Negeri Etherland bersukacita atas kelahiran putra mahkota pertama dari pasangan raja dan ratu yang sangat di hormati oleh semua petinggi negeri tetangga lainnya. Tepat di malam yang istimewa, bersamaan dengan berbuahnya pohon Athelas yang menjadi sumber kekuatan para penduduk negeri Etherland, pohon yang hanya berbuah sekali dalam seratus tahun itu amat ditunggu-tunggu oleh semua orang.
Di bawah indahnya paparan sinar bulan yang diturunkan oleh dewi Selene untuk menerangi seluruh penjuru negeri, satu tangisan suci keluar dari bibir mungil putra mahkota untuk pertama kalinya. Bunga-bunga kuncup yang mengitari pohon Athelas serentak merekah, menyemburkan wewangian khas yang mengharumi pelosok negeri.
Peri-peri kecil ramai berdatangan, terbang memutar di atas kepala sang putra mahkota dengan bahagia. Putra mahkota yang semula menangis menjadi gembira, suara tawanya membuat hati meluluh, jemarinya terangkat berupaya menggapai para peri yang menjahilinya. Serbuk-serbuk peri yang berjatuhan di wajahnya, membuat sang putra mahkota mengalami bersin beberapa kali dengan wajah polos, raja dan ratu yang melihatnya pun ikut tertawa gemas.
Di tengah malam yang penuh sukacita, tak ada satupun rakyat dari negeri Etherland yang tahu atas kelahiran sang putra mahkota. Angin lautan yang semula berhembus lembut menyambut kelahiran sang penerus negeri tiba-tiba berhembus kencang, tirai-tirai putih yang menjuntai di jendela kamar raja dan ratu ikut berterbangan tak tentu arah, membuat semua benda di sekitar tilam berjatuhan.
Ratu Felisha yang masih tak bertenaga untuk bangkit segera menyerahkan bayinya kepada Raja Elonard. “Bawa anak kita ke tepi lautan, Ratu Oceanna pasti sudah menunggu.” Tak dapat ditutupi tatapan sendu yang menyayat hati digaungkan sang ratu. Semenjak kehamilannya yang ketujuh bulan, ramalan tentang hari ini selalu disampaikan berulang-ulang oleh leluhur kerajaan. Dari jauh-jauh hari, Ratu Felisha sudah menyiapkan diri untuk hari ini. Berat untuk mempercayainya, tapi hari itu sudah tiba di depan mata.
Raja Elonard mencium lembut kening sang ratu dalam-dalam, sebelum tungkainya melangkah pergi. Ratu Felisha menahan tangisnya, “Luna, aku titip putraku, jaga dia semampumu,” ujar ratu pada salah satu peri kepercayaannya. Mendapatkan amanah itu, Luna langsung terbang cepat meninggalkan sisa-sisa debu emas yang mengambang di udara.
Saat itu pun tiba. Kobaran api menancap langit, gemuruh beserta guncangannya terasa jelas meruntuhkan tembok-tembok istana. Mahluk hitam yang menunggangi Pegasus bersayap hitam legam dengan mata merah pekat itu masuk menerobos jendela. Para peri siaga membuat benteng untuk melindungi ratu yang tak berdaya, satu peri lainnya melarikan diri guna meminta bantuan kepada penjaga istana lainnya.
Namun semuanya terlambat, Ratu Felisha dibakar hidup-hidup karena tidak mau memberitahukan makhluk hitam itu dimana sang putra mahkota berada. Mahluk hitam itu murka, ketakutannya semakin tinggi, sebab satu ramalan mengatakan; sang putra mahkota satu-satunya dari negeri Etherland lah yang akan mengakhiri hidupnya kelak.
Dengan kobaran api yang terus meluap dari mulutnya membuat seisi negeri Etherland hangus terbakar kemurkaannya.
Sampai saat ini, mahluk hitam itu masih berupaya mencari sang penerus negeri Etherland. Namun tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan sang putra mahkota, baik nama, wajah, dan suaranya, semuanya tidak ada yang tahu.
-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-
Character
: ̗̀➛ 𝐕𝐚𝐧𝐭 𝐓𝐫𝐢𝐞𝐫𝐰𝐞𝐢𝐥𝐞𝐫
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.