{-5-}

7.9K 522 0
                                    

Delilah membuka pintu apartemen usang yang ia dapat dari teman satu kerjaannya beberapa waktu yang lalu, ia menghela nafas melihat betapa bobrok ruangan itu dan juga bau lembab yang tidak sedap mengingat itu kawasan apartemen kumuh. Ia menarik koper besarnya masuk dan juga kotak-kotak barangnya yang ia angkut sebagian sedikit mengingat semua barang yang Jocelyn beri sudah ia jual semua.

Ini sudah tiga minggu dan ia belum bisa mengumpulkan sepeserpun, yang yang berhasil ia simpan hanya hasil uang dari penjualan barang-barang yang Jocelyn belikan. Ia juga sudah menyerahkan apartemen itu dan memutus kontrak. Tidak mudah memang.

Belum lagi Delilah memutuskan harus menunda kelulusannya setahun kedepan untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu. Delilah seketika merasa sedih. Padahal tinggal sebentar lagi ia bisa selesai tapi ia harus mengalah mengingat harus mengembalikan uang Jocelyn pada ayahnya.

Mengingat pria itu ia kesal seketika.

Delilah tidak pernah bermaksud menipu siapapun dan ia harus menerima tuduhan itu mengingat tidak ada bukti yang valid. Ia juga tidak bisa meminta pembelaan Jocelyn karena ia akan membuat mereka bertengkar. Lagipula wanita itu sudah banyak membantunya setidaknya ia tidak mau menyulitkan lagi

Itu juga alasan mengapa ia memblokir nomor Jocelyn. Noelle pernah bertanya mengenai hal itu dan ia hanya menjawab jika beberapa minggu kedepan ia akan sibuk dan tidak bisa kumpul bersama.

Mereka belum tahu jika ia mengambil cuti kuliahnya, dan mungkin sebentar lagi akan tahu dan sebelum itu ia akan menjauh dulu.

Ring ring

Ponselnya berbunyi dan nama Noelle tertulis disana. Ia tidak mau mengangkat dulu karena harus melakukan kebersihan rumah barunya. Malam ini ia harus tidur nyenyak sebelum bekerja di empat pekerjaan miliknya esok.

Wanita itu memang sudah menemukan pekerjaan baru menggantikan jadwal kuliahnya yang sekarang tidak ada.
.

.

**

"Delilah tidak mengangkat lagi." Keluh Noelle pada Jocelyn yang memasang wajah lesu.

"Apa ini salahku?" Ia mulai berpikir yang tidak-tidak.

Noelle menggeleng cepat. " Mungkin Delilah benar-benar sibuk." Ia mencari alasan membuat Jocelyn lebih baik.

"Ngomong-ngomong, daftar mahasiswa yang ikut wisuda minggu depan sudah keluar. Bagaimana kalau kita memeriksa milik Delilah dan membawakan miliknya sebagai kejutan." Ia memberi masukan.

Jocelyn tertarik. " Baiklah."

*

"Nomor Identitas Mahasiswa tersebut sudah nonaktif."

Jawaban sang tata usaha membuat Jocelyn dan Noelle mematung.

"Atas nama Delillah." Jocelyn menjelaskan lagi.

"Iya, aku sudah memeriksa. Dan mahasiswa tersebut mengatakan akan mengambil cuti setahun."

Jocelyn tahu sekarang apa yang dad nya lakukan, dan itu membuatnya merasa sangat bersalah. Padahal mereka bertiga sudah janji akan wisuda bersama dan setelahnya akan berlibur bersama. Padahal Jocelyn sudah susah payah meyakinkan Delilah ikut berlibur dan ini adalah hasilnya.

"Tenang dulu, kita ke rumah Delilah untuk meminta penjelasan mungkin dia memiliki alasan." Noelle sudah tahu masalahnya karena Jocelyn yang menceritakan beberapa saat lalu ketika wanita itu kehilangan koneksi dengan Delilah.

*

Lagi-lagi mereka mendapat kabar mengejutkan, pengurus apartemen dimana Delilah tinggal baru saja memberikan penjelasan jika penunggu kamar 203 itu telah pindah tiga hari yang lalu. Mau tidak mau Noelle hanya bisa pasrah melihat Jocelyn yang terlihat marah dan langsung menghubungi seseorang.

"Tidak diangkat?" Tanya Noelle pada Jocelyn yang terlihat menghubungi beberapa kali.

"Aku harus tanya dad, apa yang dia lakukan." Jocelyn benar-benar marah.

"Bicara baik-baik, mungkin om Benji memiliki alasan." Noelle terdengar khawatir ia tidak mau ayah dan anak itu bertengkar.

