SECANGKIR KOPI (cerpen)

14 5 0
                                    


Seperti biasa, aku membuka kafe tempat ku bekerja pada pukul 10:00 pagi. Kupegang genggaman pintu terdengar suara dencingan alat bunyi-bunyian yang terbuat dari logam yang bergantung dipintu masuk. Kutarik tali pelipat tirai jendela ruangan satu persatu, berlahan cahaya matahari siang masuk menelusuri sela-sela setiap jendela. Susunan kursi yang sebelumnya berada di atas meja kini tertata rapi seakan siap untuk di duduki oleh para pelanggan.
Butiran biji kopi yang sudah kutakar dalam wadah, siap untuk digiling halus di mesin penggiling. Biasanya para pembuat kopi menyebutnya Grinder. Setelah digiling, biji kopi tadi akan menjadi bubuk berwarna coklat pekat. Dengan segala proses pembuatan kopi yang selalu kubuat, kunikmati setiap prosesnya, karna bagiku setiap tahapnya sangat menentukan untuk hasil akhir dari kopi ini. Sama hal nya dengan proses untuk mendekati sang pelanggan yang selalu ku perhatikan setiap gerak geriknya di sudut ruangan kafe. Clarissa, aku tau dia saat membuat kartu anggota di kafe ini, tepat seminggu setelah hari pertamaku bekerja disini. Ternyata dia bekerja di Gedung sebelah, dan hampir setiap hari dia datang ke sini.
-------------------
Suara kerincing di pintu masuk kafe berbunyi. Seperti biasa aku datang ke tempat ngopi favorit temen-temen kantor. Berjalan menelusuri ruagan menuju bar tercium aroma khas kopi yang harumnya dapat menetralisir bau-bauan yang sudah kuhirup dari keluar kantor menuju tempat ini.
"Selamat siang, silahkan mau pesan apa mba?". Sambut sang barista dengan senyuman ramah. Tanpa melihat menu seperti biasa aku memesan kopi kesuakaan.
"Signature Berdikari satu."
"Baik mba, mungkin ada tambahan lain?".

"Kukis coklatnya." "Baik, ada lagi?". "Kurasa cukup."
Setelah memesan, aku kembali ke kursi sudut ruangan favorit ku. Tatapan ku tak akan pernah luput dari meja disebelah dinding ruangan yang di depannya ada bunga anthurium senantiasa memperindah jendela itu. Daun nya yang lebar berwarna hijau gelap, dan paduan daun berbentuk hati dengan warna merah muda, yang melambangkan cinta, terlihat mengkilat, ditambah dengan tongkol yang berwarna kuning. Memgingatkanku pada Bagas yang sangat suka duduk ditempat itu.
Saat pertama aku melihat Bagas di sana, sangat menawan dengan kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku. Tangan kirinya yang di hiasi jam tangan tampak sempurna saat menerima panggilan yang masuk ke telpon genggamnya. Samar wajahnya yang ia biarkan terkena sinar matahari siang terlihat berseri, dan bagiku ialah hal yang paling mengambil perhatianku kala itu. Seminggu berturut-turut aku sudah memperhatikan dia, tak berpindah ketempat lain. Bagaimana cara ku untuk mengenalnya lebih dekat, sebab suka dalam diamku ini tak kan ada arti jika tak disampaikan.
"Sepertinya hari ini aku harus menyapa". Hati ku bergumam. Namun sangat sial bagiku, hari ini dia tak datang. Padahal seminggu ini aku selalu melihatnya duduk di kursi itu tepat saat istirahat. Tapi aku selalu lebih dulu beranjak untuk Kembali kekantor dikarenakan jam istirahat sudah berlalu. Sudah 3 hari aku menunggunya di sudut favoritku. tapi tak kunjung datang . Hari ke empat, kelima, ke enam, ke tujuh , tak datang juga. Tapi aku tak menyerah, aku tetap menunggu.
"Mba pesenannya, kukis coklat dan Signature Berdikarinya". Suara Barista yang mengantarkan pesananku, menghancurkan lamunan panjangku
"Oh iya, terimakasih".
"Barangkali ada pesanan tambahan?"

"Sudah"
"Baik, selamat menikmati!"
Saat lamunan ku akan Bagas lenyap, fikiranku terang kembali. Kuangkat cangkir kopi, kuhirup aroma sedap menguap dari cangkir kopi yang berwarna coklat tua ini. Kuseruput berlahan, aroma yang seimbang dengan tingkat keasaman seimbang, karakter rasa asli dari kopi yang kuat ini lah yang membuat ku tak bisa lupa dengan rasa nya yang cenderung konsisten, dan membuatku selalu ingin ngopi di kafe ini.
-------------------
Saat aku menyeduh kopi yang Clarissa pesan, dan tak lupa aku juga membuat satu cangkir kopi yang sama dengan yang di pesannya. Kubuat dengan sepenuh hati, agar dia tau ada rasa suka yang kutuangkan dalam kopinya. Membuat kopi yang serupa dengannya karena aku ingin merasakan seruputan kopi yang sama agar dapat menikmati kopi itu bersamaan walau dari jauh. Aku di bar dia di kursi pelanggan. Ku perhatikan dia dari meja bar, cahaya yang masuk dari luar ruangan membuat wajahnya terlihat jelas. Berlahan di seruputnya kopi itu, begitu juga dengan ku. Tapi tetap saja, setelah seruputan yang pertama, mata Clarissa selalu mengarah ke kursi kosong di samping jendela. Walau ku tau ia menunggu orang lain disana, tetap kunikmati setiap momen indah yang terlihat.
-------------------
Hari ini hari kamis tanggal 27 bulan Juni, adalah hari dimana yang sudah dari jauh hari kufikirkan akan terjadi. Pertemuan Clarissa dan Bagas. Sebelumnya kulihat Clarissa berjalan menuju bar dengan sepatu hak tinggi berwarna merah, stelan baju dan blazer senada berwarna hitam, dan kali ini ada yang beda dengannya. Rambut Panjang yang biasa ia ikat kini di gerai dibiarkan berkibas ketika terkena angin di luar kafe.
Dari bar kuperhatikan raut wajah Clarissa saat melihat Bagas masuk ke kafe, spontan berdiri dan mematung. Antara senang, terkejut dan kaku. Sebelum memesan minuman dan makanan, Bagas langsung duduk di tempat kesukaannya. Saat itu Bagas

yang terlihat sangat rapi memakai kemeja biru langit dengan kacamata hitamnya, dan rambut rapi yang tertata rapi seperti sehabis dari salon. Aku terkejut Clarissa datang mendekatiku, dan memberikan secarik surat yang di bungkus dengan amplop motif bunga mawar berwarna merah muda. Aku mulai tak tenang.
"Maaf, bisa berikan surat ini ke mas yang itu ?". sambil menunjuk meja Bagas.
"Bisa Mba". Jawabku lemas, tapi harus tetap tersenyum. Kulihat Clarissa berjalan keluar kafe, kurasa waktu istirahat nya sudah habis. Setelahnya Bagas datang menghampiriku untuk memesan kopi.
"Berdikari Kopi satu sama coklat kukis nya satu ya". "Baik, ada tambahan lain?" tanyaku.
"Cukup". Tutupnya dan langsung menuju kursinya lagi.
Bingungku datang, kalau saja aku jahat, kalau saja aku tak ingin mempertemukan Clarissa dan Bagas, tinggal tak usah saja kuberikan surat ini. Tapi tidak, cukup saja kupendam rasa suka ini untuknya. Karna aku tau mencintai dalam diam itu sakit. Kuhampiri meja Bagas dan menyajikan pesanan yang di pesan oleh Bagas sembari memberikan surat Clarissa.
"Maaf Mas, ini pesanannya, Signature Berdikari dan kukis coklatnya." Sambil kusajikan di atas meja Bagas.
"Terimakasih ya". Katanya.
"Oh iya mas, ini ada titipan surat dari pelanggan saya" "Siapa?"
"Buka suratnya saja Mas". Kataku sambil tersenyum. Kemudian beranjak dari sana menuju bar. Sampai di bar kulihat Bagas tak langsung membuka surat tersebut. Tapi ya sudah aku tidak menggubrisnya.
"Bukan urusanku lagi". Gumamku dalam hati.

"kencringgg". Suara kerincing pintu bertanda ada pelanggan yang masuk berbunyi, betapa kagetnya aku, ketika pelanggan wanita tersebut datang dengan seorang anak.
"Papaaaa!!!!". Panggil anak itu.
"Sepertinya aku masih punya kesempatan". Aku lompat kegirangan namun singkat, berharap tak ada yang melihat. Ingatanku akan Clarissa pun muncul dalam benak dan aku pun tak henti-hentinya senyum sumringah dengan penuh kegiranangan menanti hari esok.

Nama
ID Instagram NO. Wa Email Alamat
BIODATA PENULIS
: Mailela Azizah Lubis :@azizahmailelalubis :081260954539
: azizahmailela@gmail.com
: JL. Sipiso-piso No.2 (Berdikari Kopi) kec. Medan Kota, Kota Medan Sumatera Utara

Rasa Dalam Secangkir KopiWhere stories live. Discover now