BAB 14 - Benar-Benar Hilang

200 47 1
                                    

BAB 14

BENAR-BENAR HILANG

Gue sedang duduk di kursi plastik di dalam gudang. Si Bagas duduk di atas meja sambil maen HP. Nggak biasanya kita dateng barengan. Sementara, si Agus yang biasanya datang paling pagi, belum muncul. Kalau kami lagi berdua, kami selalu ngegibahin si Daffa. Sudah biasa, dan itu nikmat meskipun dosa. Hanya Bagas yang selalu memperhatikan setiap inci gerakkan bibir gue saat ngomongin Daffa.

"Beneran si Daffa nonjok pelanggan?" Bagas membuka percakapan.

Sejak acara penonjokkan itu, gue dan Ansori emang sepakat buat nggak ngobrolin hal memalukan yang dilakukan si Lele Jumbo itu. Gue nggak mau bikin rusuh toko dengan ngobrol begituan. Takut ada yang ngadu juga ke pusat. Kan banyak tuh, tim sendiri yang justru mau jatuhin orang di dalemnya. Karena si Bagas nanya, ya udah, gue ngangguk.

Belum sempat gue mengucapkan sesuatu, Bagas angkat bicara. "Gila tuh si Daffa. Ngapain coba nyari masalah?!"

"Kayak nggak tau si Daffa aja lo." Gue menggeleng. "Dan lo tau, orang yang ditonjok itu adalah Caka."

"Hah? Serius?" Wajah Bagas kayak cucian yang belum dilicin. "Emang nyebelin sih, pacar lo itu."

"Kayaknya Caka cari masalah terus sama setiap karyawan di sini. Gue, elo, Agus, Stevi, Daffa, semuanya pernah kena marah. Kecuali Ansori." Gue tertawa. "Tapi sumpah, aslinya baik kok. Dia lembut, dewasa, dan ...."

"Cinta emang membutakan, Mbak." Dia terkekeh.

Gue hanya tertawa sambil nonjok tangan Bagas. "Tapi untuk masalah si Daffa, itu emang parah sih. Dia ninggalin satu produk kadaluarsa. Seharusnya udah dipisahin. Ini malah masih ada di rak. Ya, wajar dong, kalau Caka marah. Eh, si Daffa malah maen tonjok."

"Mbak ...." Bagas turun dari atas bangku, kemudian membisikkan sesuatu. "Kayaknya nih ya, Daffa itu cemburu. Soalnya sekarang Mbak kelihatan jalan terus sama cowok itu."

Gue spontan mendorong Bagas. "Jangan asal ngomong deh, Gas. Entar jadi gosip. Ogah gue digosipin sama dia!"

"Kenyataannya emang gitu. Semenjak dia lihat lo sering jalan sama si Caka, dia berubah. Lebih parah tauk. Kata si Stevi, skala marahnya dua kali lipat lebih sering daripada sebelumnya. Apalagi cowok lo itu gantengnya sembilan puluh daripada dia yang cuman sembilan biji doang."

"Terserah lo deh." Gue mendengus. "Tapi ya Gas, ada satu informasi. Gue sama Caka belum pacaran. Masih sekadar teman biasa. Jadi jangan bikin malu kalau Caka datang."

Bagas hanya tertawa sambil kembali fokus ke ponsel.

"Eh, Gas, seharusnya si Daffa itu kemungkinan besar dipecat lho. Tapi gue mohon-mohon sama Caka buat nggak ngelaporin semuanya ke pusat."

"Lha, bukannya seharusnya lo seneng si Daffa keluar? KoL kan benci sama dia."

"Gue nggak mungkin kayak ..."

"Kalian lagi ngapain?" Sebuah suara tiba-tia muncul dari pintu. Gue yang sadar akan suara itu buru-buru menggeleng.

Bagas yang memang ada di depan gue, turun dari bangku. "Eh, Daff. Enggak.... Ini kita lagi ngobrol."

Gue dan Bagas akhirnya balik badan dan menghadap ke arah Daffa.

"Kalian nggak lagi ngomongin orang kan?" Daffa nyelonong ke dalam gudang.

Gue dan Bagas saling tatap. Mati! Kayaknya si Ikan Cupang ini denger pembicaraan gue sama Bagas deh. Bagas menggerakkan alis supaya gue ngejawab pertanyaan Daffa. Sampai akhirnya, gue angkat bicara. "Eh, tumben lo ke sini? Bukannya biasanya jam segini masih tidur?"

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang