk. Mataku membelalak. Kulihat lagi pria berjanggut yang berada di bawah tubuhku. Aku berusaha membekap mulutnya namun dia menggerakkan wajahnya menghindari tanganku. Kemudian tangannya menggenggam kencang pergelangan tanganku. Dia berteriak, "ADA SEORANG GADIS, CARL! ADA SEORANG GADIS DI TRUK KITA!"

Sialan. Aku menarik tanganku dari cengkramannya yang menyakitkan, dia tidak melepaskanku. Matanya mengisyaratkan kemenangan di atasku. Aku bertumpu di atas sebelah lututku, mengayunkan satu kakiku yang lain sekuat yang kubisa, lalu menendang dengan keras tepat di kemaluannya.

Dia menjerit, cengkramannya di pergelanganku mengendur. Aku menggulingkan tubuhku ke samping, menjauhkan tubuhku darinya. Saat itu beberapa senter mulai menyoroti rumput-rumput pendek di hadapanku. Aku bangkit, mengangkat tubuhku dengan kedua tanganku. Lalu satu-satu dari mereka berdatangan. Ada dua orang. Tiga, empat. Lalu truk-truk berjajar di samping mereka. Lalu cahaya itu mulai menyoroti tubuhku yang dibalut gaun putih lusuh dan penuh kotor. Aku membalikkan wajahku sebelum mereka semua mengenaliku. Aku berlari.

Sinar-sinar itu semakin menghujani punggungku, meninggalkan bayangan hitam di bawah langkahku. Mereka memanggil-manggilku, meminta berhenti. Aku berlari sekuat tenaga, berharap mereka tak akan bisa menangkapku. Berharap kepekatan malamakan segera menelanku. Kemudian aku tahu bahwa cahaya itu semakin menjauh. Bayangan di bawah kakiku memudar bersamaan dengan kegelapan yang mulai menyelimutiku. Aku bersandar pada sebatang pohon, mengatur nafasku sejenak. Cahaya yang mengejarku berpencaran, menyilang di antara pepohonan. Saat diriku telah masuk ke dalam hutan, aku memutar pada arah berlawanan dari segerombol orang asing itu. Aku telah sangat jauh dari kota. Kota yang merebut segalanya dariku. Aku mengingatkan diriku lagi bahwa aku telah selesai dengan pembobolan jendela di kamar teratas dari sebuah gedung lantai empat. Aku telah selesai memanjat pagar sebuah mansion yang tak berbeda dari sebuah kerangkeng, kabur dari jerat pria dengan kelopak bergelambir di bawah matanya yang kerap membelalak. Aku telah selesai bersembunyi dan menghilang dari pandangan mereka. Aku telah menyelesaikan itu semua dan aku belum boleh berhenti. Aku belum sampai pada tempat paling aman.

Yang mana sesungguhnya, di dunia ini hanya ada dua tempat paling aman. Kesendirian. Lalu kematian.

Mereka menghilang. Sinar-sinar dari lampu senter itu. Mereka kehilangan jejakku. Aku bernafas lega karena satu kali lagi aku berhasil. Langkahku melambat seiring tenagaku yang kian terbabat. Aku merasakan kesunyian yang semakin pekat. Hanya ada suara gesekan rumput di bawah kakiku yang habis lecet dan berdarah. Begitupun dengan nafasku yang menderu dan detak jantungku yang memburu. Aku keliru mengenai suara dari gerakan yang kutimbulkan kepada suara yang kupikir berasal dari mana saja. Ialah suara-suara burung-burung yang mericau marah di atasku. Dan kelelawar. Aku tidak tahu pasti. Aku tidak bisa melihat. Kutolehkan kepalaku ke sekeliling tubuhku. Tidak ada apapun. Satu hal yang kutahu pasti adalah aku sudah berada dalam jarak aman itu sendiri. Sekarang aku merasa seperti sedang berjalan menemui ajal.

Kekaburan petunjuk ini membuatku panik. Aku takut. Aku takut untuk terus menerka-nerka bagaimana kematian itu akan menghampiriku. Apakah itu oleh binatang buas atau sebilah pedang yang akan menghunus perutku. Entah sudah berapa lama aku berlari. Tigapuluh menit? Satu jam? Kakiku hampir merasa kram. Langkahku semakin terasa seperti melayang. Aku adalah seorang pelarian yang tak punya tujuan selain kematian. Hanyalah hutan tak berujung menunggu untuk kutempuh. Namun ketika aku melihat deretan pohon semakin menipis di depan jalanku, aku tahu bahwa beberapa langkah lagi aku akan keluar dari hutan.

Di hadapanku terbentang sebuah tanah lapang. Hampir lebih terkesan seperti lautan dengan tinta hitam. Tidak ada penerangan atau kehangatan sama sekali. Tidak ada gerombolan lelaki yang mengejar atau binatang buas yang mengancam. Segala yang kulihat tinggallah kekosongan. Kehampaan.

Angin dingin bertiup menembus kulitku tangan dan kakiku yang telanjang. Keringat di sekujur tubuhku seakan membeku, hanya membuatku semakin menggigil. Bibirku bergetar. Aku memeluk diriku sendiri sambil terus menyeret kakiku menembus rumput-rumput yang tingginya hampir mencapai lututku. Mereka menggelitik kakiku hingga rasanya sangat gatal. Langkahku tertatih-tatih, tenagaku sudah terkuras habis.

Aku menengadahkan kepalaku ke atas langit. Terbentang tanpa batas langit biru bernaung kelabu. Masih sama persisnya seperti pagi ini. Seperti sepanjang hari ini. Mendung. Tanpa banyak bintang bertebaran. Tanpa penunjuk jalan maupun arus cahaya utara di angkasa. Langitpun seakan tak sudi menunjukkanku jalan.

Lalu ada satu bunyi ledakan.

Aku berteriak. Tubuhku jatuh ke tanah. Mencoba berlindung di balik rumput-rumput yang sanggup menelan tubuhku.

Lalu aku sudah tidak mampu lagi berlari.[]

Path to My LatibuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang