🍁 6 🍁

Mulai dari awal
                                    

“Kalau boleh tahu, jadwal kontrol ke dokter kapan, Pak?”

Fikar mengangkat wajah. Dahinya mengernyit sebelum menjawab pertanyaan Naisha.

“Sabtu kalau nggak salah. Kenapa memangnya, Nai?”

“Ehm ... kalau butuh ditemani, saya bisa usahakan, Pak,” jawab Naisha. Tampak sungguh-sungguh dengan tawarannya.

Fikar tersenyum dan mengangguk. “Oke. Kamu ke rumah aja. Nanti jam berapa tepatnya, saya kabari lewat telepon.”

Naisha mengernyitkan dahi saat melihat Fikar yang tampak kesulitan makan dengan tangan kiri. Tanpa sengaja, gerakan mencuri pandangnya itu tertangkap oleh Fikar.

Pria itu mengangkat alis. “Kenapa lagi?”

Naisha buru-buru menggeleng.

Tak mau melepaskan gadis itu, Fikar lalu bertanya, “Atau kamu mau suapin saya sekalian?”

Tawa Fikar lepas saat melihat Naisha tersedak kecil. Buru-buru meraih gelas, dia minum untuk meredam batuknya. Tanpa Naisha sadari kalau Fikar diam-diam menikmati ekspresi yang menghiasi raut wajahnya.

***

Nabil membukakan pintu untuk Naisha. Alis pria itu berkerut melihat kantong plastik bening yang dibawa kakaknya.

“Mbak Nai dari mana?”

“Dari tempak Pakde Mardi.” Naisha masuk dan langsung menuju dapur.

Nabil mengekori kakaknya. Mengamati Naisha yang menaruh plastik yang dibawanya ke dalam baskom, lalu membawanya ke belakang.

“Kakak beli ikan?” Nabil bertanya saat melihat kakaknya mulai mencuci ikan yang ternyata sudah disiangi.

Naisha mengangguk. Tangannya membersikan ikan dengan hati-hati. Memastikan tak ada kotoran dan sisik yang tertinggal.

“Itu ikan gabus, 'kan? Tumben Mbak beli ikan itu? Biasanya ikan mujair atau lele?” Nabil masih tampak heran.

Kali ini, Naisha menoleh. “Ini mau Mbak kukus terus ambil minyaknya. Buat obat luka biar cepat sembuh.”

Nabil mendekat dengan cepat. Menarik tangan Naisha untuk berdiri, dia membolak-balik tubuh kakaknya. Seperti mencari sesuatu.

“Eh, kamu cari apa, sih?”

“Mbak Nai luka? Di mana? Kenapa bisa luka?”

Naisha terkekeh, lalu melepaskan pegangan tangan adiknya. Kembali berjongkok, dia meneruskan pekerjaannya tadi.

“Bukan buat Mbak. Tapi buat Pak Fikar,” ucap Naisha menjelaskan.

“Pak Fikar? Atasan Mbak Nai di kantor?”

Naisha melirik adiknya sekilas. “Kamu masih ingat?”

Pemuda itu mengangguk. Fikar adalah orang yang pernah menolong kakaknya saat terserempet bis. Saat itu, Naisha sedang menyeberang jalan menuju kantor. Walaupun sudah cukup lama berlalu, Nabil masih mengingatnya.

“Dia sakit apa?” tanya Nabil lagi.

“Jatuh. Gara-gara Mbak kurang hati-hati, Pak Fikar jadi celaka. Tangannya luka sampai harus dijahit.”

Nabil cukup terkejut. “Tapi Mbak nggak kenapa-kenapa?”

Naisha menoleh dan tersenyum, lalu menggeleng. Jawaban yang membuat Nabil lega seketika.

Gadis itu menata saringan di atas mangkuk berbahan stainless, lalu menaruh ikan gabus di atasnya. Baru setelah air di panci pengukus mendidih, Naisha memindahkan mangkuk berisi ikan itu ke dalam panci. Terakhir, dia menutup panci dengan rapat.

Selama Naisha bekerja, Nabil mengawasi dari kursi yang ada di dapur.

“Mbak?” panggilnya saat Naisha sudah selesai.

“Hm?”

