"Ngga berangkat?"

"Masa? Itu tasnya ada kok."

Tzuyu menunjuk tas Sana yang berada diatas meja menggunakan dagunya.

"Terus kemana?"

"Gue disini."

Sana tiba-tiba muncul dari arah pintu. Wajahnya tampak sedikit pucat, rambutnya juga terlihat sedikit berantakan.

"Lo kenapa? Ancur gitu. Abis diterpa badai apa gimana?"

"Ngga papa, kok. Abis dari UKS gue tadi."

"UKS?"

Mina menatap Sana yang kini duduk di sebelahnya, tatapan nya turun kearah telapak tangan kiri gadis itu. Hela napas kasar keluar begitu saja dari mulut Mina.

"It-"

"Tangan lo kenapa?"

Jihyo bertanya dengan panik, diraihnya lengan Sana lalu meneliti telapak tangan yang terbalut perban itu.

"Ngga papa. Kena kaca tadi di toilet, makanya gue ke UKS buat ngobatin ini."

"Sebesar itu lukanya?"

"Hm."

"Lo balik aja deh, takut pingsan. Muka lo udah macem mumi gitu."

Sana hanya menggeleng, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Mina.

"Lo ngga papa?" Bisik Mina pelan.

"Ya."

"Maaf."

"Kenapa harus minta maaf? Ini sama sekali bukan salah lo."

















































"Say goodbye to the world-,"

"-Minatozaki Sana? Harus gue bilang itu sekarang?"

Sana tersenyum tipis. Menatap gadis di depannya dengan lembut. Sama sekali tidak merasa takut.

"Sure. Lakuin apa yang lo mau."

"Jangan senyum ke gue."

Gadis itu membuang mukanya dengan sebal. Ia semakin mencengkeram erat pisau di genggamannya.

"Gue selalu senyum ke lo. Apapun yang lo lakuin gue ngga pernah larang, tapi kali ini lo udah kelewatan. Gue cuma minta lo berhenti. Apa ngga bisa?"

"Ngga. Kalo Mina ngga bisa ngelakuin ini, biar gue aja. Gue mau, gue bisa ngelakuin ini. Lo ngga berhak larang gue, lo siapa?"

Hati Sana mencelos mendengar itu. "Gue siapa? Hahaha. Iya, gue emang bukan siapa-siapa buat lo. Tapi sebagai sesama manusia, gue harus punya sedikit rasa empati dan simpati kan?"

"Gue bukan manusia, jadi gue ngga punya rasa kaya gitu."

"D-"

"Stop! Jangan panggil gue dengan sebutan itu. Gue ngga suka."

Sana berjalan mendekat, Ia menunduk. Wajar, gadis itu sedikit lebih pendek ketimbang dirinya.

"Gue ngga pernah keberatan buat lo bunuh, g-"

Sreetttttt.

Sana memang berkata kalau Ia tidak keberatan, tapi ketika gadis itu melayangkan pisau kearah perutnya, Sana dengan sigap menahan pisah itu. Tinggal 1 cm lagi, sampai pisau itu menembus perutnya.

"Katanya lo ngga keberatan, tapi ini apa? Masih mau hidup kan lo?"

"Ya, gue emang ngga keberatan, tapi gue keinget Mina. Dia bakal hancur setelah tau kalo gue dibunuh sama lo."

Gadis itu tersenyum. Sebagian kecil dari hatinya menghangat, tapi sebagian lagi merasa terguncang. Ia semakin kuat menekan pisau itu, berharap bisa menusuk perut Sana, setidaknya sekali.

"Errgghhh." Emang Sana tertahan, ketika tangannya terpaksa menggenggam mata pisau agar tidak mengenai perutnya.

"Wow, lo mau tangan lo sobek, hm? Boleh juga lo."

Sana menatap tajam sorot mata itu, Ia mendekat. Membisikkan sebuah kalimat di telinga gadis itu.

"Ini Kakak, Dek. Kamu mau bunuh Kakak?"


















































"Eh, kalian sadar ngga, sih?"

Dahyun tiba-tiba berucap di tengah keheningan. Ia baru saja menelusuri setiap kode yang diberikan Sang peneror kepada mereka.

"Apa?"

"Liat nih, setiap kali itu peneror ngirimin kode ke kita, dia pasti ngasih satu huruf di belakang kata-kata see you."

Chaeyoung langsung menarik handphone Dahyun lebih dekat kearahnya. Ia melihat satu persatu kode itu.

"Lo bener. Kenapa kita ngga sadar ya?"

"Terlalu fokus sama kodenya, kita sampe nggak sadar sama clue yang sengaja dikasih sama dia."

"Clue?"

"Ya. Bisa aja itu inisial nama, atau tempat? Atau apalah yang menjurus kepada pelakunya."

"Kumpulin?"

"Harus."

Mereka mulai mengumpulkan huruf-huruf itu. Dari awal ketika mereka mendapatkan kode pertama, sampai kode yang terakhir mereka dapatkan kemarin.

"ZMHNSI?"




















































ZMHNSI?

"Hah, nama dia kan?"

"Ya. Dia ngasih satu per satu huruf dalam namanya ke setiap kode. Kita aja yang ngga sadar."

CODE |Part 0.2 - ~|Where stories live. Discover now