1.

33 2 0
                                    

Selalu ada alasan bagi Allah untuk mempertemukan dua insan. Entah berniat untuk mempersatukan atau sebatas memberi kesan.


_______

Terpaan angin pantai menyapu lembut wajah gadis berkhimar panjang cokelat tua. Hampir satu jam Azima duduk termangu di atas butiran pasir putih sembari menanti pemandangan sunset yang sukar untuk dilewatkan.

Tidak ada yang berubah dari pantai ini semenjak Azima meninggalkan Kota Minyak, Kalimantan Timur, untuk merampungkan program strata satu di Jakarta. Terakhir kali ia berkunjung ke pantai ini tepat tiga tahun yang lalu bersama Hans–calon suaminya, sekaligus sahabat Azima sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan.

Tiada hari yang Azima lewatkan untuk tidak menyaksikan semburat cahaya sang lembayung menampakkan pesonanya.  Persis sekali mereka duduk di posisi yang sekarang Azima tempati. Hans tidak pernah bosan untuk menemani Azima melakukan kebiasaannya setelah pulang sekolah.

Memori kelam sepekan yang lalu kembali berputar di ingatan Azima. Iya, saat pernikahannya dengan Hans dibatalkan.

"Dia adalah ayah dari anak yang gue kandung. Kehamilan gue memasuki tiga bulan."

Azima memejamkan mata, berusaha menghilangkan kalimat buruk itu dari ingatannya. Butiran air menetes di pipi Azima. Bagaimana mungkin sosok Hans yang menjadi sahabat sekaligus laki-laki yang dipilih Azima menjadi calon suami, malah melakukan perbuatan bejat tersebut?

"Aku ingin memiliki kamu dengan cara yang mulia, melalui ucapan akad yang hanya satu tarikan nafas."

Itulah jawaban Hans ketika Azima bertanya seperti apa kelanjutan hubungan mereka. Wanita memang selalu butuh kepastian, bukan?

Laa haula wala quwwata illa billah. Kalimat penuh makna itu akhirnya keluar dari bibir mungil Azima. Keputusan yang salah ia berkunjung ke tempat bersejarah ini.

Azima melirik arloji hitam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 17.55, azan magrib sebentar lagi berkumandang. Ia bergegas menuju mobil.

_______

Azima memasuki rumah bernuansa putih dengan senyum indah, tak sabar bertemu dengan pemilik rumah tersebut. Ia menghampiri halaman belakang rumah. Tidak salah lagi wanita paruh baya yang menjadi tujuan utama ia kembali ke Balikpapan sedang duduk menikmati teh hangat.

"Sudah mau magrib, Genda. Masuk, yuk," ajak Azima dengan senyum merekah. Gadis itu memeluk Genda–panggilan Azima untuk neneknya, persis bocah berumur tujuh tahun, sesekali mencium pucuk kepala sang nenek.

Genda sedikit terkejut dengan kehadiran cucu satu-satunya. Seharusnya cucu yang sedang bergelendotan kepadanya saat ini berada di Jakarta dan sepekan yang lalu melangsungkan akad nikah.

"Kenapa nggak kasih kabar dulu kalo mau kesini, ndok?" Genda membalikkan tubuh dan membalas pelukan sang cucu yang sudah lama tidak ia jumpai.

"Kejutan, dong, Gendaku yang cantik." Azima memperlihatkan senyum manis. Tapi, ada bendungan air yang hendak keluar dari matanya. Pasalnya Genda belum mengetahui tentang batalnya akad nikah Azima.

Mereka memasuki rumah. Azan magrib sudah berkumandang.

"Kenapa tiba-tiba main kesini?" Genda memulai pembicaraan ketika mereka sudah duduk di sofa ruang tengah. "Dan.. dimana suamimu, ndok?" Mata Genda menyusuri sudut rumah, tapi orang yang dicari tidak terlihat.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Nov 24, 2022 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Satu Cinta, Satu DoaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt