🍁 6 🍁

718 89 3
                                    

"Orang tua, pahlawan yang jasanya tak akan pernah bisa terbalaskan. Bahkan, bila kamu berikan dunia dan seisinya."

***

Naisha berdiri di depan gedung kantor utama. Masih terlalu pagi. Dia memang sengaja berangkat lebih awal. Kakinya bergerak gelisah. Akhirnya, dia memilih bersandar pada salah satu pilar. Beberapa menit diam, Naisha baru menegakkan tubuhnya saat ada sebuah motor masuk dan berhenti di area drop off yang tepat berada di depannya. Si penumpang pria menyerahkan helm pada sang pengemudi yang kemudian berlalu.

“Pagi, Nai,” sapa Fikar sambil menaiki undakan tangga.

Naisha tersenyum sedikit. “Pagi, Pak. Itu tadi Pak Fikar naik ojek?”

Fikar menoleh ke belakang, mengikuti tatapan Naisha yang mengiringi kepergian pengantarnya tadi.

“Ah, iya.”

Pria itu mulai berjalan masuk. Naisha mengikuti selangkah di belakangnya.

“Kenapa nggak bareng sama Pak Arif aja, Pak?”

Fikar menoleh sedikit agar bisa menatap Naisha saat bicara. “Pak Arif lagi cuti, Nai. Ada acara keluarga di tempat kerabat di Jakarta.”

“Oh, begitu.” Naisha mengangguk. “Bu Asmi ikut juga?”

“Iya. Sama Sheza juga. Faiz yang ditinggal karena nggak bisa izin dari sekolahnya.”

Naisha kembali mengangguk.

“Kamu tumben banyak tanya,” tegur Fikar.

“Ah, maaf, Pak,” ucap Naisha spontan dengan pipi merona.

Fikar tertawa kecil, lalu menggeleng. “Saya tanya, tapi bukan berarti keberatan, Nai. Kamu bebas tanya apa pun sama saya, kok.”

Rona di pipi Naisha makin kentara. Membuang wajah ke arah lain, dia berusaha menguasai diri dari rasa familiar yang sekarang terasa asing karena lama tak menyapa.

***

Gadis itu bergerak cekatan mengambilkan nasi dan lauk, lalu membawanya pada Fikar yang menunggu di salah satu meja. Tangan Naisha dengan lincah memindahkan piring dan gelas dari nampan dan mengaturnya di atas meja.

“Sebenarnya, saya bisa ambil sendiri, lho,” ucap Fikar. “Tapi terima kasih banyak karena sudah mau repot-repot bantuin saya.”

Naisha tersenyum manis. “Sama-sama, Pak. Kan saya memang sudah bersedia untuk menjadi pengganti tangan kanan Pak Fikar sementara waktu.”

“Ya ampun, saya kemarin cuma bercanda aja, Nai,” sahut Fikar cepat.

Naisha tidak menjawab. Dia tahu kalau pria itu memang tidak serius dengan ucapannya kemarin. Tapi Naisha yang memutuskan sendiri kalau dia memang pantas untuk membantu Fikar. Semua tidak lain karena rasa bersalah telah menyebabkan Fikar jadi celaka.

Naisha benar-benar totalitas dalam mewujudkan sesuatu yang sudah dia putuskan. Buktinya, saat melihat Fikar kesulitan memotong dagingnya dengan tangan kiri, dia dengan cekatan langsung mengambil alih piring Fikar. Memotong daging seukuran satu kali suapan, lalu menyerahkan kembali piring itu pada Fikar yang tampak tertegun.

“Mari makan, Pak,” ajak Naisha.

Fikar tergagap, seakan baru tersadar dari lamunan. Dia makan pelan menggunakan tangan kiri. Kepala pria itu menunduk dan makan dalam diam.

Naisha yang duduk di hadapan Fikar tampak mencuri pandang pada pria itu beberapa kali. Bukan karena apa-apa, dia hanya ingin memastikan Fikar tidak mendapat kesulitan saat makan.

Aksioma RasaWhere stories live. Discover now