5;

25 4 15
                                    

Abin gigit kuku telunjuknya keras-keras. Wajahnya gelisah, susah bedain mana yang kebelet ke toilet sama panik karena seseorang mungkin udah nunggu dia terlalu lama.

Lagi-lagi klakson mobil itu ditonjok. Aduh, padahal mobil masih sisa cicilan. Emang dasarnya aja Abin sedikit nggak tau diri.

"Anjing, kenapa gini sih?"

Tolnya lumpuh total. Maju nggak bisa mundur juga nggak bisa. Kalo tau begini dia milih buat lewat tol lingkar luar aja. Mana udah terlanjur belok dan jauh dari percabangan.

Akhirnya Abin keluar, jalan sedikit ke depan dan nemuin bapak-bapak ngomandoin sesuatu walaupun masih gerimis sisa hujan gede tadi.

"Pak, ini kenapa ya?"

"Di depan ada truk terguling, mobil gak bisa lewat," Jawab bapak itu lalu nyingkirin badan Abin gitu aja. "Mundur!!! Mundur pelan-pelan ke belakang!!! Jalannya ke tutup gak bisa lewat!"

Yang bisa Abin lakuin cuma ngehela napas. Dia balik lagi ke mobil, sesuai permintaan bapak tadi semua kendaraan di belakang Abin menjauh perlahan.

Dan bisa lolos dari kemacetan itu.

Awal mula kecepatannya tinggi, toh dia nggak peduli, dia mau cepet-cepet ngejemput sebelum acara pentingnya selesai. Tapi soal truk tadi bikin dia kepikiran...

Iyaudah, Abin emang semester tua, umur udah 23, tetep aja masih suka bimbang.

Mobil itu melambat dan pindah ke lajur tengah. Terkesan santai, berbanding terbalik sama telunjuk yang terus diketuk ke setir juga bawah bibir yang nggak sadar dia gigit.

Abin bisa lega tujuan perjalanannya mungkin butuh waktu sekitar sepuluh menit lagi. Semakin terpangkas jaraknya, semakin berdebar jantungnya. Dia excited banget. Karena mungkin... ini termasuk hal pertama yang pernah dilakuin sepanjang hidupnya.

Tangannya memutar setir ke ke kiri. Senyumnya nggak tertahan setelah dia liat udah ada mobil mewah hitam terparkir di sana.

Abin berhentiin mobilnya sembarangan. Dia keluar sambil bawa satu jaket yang sejak tadi geletak di passenger seat sebelahnya.

Langkahnya ringan. Jauh lebih ringan dibanding tahun-tahun lalu. Tahun penuh awan gelap, gemuruh petir tiada henti dan tanpa kerlipan bintang sepanjang hari.

Lalu langkah itu berubah menjadi lari-lari kecil.

Kedua tangannya terbentang dengan jaket di genggaman tangan kanan. Bohong kalo Abin bilang dia nggak kangen, tapi dia nggak nolak kalo dibilang benci pada wanita ini.

Terus apa?

Lelaki itu juga nggak tau.

Mereka pelukan. Erat. Nyalurin semua perasaan mereka; sedih, senang, marah, benci, namun yang mampu ditafsirkan itu rindu.

Rindu yang menyakitkan.

"Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Abin sambil mengenakan jaket miliknya pada tubuh sang wanita yang terbalut dress pendek.

Yang ditanya hanya mengangguk, matanya nggak lepas dari wajah Abin. Semuanya gak menarik lagi buatnya. Cuma Abin, iya.

Abin yang dilitain pake tatapan memuja cuma diem. Perhatiin manik cokelat terang itu dengan seksama.

Nggak. Nggak ada.

Dia mau bersyukur entah sampe kapan karna berhasil nyingkirin pikirannya yang nggak-nggak. Tangannya ngeraih tangan si mungil, bawa dia ke mobil karna takut sampe rumah terlalu larut.

"Abby, nanti jangan nakal oke?"

Abby ngangguk semangat, diem-diem sambil liat ke layar smartphone Abin yang nyala di kotak deket persneling karna lowbatt.

The Day I SaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang