🍁 1 🍁

2.5K 144 11
                                    

"Hidup itu penuh dengan teka-teki. Tak ada yang tahu pasti bagaimana pola yang berlaku. Ada yang datang, bersamaan dengan yang pergi. Ada yang harus berpisah saat hati masih bertaut ketat layaknya genggaman jari."

****

Gadis berambut sebahu itu meremas kedua tangan yang berada di pangkuan. Kepalanya menunduk, hingga anak rambutnya yang tergerai di dahi itu seolah menjadi tirai yang melambai saat ditiup angin. Dari gestur tubuh yang tersaji, tampak kalau dia baru saja mengalami hal yang berat.

"Ayo kita kawin lari. Aku laki-laki, jadi tak butuh wali nikah."

Ucapan itu berasal dari pria yang duduk di sebelahnya. Sosok yang tetap terlihat tinggi walaupun dalam posisi duduk. Kulitnya berwarna cokelat cerah, menunjukkan kalau dia sering beraktivitas di luar ruangan. Tubuhnya tegap dengan wajah tampan.

Gadis itu bergeming. Tak bergerak, maupun bersuara. Masih setia tunduk dalam hening. Semilir angin yang berembus tak mampu merayunya agar mengangkat kepala dan merasai lembut segar udara menyapa wajah.

"Ibu juga setuju. Ibu pasti mau bantu. Kita juga bisa pindah kalau kamu keberatan un-"

"Ayo putus."

Dua kata saja dan mampu membekukan lidah yang terus meracau dalam rencana yang dibawahi oleh sebuah emosi tanpa logika.

Wajah itu kini mendongak. Menoleh untuk memberikan tatap sepenuhnya pada wajah pria yang menjadi kekasih selama tujuh tahun lamanya. Kini terpampang jelas betapa sendu roman jelita itu. Mata sembab dengan jejak air mata mengering di dua belah pipinya.

"Aku nggak akan pernah mau menikah tanpa restu orang tua. Jadi ... ayo kita akhiri semua ini, Mas. Hubungan kita nggak akan pernah punya masa depan," ucapnya dengan lirih dan melambat di bagian akhir.

Helaan napas putus asa itu terumbar. Sejak satu tahun ini, semua terasa jungkir balik. Keadaan tak lagi sama. Tanggapan pada hubungan mereka yang terjalin sempurna pun kian berubah. Yang sama mungkin hanya satu, betapa rasa itu masih nyata dan tumbuh subur dalam hati masing-masing.

"Nai ...." Panggilan sarat permohonan itu keluar.

Naisha, gadis itu menggelengkan kepala. Tidak keras memang, tapi raut wajahnya tampak tak ingin menerima bantahan. Dia tahu kalau harus ada yang menyadarkan mereka tentang kenyataan yang menyapa di depan. Hubungan mereka ini tak punya masa depan. Tak ada celah setelah penolakan yang datang begitu bertubi-tubi.

"Ayo putus. Sebelum semua terlanjur jauh. Perasaan cinta, juga kecewa yang nantinya kita rasa," ucapnya pelan, tapi menikam hati di seberangnya.

Pria itu menampilkan ekspresi tidak terima. Ada kecewa saat dia tak mendapat respons yang diharapkan. Perjuangan harus dilakukan berdua, tidak bisa dia sendiri. Namun, saat melihat Naisha yang seperti ini, pria itu tahu kalau dermaga telah terlihat. Bukan sebuah impian berupa pernikahan, melainkan duka yang bertajuk perpisahan.

Sebenarnya, semua tak jauh berbeda dengan apa yang dirasa oleh Naisha. Baginya, tak ada pria sebaik Ammar. Tapi takdir memang tak berpihak pada mereka saat ini. Ibarat catur, mereka hanyalah pion, bergerak sesuai dengan takdir yang tergaris.

Namun, pria itu rupanya tetap tegak pada pendapatnya. Masih menyimpan asa kalau sesuatu yang diusahakan dengan baik, pun pasti sama dengan hasil yang kelak diperoleh. Mereka tidak gagal, hanya belum berhasil saja.

"Kita coba sekali lagi. Temui Bapak bila hatinya sudah melunak. Kita bicara baik-baik, nanti Ibu pasti juga mau membantu untuk bujuk Bapak. Aku yakin pasti Bapak pada akhirnya akan merestui kita, Nai," bujuk pria itu dengan rasa percaya diri yang cenderung keras kepala.

Aksioma RasaWhere stories live. Discover now