Karena jika itu sampai terjadi, ia akan kewalahan menampung Jocelyn yang selalu kabur dari rumah, mengingat ini bukan pertama kali mereka bertengkar.

**

Benjamin baru saja menyelesaikan rapat pentingnya, ingin bersantai sebelum memutuskan untuk pulang satu jam lagi, tapi ia dikejutkan oleh suara bantingan pintu kantornya. Otomatis ia mendelik tajam pada si pelaku.

Ia melihat putrinya memasang wajah sangar diikuti Noelle di belakang. Ia melirik Sekertaris nya yang terlihat ketakutan karena tidak bisa menahan putrinya itu padahal ia menyuruh tidak ada yang boleh mengganggunya.

"Pergilah tinggalkan kami." Ia memberikan perintah dan membiarkan Noelle menutup pintu itu setelah dua sosok gadis itu masuk.

"Ada apa kamu membanting pintu kantor dad?" Ia bertanya mencoba tidak menjitak Jocelyn karena kelakukan anaknya itu.

Jocelyn langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi sendu. " Apa yang dad lakukan pada Delilah."

Mendengar nama itu ia jengah, menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri dari kursi.

"Apa yang dia adukan padamu hingga kamu melakukan hal yang tidak sopan seperti ini." Ujarnya bersandar pada ujung meja.

Jocelyn menyesali bantingan pintunya tapi ia masih marah. " Delilah tidak bilang apa-apa, justru dia menghilang begitu saja."

Benjamin memasang wajah datar. " Dia kabur?" Bisiknya pada dirinya sendiri.

"Baguslah kalau dia sadar diri, setidaknya wanita itu tidak menipu kamu lagi."  Sambung Benjamin tanpa merasa bersalah.

"Menipu?" Jocelyn heran.

"Iya menipu, dia memperalat kamu untuk menjadi ATM berjalan, dan seharusnya teman seperti itu kamu jauhi." Jelasnya.

"Om, sepertinya ada salah paham disini." Noelle mulai menengahi karena Jocelyn terlihat terkejut dengan spekulasi ayahnya itu.

Benjamin melihat Noelle tidak senang, the king of Adler Hotel itu memang tidak suka urusan keluarganya dicampuri.

"Aku tidak tahu bagaimana om menyimpulkan itu tapi Delilah tidak pernah menipu siapapun." Ia paham karakter Benjamin karena selalu bertanya pada Jocelyn.

"Delilah mengatakan jika uang yang kami berikan padanya akan ia ganti jika memiliki pekerjaan stabil setelah kuliah, dia tidak benar-benar menerimanya begitu saja meski aku dan Jocelyn selalu memaksa."

Benjamin terdiam sesaat.

"Delilah bukan teman yang buruk dad." Jocelyn setengah berbisik.

"Dia kabur dan itu menjelaskan semuanya." Benjamin tidak mudah di ajak negosiasi dan ia tidak mudah percaya pada siapapun mengingat jika ia adalah pengidap trust issue akut dikarenakan seseorang.

Dan melihat dua gadis muda yang belum mengerti apa-apa sama sekali untuk meyakinkan dirinya itu tidak membantu. Ia tidak akan goyah.

"Apa dad tahu jika perlakuan dad ini membuat dia berhenti kuliah?" Jocelyn tidak habis pikir bagaimana ayahnya memiliki pemikiran senegatif itu pada Delilah padahal mereka baru bertemu dua kali.

Lagipula Jocelyn jarang menceritakan hal apapun tentang Delilah karena ia tahu betul wanita itu tidak pernah mempengaruhi banyak hal padanya.

"Itu urusan dia." Benjamin memang berhati dingin. Semua orang mengetahui itu.

"Dad." Jocelyn mengiba. " Delilah adalah teman baikku. Aku mengenalnya dan dia tidak mungkin melakukan hal buruk padaku."

"Tapi dia melakukannya Jo, apa kau buta?" Lama-lama Benjamin kesal sendiri berdebat dengan anaknya itu.

"Aku tidak tahu bagaimana cara kalian bisa berteman dengannya tapi aku jauh lebih tahu bagaimana cara menilai seseorang. Jika Delilah buruk maka dia buruk." Itu keputusan final.

Jocelyn menunduk. " Jadi kenapa dad memutuskan menikah dengan wanita seperti mom jika dad tahu sebaik itu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Jo." Noelle menarik lengan Jocelyn agar tidak terpancing. Ia tahu betul om Benji itu sangat sensitif tentang wanita itu. Sangat.

"Dad tidak tahu apapun tentangku. Tidak sebaik Delilah. Dan itu cukup menjadi alasan untukku berteman dengannya."

The Truth Untold [END]Where stories live. Discover now