BAB 11 - Makin Garang

179 53 10
                                    

11

Makin Garang

Ketika masuk kerja pagi ini, Daffa jadi lebih cuek. Biasanya, dia akan ngasih lelucon garing setiap gue dateng. Sementara hari ini enggak. Dia hanya memperlihatkan wajah malas dan seolah-olah kayak nggak mood lihat gue. Aduh Daffa, sebelum lo ngerasain itu, gue juga udah ngerasain eneg duluan kali, ah. Dan ya, puncaknya adalah sekarang. Dari tadi, dia mengoceh tentang tata letak uang di dalam laci yang harus ginilah, gitulah. Padahal, setau gue, belum ada SOP soal penyimpanan uang di laci. Kecuali pemisahan soal recehan dan uang kertas. Bahkan, sebatas debu satu titik di dalam laci pun, nggak luput buat dibahas. Kan nyebelin.

Detik ini, dia melangkah ke arah rak yang menjadi tanggungjawab gue. Dua rak kosmetik, satu rak bagian obat-obatan, dan satu rak susu khusus bayi. Dia seperti petugas audit yang sedang memeriksa, atau bahkan menilai mengenai produk-produk yang ada di toko. Gue yang sedang berdiri di wilayah kasir, terus mengamati cowok itu. Kira-kira, apa lagi yang akan dia permasalahkan?

"PEA!" teriaknya.

"Iya," jawab gue dengan nada males.

"Sini lo!" Suruhannya itu lebih kejam dari kakak kelas yang sedang menindas adik kelas. Gue waktu SMA sempat ngerasain itu soalnya. "Rak-rak ini, udah dicek stock-nya belum?"

"Udah dua hari lalu," jawab gue.

"Stock opname lagi sekarang! Gue nggak mau tahu!"

Dari tadi pagi, gue sudah berusaha tenang buat jadi kelinci imut yang nggak banyak ngomong dan nggak banyak protes. Sekarang gue nggak bisa diam aja. "Daff, lo nggak lupa, kan? Jadwal stock opname itu seminggu sekali! Kenapa gue musti nge-cek lagi? Lagian kerjaan gue lagi banyak di depan! Gue musti nata rokok yang baru dateng."

"Gue nggak mau tahu!"

"Eh, lo jangan seenaknya dong! Lo mau ngerjain kerjaan gue yang lain?"

Dia nggak menjawab. Dia malah berlalu dari hadapan gue. Kakinya mengarah ke gudang. Bogem gue mengeras. Si Ular Peot itu kenapa sih?

"Sabar ya, Mbak ...." Agus nongol kali ini. Dia sedang mengangkat roti yang baru datang. Dia lantas menata makanan itu di rak belakang. Disatukan dengan roti lain yang masih tersisa. "Semenjak Pak Daffa lihat Mbak jalan sama cowok, dia emang jadi lebih sering marah-marah gitu. Kemarin juga saya kena marah. Padahal, saya mah selalu melakukan kerjaan sesuai intruksi."

Agus berbicara dengan nada kecewa, tapi gue justru lebih fokus ke penjelasan dia tentang perubahan Daffa. Daffa berubah gara-gara gue jalan sama Caka? Gue nggak ngerti lagi sama dia. Kalau memang dia iri, ya, lakuin hal yang sama dong! Dia juga bisa jalan sama cewek!

Gue nggak menuruti suruhan Daffa buat stock opname. Gue memilih ke wilayah kasir, lantas membereskan puluhan bungkus rokok di rak depan. Rokok menjadi salah satu produk paling laris. Apalagi gue selalu nawarin benda itu saat para cowok beli produk lain.

Agus mendekat lagi, dia berbisik. "Mbak, ada satu infromasi lagi. Tapi Mbak jangan bilang-bilang ya." Wajahnya kayak seorang informan bayaran yang harus menjaga rahasia. "Kemarin, Pak Daffa galau lho. Dia diem di gudang. Terus, saya pergokin dia sedang liatin foto Mbak."

Mendengarkan bisikkan itu, gue langsung bergidik. Gue merasa jijik sendiri. "Buat apa lihatin foto gue? Norak banget!"

"Saya sih ngira, dia mau melet Mbak. Soalnya sambil melihat foto itu, dia komat-kamit gitu."

"Ngawur lo Gus!" Gue malah tertawa denger penjelasan Agus.

Dari dulu, Agus memang selalu asal bunyi dengan apa yang dilihatnya. Masih ingat soal telepon yang dianggap telepon lamaran dari pacar? Gue ngira, si Agus ini emang suka bikin kesimpulan sendiri. Gimana kalau jadinya dia tahu gue pernah jalan sama Daffa ya? Mungkin dia ngira, gue pacaran sama cowok itu. Mungkin ketika gue ngobrol sama orang gila sekali pun, Agus ngiranya gue lagi PDKT-an.

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang