{-2-}

18.6K 634 6
                                    

11.02

Benjamin Adler masih menyibukkan diri di meja kerjanya padahal sudah mendekati jam makan siang. Dasinya yang rasanya semakin ketat ia longgarkan karena terasa mencekik leher, begitulah memang situasi yang harus ia hadapi selaku sebagai seorang founder perhotelan terbesar di kota Brooklyn.

Ia harus mempertahankan hasil keringat yang ia lakoni sejak muda dulu agar tak sia-sia, lagipula ia tidak memiliki hobbi lain atau kesenangan yang lainnya yang dapat ia lakukan untuk menghabiskan waktu selain bekerja.

Benjamin juga dikenal sebagai Workaholic akut oleh anak kesayangannya.

Mengingat anak semata wayangnya itu jari jemarinya terhenti menari-nari di atas keyboard, kepalanya kembali pusing. Jocelyn Adler putri hasil pernikahan pertama dan terakhirnya yang tidak berakhir bahagia. Pernikahan yang berakhir dengan jalan pintas perceraian akibat mantan istrinya yang berselingkuh terang-terangan.

Ah, kenapa Benjamin harus mengingat itu padahal seharusnya ia harus memikirkan bagaimana cara ia menyelesaikan kasus yang dilakukan Jocelyn. Sebenarnya ia bisa dengan mudah menutup kasus itu cukup hanya dengan memberikan selembar cek, tapi ia sudah bosan karena Jocelyn tidak pernah berubah selalu membuat onar.

Kasus? Kasusnya adalah membuat keributan di kantin kampus untuk kesekian kali hanya karena masalah laki-laki.

Padahal putrinya itu sebentar lagi akan wisuda tapi mengapa kepalanya belum lurus juga, Benjamin jadi ragu menempatkan Jocelyn untuk bekerja di anak perusahaan miliknya.

Ia juga menyalahkan pergaulan Jocelyn yang pasti menjadi dampak kelakukan bocah itu, Benjamin jadi tak sabar untuk menyuruh teman Jocelyn agar mundur dari hidup anaknya.

Ya, niatnya begitu setelah jam makan siang nanti. Makanya ia harus menyiapkan tugasnya pagi ini. Setelah siang hingga sore ia akan melalang buana di kampus nista itu lagi.

Benjamin trauma, karena setiap kali ia kesana, ia harus menolong berulang kali perempuan-perempuan jahil berpura-pura jatuh didepannya, untuk apa? Tentu saja menarik perhatian si hot daddy yang mulai famous sejak ia mengantar Jocelyn pertama kali kuliah.

Jangan salahkan dia, usianya masih 38, segar. Maka dari itu orang tidak percaya jika anaknya kini berusia dua puluhan. Setiap orang punya cerita begitu juga Benjamin. Ia masih ingat bagaimana rasanya ia memiliki Jocelyn pertama kali ketika ia masih di bangku sekolah.

Kesalahan manis yang membuatnya harus menjadi pria datar dan dingin hingga saat ini.

.

.

***

.

.

Delilah hanya bisa menatap kesal pada sahabat nyentrik miliknya yang kini sedang asik menyeruput jus jeruknya di kantor rektor. Bisa-bisanya putri konglomerat itu masih minum ketika mereka di panggil akibat kecelakaan di kampus. Konglomerat mah bebas dan ia hanya pasrah.

"Kapan dad kamu datang?" Noelle berbisik gusar di sebelah kiri Delilah pada Jocelyn yang duduk disebelah kanannya.

"Sebentar lagi." Balas perempuan tengil benama Jocelyn itu tanpa berdosa tidak tahu jika Delilah sedang menahan amarah karena harus kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhirnya akibat salah paham ini.

Masih segar diingatan Delilah asal muasal bagaimana ia bisa menjadi tersangka, ini semua dimulai ketika ia mendapat panggilan dari Noelle, perempuan centil itu curhat jika Jocelyn sedang membuat masalah.

Sebenarnya ia tidak mau datang, sudah insting, mengingat Jocelyn tidak jauh dari kasus-kasus yang berkaitan dengan laki-laki. Dan betul saja sesampainya ia di kantin wanita itu sudah Jambak jambakan dengan wanita yang sudah babak belur.

Delilah hanya ingin menolong tapi berakhir menjadi tersangka.

"Nggak sabar aku ketemu om ganteng. " Noelle menggosok-gosok tangannya penuh harap.

"Kamu ngapain disini?" Delilah bertanya kesal pada Noelle yang sebenarnya tidak ikut campur malah memasukkan dirinya ke kasus Jocelyn.

Noelle tersenyum manis, "Buat memastikan keselamatan anak tiri aku. " jawabnya terang-terangan.

Jocelyn memang sudah biasa menerima gombalan frontal Noelle yang cinta mati pada ayahnya yang di cap hot daddy satu kampus. Tapi Delilah hanya bisa banyak istighfar dalam hati, kok bisa ia berteman dengan dua orang tidak normal itu.

"Pak, saya izin keluar bisa? Soalnya saya harus bertemu pembimbing, ini Noelle bersedia menggantikan saya." Biarlah Delilah di tuduh menjual teman asal kerjaannya selesai.

"Tidak bisa, siapa suruh kamu ikut-ikutan." Rektor itu terlihat marah tapi dibuat-buat. Mereka bertiga tahu jika pria itu sengaja memanggil ayah Jocelyn hanya untuk mendapat komisi.

"Sudah duduk saja, sebentar lagi dad aku datang." Jocelyn kini bermain ponsel.

"Duduk jidat kamu, aku disini gara-gara kamu juga tau nggak sih." Delilah mengumpat. Jarang-jarang ia naik pitam tapi kalau marah pasti yang menjadi biang kerok adalah Jocelyn.

"Sudah-sudah jangan ribut, kita berdoa saja supaya om Benji datang dengan selamat, kan bisa syok aku lihat beliau kenapa-kenapa kalau kemari." Noelle kehilangan akal sehatnya oleh cinta dan Delilah bisa apa.

.

.

***

.

.

Tiga jam mereka duduk seperti orang bodoh, akhirnya pria itu datang. Ingin rasanya Delilah menyumpahi kesengajaan pria itu karena rencananya sudah hancur seharian.

"Silahkan duduk sir." Rektor itu menawarkan sopan. Dasar bermuka dua.

Benjamin terlihat enggan, ia langsung menarik cek dari saku jasnya dan meletakkannya diatas meja.

"Maaf pak, saya sedang sibuk. Dan tidak punya waktu banyak." Pria itu langsung menyuap didepan tiga saksi yang duduk di sofa panjang itu.

"Kalau begitu kalian pergilah." Rektor itu tersenyum ramah mempersilahkan Jocelyn dan dua temannya pergi.

Semudah itu.

Sesampainya di luar, Benjamin menghentikan langkahnya dan membuat tiga gadis itu ikut berhenti. Matanya yang tajam dan juga garis rahangnya yang mengancam membut mereka langsung menciut.

Jocelyn sering cerita pada Noelle kalau ayahnya itu tidak ramah makanya meski ia menyukai Benjamin tetap saja pria itu mengerikan jika sudah mendelik.

"Aku tidak mau kamu salah berteman lagi." Ujar pria itu mengganggu pendengaran Delilah.

"Pilih teman yang benar jika tidak mau dad tarik kartu kreditnya." Ancamnya lagi-lagi bawa uang.

"Om, bukan begitu caranya ngomong sama anak." Noelle susah payah memasang wajah marah padahal ia memerah malu. "Jocelyn bukan salah pergaulan tapi memang laki-laki itu yang sudah mempermainkannya." Jelasnya lagi.

Benjamin tidak menjawab, ia melirik penampilan kedua gadis yang berdiri disebelah Jocelyn, dua orang itu memang tidak buruk dalam berpenampilan bukan tipe-tipe gadis nakal. Ia juga kenal Noelle karena gadis itu sering main kerumahnya dan ia percaya dengannya dan ia melirik wajah ketus gadis satu lagi yang terlihat berpakaian sopan menutup seluruh tubuhnya.

Wajah wanita itu seperti siap memakan nya kapan saja. Ia asing karena Jocelyn tidak pernah membawanya ke rumah dan tidak pula sering ia dengar namanya.

"Meski begitu, Jocelyn ini terakhir kali kamu mencari masalah."

Jocelyn menunduk lagi dad nya jarang marah tapi kalau marah pria itu sangat menakutkan.

"Dan kalian, saya harap tidak membawa anak saya ke jalan yang buruk." Tegasnya.

Delilah mendengus. " Yang ada anak om yang membawa saya ke jalan yang buruk." Ia kelepasan.

The Truth Untold [END]Where stories live. Discover now