Bagian 4

1.3K 256 11
                                    

Kondisi badan yang terasa jauh lebih baik dari kemarin, membuat Aruna memutuskan untuk kembali beraktifitas. Pagi ini ia akan meminta ijin pada Rio untuk menemui salah seorang sahabatnya.

"Mas," Aruna sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Hm," Rio hanya berdehem dengan tangan yang masih berusaha mengikat dasinya sendiri.

"Mm ... Boleh aku bantu?" Aruna yang semula duduk di tepi ranjang setelah menyiapkan keperluan suaminya mulai mendekat pada Rio setelah pria itu memberi anggukan sebagai tanda persetujuan.

"Kenapa?" Rio menangkap ada hal lain yang ingin Aruna katakan setelah wanita yang berstatus istrinya tersebut selesai memasangkan dasi untuknya.

"Boleh aku keluar? Aku kira ... mungkin aku akan menghabiskan waktu sama Mbak Bita dan si kembar hari ini." Menggigit pelan bibir bawahnya, dalam hati ia berharap Rio memberi ijin.

"Silahkan." Hanya jawaban singkat yang Rio berikan, kemudian berlalu keluar kamar disusul Aruna di belakangnya untuk sarapan.

Tak ada pembicaraan apapun lagi di antara mereka hingga Rio berangkat ke kantor pagi itu.

***

"Hai, Run." Sapaan lembut terdengar saat pintu di depannya mulai terbuka. Dengan para penghuni rumah minimalis bernuansa hijau itulah salah satu tujuannya menghabiskan waktu hari ini.

"Mbak Bita," sapa Aruna dengan senyum merekah dan disambut dengan pelukan ringan dari sahabatnya.

"Ayo masuk, anak-anak lagi pada makan di dalam. Andra baru aja berangkat sama Mas Bian. Kamu udah makan? Mau sarapan bareng kita?" Juni menggiring Aruna masuk menuju ruangan lebih dalam.

Begitu memasuki ruang keluarga milik Juni, di sana nampak Kevan serta Kiana yang semakin menggemaskan berada di atas stroller dengan masing-masing memegang fresh food feeder yang berbentuk seperti empeng berisi buah jeruk segar dan menggunakan babby bip agar tidak mengotori pakaian mereka.

"Duduk dulu, Run. Aku buatkan minum sebentar." Juni berlalu meninggalkan Runa yang kini menatap si kembar dengan intens.

Melihat si kembar, tanpa sadar Aruna tersenyum serta sebelah tangannya menyentuh perutnya sendiri. Nalurinya sebagai ibu yang tak sabar bertemu dengan anaknya mulai muncul. Apakah anaknya akan semenggemaskan si kembar ketika lahir nanti? Namun begitu menyadari satu hal, senyum cerahnya perlahan surut berganti dengan senyum kecut. Sebelah tangan yang ia gunakan menyentuh perutnya kini mulai terkepal erat. Di satu sisi ia mulai menerima kehadiran janin itu, tapi di sisi lain ia merasakan sakit ketika teringat bagaimana janin itu bisa hadir dalam rahimnya.

"Minum dulu, Run." Suara Juni membuyarkan pikirannya. Ia turunkan tangannya, berusaha mengendalikan perasaan kacau yang berkelebat dalam batinnya.

"Gimana kalian?" Juni duduk tepat di sebelah Aruna berada.

"Yah, seperti ini." Aruna menghela napas setelah meletakkan cangkir yang isinya ia sesap sedikit untuk membantu menenangkan perasaanya.

Mendengar jawaban Aruna, Juni memilih diam. Ia tak bisa masuk terlalu jauh dalam ranah rumah tangga sahabatnya itu. Bahkan ia sangat tahu kenapa Aruna bisa berada salam posisinya sekarang ini. Biarlah Aruna yang menceritakannya sendiri, ia hanya cukup mendengarkan saja.

Aruna bertemu dengan Junia Tsabita saat ia pindah ke kota ini, meninggalkan Jakarta dan seluruh kenangannya. Setelah pengakuannya pada Rio tentang perselingkuhannya dengan sang bos dulu, Aruna hampir mengalami sesuatu yang buruk. Bramantyo, atasan yang beberapa bulan menjalin hubungan dengannya ternyata hanya menginginkan tubuhnya saja, Aruna yang hampir dilecehkan memilih untuk mundur dari pekerjaannya kemudian pergi menjauh meninggalkan ibu kota. Hingga suatu ketika ia di terima sebagai resepsionis di kantor milik Bian. Juni yang sering berkunjung ke kantor Bian sebelum hamil si kembar membuat mereka sering berinteraksi dan tanpa sadar menjadi dekat, hingga Aruna lebih memilih memanggil Juni dengan sebutan Mbak Bita karena keakraban mereka yang hampir seperti saudara. Bahkan ketika Juni hamil si kembar, Aruna lah yang lebih sering menemani Juni untuk menuruti ngidam yang dialami istri mantan atasannya itu.

***

"Baru pulang?" Aruna terkejut mendapati Rio yang sudah berada dalam rumah sore ini. Ia menilik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore, biasanya Rio akan berada di rumah ketika matahari telah benar-benar kembali ke peraduan tanpa menyisakan jejaknya.

"I .. iya Mas." Aruna berjalan mendekat pada Rio yang kini tetap fokus pada laptop di pangkuannya.

Belum sepenuhnya Aruna duduk, ponsel Rio yang tergeletak di atas meja terdengar berdering.

Khayshila. Nama itu muncul di layar dan sempat tertangkap indra penglihatan Aruna. Rio segera menyambar ponsel dan meletakkan laptop yang semula berada di pangkuannya kemudian berjalan menjauh untuk menjawab panggilan. Sesaat kemudian Rio kembali dengan raut khawatir yang dapat dengan jelas Aruna lihat.

"Aku pergi, kamu istirahat aja. Tidak usah masak, nanti aku pesankan makanan." Rio berlalu setelah sebelumnya menyambar jaket serta kunci motornya terlebih dahulu.

Rio yang tak biasanya pergi menggunakan motor membuat Aruna paham jika suaminya itu pasti sedang sangat terburu-buru. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Rio terlihat sepanik itu? Apakah ini ada hubungannya dengan Shila?

Semoga bukan sesuatu yang buruk, harap Aruna dalam hati.

...

Bukan Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang