"Nona, Nona ... apa kau mendengarku?" Nana mengerjap dan menoleh dengan napas sedikit tersengal, menatap seorang pria yang berjongkok di hadapannya. Kaos putih pria itu basah kuyup, mencetak tubuhnya yang terpahat sempurna. Sisa air laut tampak masih menetes dari rambut gelapnya yang basah. Mengalir membasahi garis rahang yang tegas dan jatuh melewati bahu tegapnya.

"Nona?" pria itu bertanya untuk kesekian kalinya. Namun, Nana hanya menggeleng dan menepis tangan lelaki itu sebelum bangkit berdiri, melangkah gontai menuju mobilnya yang terparkir tak terlalu jauh. Meninggalkan si lelaki jangkung yang masih menatapnya dengan raut prihatin sekaligus tak habis pikir.

 Meninggalkan si lelaki jangkung yang masih menatapnya dengan raut prihatin sekaligus tak habis pikir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sebelum melangkah meninggalkan mobil, Nana menyempatkan diri menatap pantulan wajahnya di cermin. Lingkaran hitam yang sebelumnya tampak begitu kontras di area matanya kini tak lagi terlihat. Ya, karena kejadian semalam, Nana nyaris tak dapat terlelap. Di pagi hari, ia menghabiskan waktu selama hampir dua jam hanya untuk menutup lingkaran hitam di area matanya menggunakan kosmetik dengan senatural mungkin. Nana tak ingin memancing perhatian banyak orang dengan menunjukkan wajah yang menyedihkan. Sungguh, Nana benci dikasihani.

Nana berusaha memfokuskan dirinya dengan kelas yang tengah ia ikuti. Namun, bayangan Tom terus-terusan muncul dalam kepalanya. Dosen bahkan sempat menegurnya karena melamun, dengan wajah penuh simpati. Ya, tentu saja. Semua dosen bersikap baik kepadanya. Lagipula, Nana memang selalu menjadi favorit mereka. Karena Nana selalu menjadi pemilik julukan mahasiswi sempurna.

"Nana, jika memang tidak enak badan, kau bisa mengakhiri kelas hari ini, bagaimana?" Prof. Anton bertanya lembut. Seorang profesor yang dikenal garang pun, takluk pada seorang Nana Permana.

Nana sedikit mendongak, mengabaikan tatapan seluruh penjuru kelas padanya, kemudian tersenyum. Senyum palsu yang selalu berhasil menipu semua orang. "Saya baik-baik saja, Pak. Bagaimana bisa saya melewatkan mata kuliah Bapak?"

Prof. Anton tersenyum simpul dan melanjutkan penjelasannya. Seluruh atensi kelas kembali fokus ke depan. Senyum Nana perlahan surut, gadis itu membiarkan lamunannya kembali untuk sesaat, namun tetap berusaha memertahankan topengnya di waktu bersamaan. Susah payah, gadis itu menghadiri semua kelasnya hari ini.

Nana melangkah menuju kafetaria saat hari mulai beranjak sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nana melangkah menuju kafetaria saat hari mulai beranjak sore. Ia memilih tempat di paling sudut sembari menikmati semburat jingga di ufuk barat. Gadis itu menghela napas, teringat kejadian di pantai semalam. Sungguh, ia tak berniat bunuh diri, ia tak sadar jika langkahnya sudah terlampau jauh. Dan pria itu, Ah, Nana bahkan tak sempat mengucapkan terimakasih sekalipun.

Kali ini, bayangan lelaki itu berhasil memenuhi benak Nana, mengusir ingatan tentang Thomas untuk sementara. Nana tak bisa lupa bagaimana pria asing itu merengkuhnya dengan erat. Tatapan matanya sarat kekhawatiran, asing, Nana merasa asing dengan raut seperti itu. Jantung Nana berdebar, aliran darahnya berdesir lebih kuat ketika ia menyadari ketulusan di kedua mata gelap pria itu.

Entah apa yang terjadi jika pria itu tak datang. Mungkin nama Nana akan terpajang di surat kabar pagi ini. Puteri politikus dan pebisnis ternama, mati mengenaskan dengan bunuh diri setelah dikhianati sang kekasih. Miris. Nana bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya nanti. Mereka takkan bersedih untuknya, sang ayah akan menangisi sahamnya yang anjlok, sementara sang ibu akan sibuk bersandiwara di hadapan publik. Demi Tuhan, Nana sudah bisa menebaknya dengan mudah.

"Nana!" suara itu sukses membuyarkan lamunan si pemilik nama, gadis itu mengembuskan napas kesal begitu mengenali sang pemilik suara. Thomas berdiri tepat di depan mejanya. Menatap dengan pandangan menyesal yang penuh kepalsuan.

Nana mendecih, pria itu membuat kesalahan besar dengan berbohong di hadapan pembohong andal. Ayolah, Nana menghabiskan kehidupannya dengan belajar menjadi pembohong.

"Aku sungguh minta maaf, Na. Aku mabuk dan Teressa terus saja menggodaku!"

Nana tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya, "Oh, jadi ... namanya Teressa. Nama yang cantik, Tom."

Thomas masih memertahankan raut palsunya saat Nana berjalan mendekat. Gadis itu memainkan bagian depan kaos yang dikenakan sang--mantan--kekasih sebelum kembali berujar seraya tersenyum, "senang mengetahui kau bersenang-senang dengannya."

"Na ..." lagi, Thomas menunjukkan penyesalan palsu di wajahnya. Entah mengapakah hal itu begitu jelas bagi Nana. Membuat senyum gadis itu lenyap, rautnya kini terpatri begitu dingin.

"Cukup, Tom. Semuanya sudah berakhir semalam. Saat kau menyentuhnya, saat itulah semua tentang kita lenyap untuk selamanya."

****

Authordyp

Nana - Everything's FakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang