Sementara, gadis di sebelahnya berbeda pemikiran. Baginya, semua telah final. Keberatan yang diajukan oleh bapak kandung Ammar bukanlah sesuatu yang bisa diperbaiki, apalagi diubah. Ini tentang takdir kurang beruntung yang memang harus dijalaninya, jadi tak ada usaha apa pun yang bisa mengubah itu semua.

"Aku menyerah, Mas. Kita harus melihat masalah ini secara realistis."

Naisha beranjak berdiri. Pria itu tak mengikuti dengan gerak serupa. Hanya matanya yang masih setia menatap wajah cantik yang telah berhasil memikat hati selama bertahun-tahun lamanya.

"Aku pulang dulu," ucap Naisha.

Kaki kecil yang dibalut celana panjang itu mulai melangkah. Satu, dua, tiga, dan terus berlanjut. Hingga saat jarak tercipta sekitar tiga meter, gema suara itu menahan langkah berikutnya.

"Pergi, kalau itu maumu. Tapi aku nggak akan menyerah!" teriak Ammar di sela putus asa yang mendera.

Tak menoleh, tapi buliran bening itu luruh juga. Bersama dengan isak yang diredam lewat bibir yang sengaja digigit. Dia harus bisa mengeraskan hati. Semuanya tak akan pernah mudah. Keputusan yang diambil Ammar, tak lebih dari sebuah bentuk kekecewaan karena restu yang tidak didapat. Namun, Naisha tahu betul siapa prianya itu. Dia tak akan pernah sanggup meninggalkan keluarganya. Sekeras apapun perlakuan bapaknya.

Menghela napas untuk menguatkan diri, Naisha kembali melangkahkan kaki. Tak mau untuk sekadar menengok ke belakang, walaupun dengan ujung mata. Tekadnya harus terlihat kuat, setidaknya di depan Ammar.

"Nai!"

Suara itu kembali terdengar.

"Naisha?"

Kali ini dalam bentuk suara lirih yang menikam hati Naisha dengan dalam. Namun, itu tak mengubah apa yang telah gadis itu putuskan. Mereka harus mengalah. Tak ada orang yang bisa membuatnya mengubah keputusan ini. Pertikaian ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah dia menangkan. Dia dan bapak kandung Ammar bukanlah lawan yang sebanding.

Sekarang, mungkin Ammar masih dibuai oleh rasa cinta hingga bisa melupakan akal sehat. Tapi kelak, pria itu pasti akan sadar betapa benar keputusan yang dibuat oleh Naisha. Bapak dan segala jasa pada hidupnya, tak akan pernah sebanding bila hanya ditukar dengan seorang Naisha. Cinta, bisa dicari dan ditumbuhkan dari gadis lainnya. Tapi orang tua, tak akan pernah ada gantinya.

Angin bertiup semakin kencang seiring dengan mendekatnya waktu senja. Matahari mulai mengubah warna langit menjadi jingga, awan mulai berteman dan membentuk sebuah keteduhan. Ammar menghela napas panjang. Pikirannya buntu, hatinya kacau. Namun, keyakinannya belum goyah. Dia akan berjuang terus walaupun sendirian.

***

Naisha menghentikan motornya di depan pagar rumah. Turun untuk membuka gerbang, lalu mendorong motor hingga ke depan pintu. Sepi, tak terdengar ada suara dari dalam. Tapi Naisha tahu kalau ada seseorang di dalam sana.

Naisha menenangkan diri dengan cara menghela napas panjang beberapa kali. Merasa lebih baik, selanjutnya dia melatih senyum lewat kaca spion. Memastikan wajahnya tampak riang, tidak menyisakan satu mendung sedikit pun.

Pintu depan tidak terkunci. Belum magrib, biasanya pintu depan memang mulai dikunci setelah azan. Naisha langsung mendorong motornya masuk. Tepat setelah Naisha selesai memasang standar tengah pada motor, seorang pemuda datang dari arah dalam.

"Lho, Mbak Naisha udah pulang? Kirain makan malam di rumah Mas Ammar," ucapnya setengah heran.

Bibir Naisha mengulas senyum lebar. Terlalu lebar dan tidak natural bila diperhatikan lebih seksama. Namun, dia menyamarkan semua itu dengan cara mengangkat satu tangannya yang memegang bungkusan plastik putih.

"Nasi goreng Mas Tejo," ucapnya dengan riang.

Pemuda itu berbinar. Itu adalah makanan kesukaannya. Bukan barang mewah, tapi bahagia untuk dua orang bersaudara ini memang selalu sederhana. Seperti sekarang ini. Dua bungkus nasi goreng hangat yang dibeli tidak jauh dari rumah mereka.

Nabil, adik semata wayang Naisha itu bergerak dengan cekatan. Mengambil piring dan juga sendok. Masing-masing dua buah, untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri. Naisha mengamati dalam diam. Ada keharuan menyeruak saat melihat betapa sangat rajin pria muda ini.

Ingatan Naisha dipaksa untuk menoleh ke belakang. Saat di mana mereka masih hidup dengan sempurna. Lengkap dan tidak timpang seperti sekarang.

Sekuat tenaga, Naisha menghempaskan semua memori yang hanya akan memancing kelenjar air matanya untuk berproduksi. Tangis tak akan pernah mengubah keadaan. Bertahun lalu, Naisha sudah membuktikannya. Ratusan tangis yang tercurah tak mampu mengembalikan waktu. Jutaan air mata tak mampu menghadirkan apa yang telah terenggut.

"Makan, Mbak."

Ajakan Nabil mengembalikan Naisha ke alam sadar. Dia mengurai senyum melihat sepiring nasi goreng untuknya telah disiapkan. Mencuci pandang ke arah samping, dia mendapati Nabil mulai makan dengan lahap.

Betapa segala sesuatu bisa begitu cepat berubah. Ada yang baik, walaupun diiringi dengan sesuatu yang kurang baik. Naisha tak mau menyebutnya buruk. Ini takdir, begitu hibur Naisha pada diri sendiri.

Dulu, Nabil begitu manja. Jangankan menyiapkan makanan orang lain, bahkan makanan untuknya harus disodorkan di bawah hidung. Belum lagi masalah lauk. Hanya mau makan bila ada makanan kesukaannya. Dia tak suka, maka mulutnya pun tak akan mengunyah. Hanya akan dijadikan makanan itu mubazir di atas piring.

Sekarang, bahkan pujian sebagai adik yang sempurna pun tak cukup untuk menjadi predikatnya. Begitu pengertian dan sayang pada kakaknya. Hidup berdua menjadikan mereka hanya saling memiliki satu sama lain. Yang awalnya jauh, sekarang menjadi lekat. Yang mulanya dingin, kini makin menghangat.

Naisha memaksakan diri untuk menelan makanan di mulutnya. Sembari menahan sesak di tenggorokan, dia mengunyah dengan gerakan pelan.

"Aku kira Mbak Naisha mau makan malam sama Mas Ammar." Nabil kembali mengulang kalimatnya tadi.

Naisha diam. Tak mau menambah kebohongan. Juga karena dia sudah kehabisan alasan. Anehnya, Nabil tak mencerca lebih jauh. Diam dan membiarkan pertanyaannya dianggap angin lalu.

Selepas makan, Naisha meraih piring kosong untuk dibawa ke belakang. Namun, gerakannya itu dihentikan oleh Nabil. Sebagai gantinya, pemuda itu yang mengambil alih piring dari tangan kakaknya.

"Mbak Naisha istirahat aja. Biar aku yang cuci piring."

"Emang kamu nggak ada tugas kuliah?" tanya Naisha.

"Sudah selesai aku kerjain tadi sore," jawabnya singkat lalu pergi ke belakang.

Naisha mengamati punggung lebar itu menjauh dan akhirnya menghilang di balik dinding pembatas ruang makan dan dapur. Dia mengembuskan napas panjang sebelum kemudian berdiri dan masuk ke kamar.

Setelah pintu kamar tertutup dan memberikannya privasi, sesak di dadanya tak tertahan lagi. Manifestasi bentuk kesedihan terurai lewat bulir air yang mengalir di pipi. Satu persatu luruh bersama dengan isak teredam punggung tangan. Walaupun berusaha kuat, nyatanya dia tetap tumbang. Hatinya patah.

Beberapa meter dari tempat Naisha menangis pilu, ada seorang adik yang juga buru-buru mengusap matanya yang terasa panas. Tangannya memang sibuk mencuci piring dan sendok, tapi pikirannya jauh berkelana.

Tadi sebelum Naisha pulang, dia lebih dulu menerima telepon dari Ammar. Kekasih kakaknya itu menanyakan keberadaan Naisha karena ponselnya tak aktif. Nabil yang cerdas tentu saja langsung bisa menyimpulkan kalau ada yang tidak beres dengan mereka berdua. Benar saja, karena Ammar kemudian menceritakan tentang semua yang terjadi di rumahnya. Tentang penolakan bapaknya atas rencana Ammar yang ingin menikah dengan Naisha.

"Pria berengsek, nggak bertanggung jawab," desis Nabil pelan. Dia bukan tipe pria kasar yang mudah mengumpat. Tapi melihat keadaan kakaknya sekarang, dia benar-benar dikuasai oleh amarah. "Nggak ada pun masih bisa bikin susah orang."

Bersambung ....

***

Aksioma RasaWhere stories live. Discover now