“Kemarin, aku ngobrol sebentar sama Mas Ammar waktu ketemu di kampus.”

Tangan Naisha yang sedang mengelap permukaan meja dapur berhenti bergerak. Setelah sekian lama, ternyata nama itu masih memberikan efek luar biasa baginya. Namun, sebisa mungkin dia meredam apa yang mulai menyala di hatinya.

Sudah benar keputusanmu, Nai! Jangan pernah menyesal karena melepas sesuatu yang memang belum kamu miliki sepenuhnya! Begitu bisikan hatinya yang berisik, mencoba mengalahkan tunas yang keluar dari rasa yang telah lama dikuburnya dengan dalam.

“Mas Ammar nanyain kabar Mbak Nai.” Nabil melanjutkan.

Tersenyum tipis, Naisha menyahut datar, “Kamu tinggal jawab apa adanya. Mbak sehat dan baik-baik aja.”

Nabil mengembuskan napas perlahan. Dia sendiri tak pernah bisa menebak apa yang tengah bergulat dalam hati dan juga pikiran kakaknya ini. Sedih? Patah hati? Putus asa? Atau mungkin malah trauma?

“Kenapa, sih, Mbak Nai nggak setuju untuk kawin lari sama Mas Ammar? Mas Ammar sudah dewasa dan mandiri secara finansial. Nggak masalah kalau harus keluar dari rumah orangtuanya. Lagipula, kata orang-orang, hati orang tua itu akan selalu lemah pada anak-anaknya. Seiring berjalannya waktu, bapaknya Mas Ammar pasti bisa menerima Mbak Nai sebagai menantunya.” Nabil mengungkapkan pendapatnya dengan yakin dan mantap.

Duduk di dekat adiknya, Naisha mengulum senyum tipis. Dia tahu kalau adiknya menyampaikan itu karena berharap yang terbaik untuknya. Untuk kebahagiaan kakak semata wayangnya. Tapi dia harus meluruskan satu hal yang menjadi keyakinannya.

“Kalau kamu nanti sudah dewasa dan siap untuk menikah, lalu ada gadis yang kamu cintai. Kamu mati-matian ingin menikah dengannya. Tapi ternyata Mbak nggak setuju. Kamu juga mau kawin lari?”

“Ya nggaklah!” sahut Nabil cepat.

Naisha tersenyum mendengar jawaban spontan dari Nabil. “Kenapa?”

Nabil mengerutkan kening. Tampak heran. Seolah pertanyaan Naisha tidak masuk akal. “Ya, masa aku ninggalin Mbak cuma demi perempuan,” jawabnya tak terima.

“Biarpun dia adalah wanita yang benar-benar kamu cintai?”

Nabil mengangguk mantap. “Iya. Lagian, aku lebih sayang sama Mbak Nai. Mbak udah banyak berjasa dalam hidupku. Nggak mungkin aku tuker Mbak hanya demi seorang perempuan.”

“Lalu, kenapa kamu setuju dengan tindakan Mas Ammar yang mau mengajak Mbak kawin lari?” Naisha kembali bertanya.

Nabil terdiam. Paham maksud kakaknya.

Naisha tersenyum, lalu mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Mas Ammar dibesarkan dan dirawat oleh orangtuanya hingga sukses seperti sekarang. Bagaimana bisa Mbak tega membuatnya meninggalkan orang-orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu?”

“Nabil, jasa orang tua adalah salah satu hal yang tak akan pernah bisa kita balas. Sekuat apapun kita berusaha, selama apapun kita mengabdi, bahkan walaupun kita menghabiskan sepanjang hidup untuk terus berbakti, semua tak akan pernah sanggup membayar apa yang telah mereka berikan. Kasih sayang yang mereka curahkan, keringat dan darah yang mereka korbankan, serta doa dan harap yang mereka panjatkan. Kita takkan bisa memberi balasan yang setimpal, bahkan bila kita berikan dunia dan seisinya pada mereka.”

“Mas Ammar pada dasarnya adalah anak yang berbakti, dan Mbak akan merasa berdosa seumur hidup bila menjadi alasan baginya untuk berubah menjadi anak durhaka,” pungkas Naisha, bukan hanya untuk menyakinkan Nabil, tapi juga dirinya sendiri.

Bersambung ....

Aksioma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang