Mengingat 18.

Mulai dari awal
                                    

"Alisandra Adijunior kan?" gue sengaja pakai baju lebih rapi saat itu -kemeja putih yang dibalut blazer cokelat, celana jeans yang juga pake belt karena acara ini semacam formal.

"Gue Ravel..," tangan gue terulur ke arahnya yang masih bingung. "Ada waktu ngobrol sebentar?"

Gue gak begitu tau apa yang membuatnya terlihat takut melihat gue. Kayaknya gue cukup ramah -biasanya gue malah jarang senyum begini sama orang yang gak begitu gue kenal. Dia sampai mundur selangkah, meskipun gak lama setelah itu, dia terlihat mengepal sebelah tangannya, menarik napas panjang, dan memaksakan senyum sama ramah pada gue.

"Y-Ya... Halo," dengan ragu dia membalas uluran tangan gue. Genggamannya gemetar, tangannya juga dingin dan sedikit basah, menunjukan kalau dia sangat gugup, atau seperti yang gue bilang tadi... Takut.

"Saya.. Bisa bantu apa ya? Mau tanya-tanya soal lukisan?"

 Bisa bantu apa ya? Mau tanya-tanya soal lukisan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue temen bandnya Ardan.."

Tentu ada yang semakin berubah dari raut wajahnya waktu nama itu disebut. Bukti kalau nama itu punya dampak yang besar buat dia.

"Kalau gak salah, lo dan Ardan kenal, jadi would be better if I introduce myself from that point...," lagi-lagi dia cuma diam. Bibirnya sedikit bergetar, antara bingung untuk membalas gue langsung, atau tetap diam. "Tapi gue ke sini mau ngambil lukisan yang Bokap gue beli kemarin kok."

"Oh, hahaha," gue hargai usahanya untuk jadi profesional. "Yang mana ya?"

"Yang ini..," gue menunjuk sebuah lukisan berwarna merah dan hitam yang gak begitu bisa gue pahami apa -gue bahkan gak tau kenapa Bokap membeli lukisan ini. "Oh, berarti dengan Pak Handaru ya?"

"Hmm," gue mengangkat lukisan ini cuma untuk menatapnya sebentar. Gue juga tau dia sedang menatap gue, nunggu reaksi mungkin. "Bokap gue bilang dia selalu suka lukisan-lukisan lo dari pameran Singapore tahun lalu."

Buat ukuran cewek, dia termasuk tinggi. Itupun dia masih pakai stiletto berwarna hitam. Dia mengenakan dress sopan berlengan panjang yang pendeknya sejajar dengan lututnya. Rambutnya cokelat terang dan panjang terurai dengan poni yang menutupi keningnya.

"Ah, hahahaha thanks." Kayaknya dia cukup lega karena gue gak membawa nama Ardan lagi di konversasi kita. "Gue juga seneng ketemu Pak Handaru lagi di sini."

"Gue denger waktu itu lo pindak ke Amrik, kok dari tahun lalu malah tinggal di Singapore?" merasa cukup mandangin lukisan ini dan masih gak ngerti apa maknanya, gue mengalihkan pandangan ke arahnya.

Lagi-lagi dia diam.

Lagi-lagi tangannya sedikit bergetar dan dia harus menunduk sebentar sebelum menjawab,

"Some stuffs going on."

Suaranya juga sedikit bergetar.

"Gue ikut terapi di Singapore, dan kebetulan sekalian lanjutin kuliah applied arts gue yang sempet ketunda."

Layak DiingatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang