5. Sekecap Terima Kasih

Start from the beginning
                                    

"Biar apa?"

"Ya enggak biar apa-apa. Itu cara sederhana untuk menghargai diri sendiri. Nih, coba aja." anak itu mengulurkan cermin.

"Abang minggir!"

"Loh, kenapa?"

"Ya aku mau bilang kalau aku hebat, abang ngapain ikutan ngaca? Ini kelihatan di sini tahu!"

Lantas ia mundur dengan mata membulat. "Eh, buset! Kagak tahu diri banget lo."

"Abang minggir makanya!"

"Minggir kemane kampreeet?! Aelah!"

Di saat ingatan itu muncul lagi, Nana hanya bisa menyentuh dadanya dengan hela napas panjang.

"Lo juga hebat. Makasih banyak untuk semuanya." kali ini ia berkata pada kameranya yang tergeletak di atas meja.

Kemudian ia memutuskan untuk benar-benar keluar dari kamar, tapi apa yang laki-laki itu temukan setelah menutup pintu justru membuatnya ingin tertawa.

Lampu dapur dalam keadaan menyala. Entah yang mereka lakukan, tapi Nana melihat Kak Ros dan Jaya berdiri bersebelahan di depan kompor. Tinggi badan mereka yang berselisih tajam membuat mereka kelihatan lucu. Apalagi saat Kak Ros menyakan sesuatu ke Jaya, dia harus mendongak terlebih dulu.

Setelah Nana mendekat perlahan-lahan tanpa suara, akhirnya dia tahu apa yang mereka lakukan: memutar video tutorial membuat indomie dalam waktu singkat.

Memangnya siapa yang akan membuat indomie dalam waktu yang lama?

"Jadi bumbu dulu apa mie dulu?" tanya Jaya.

"Ini kata videonya bumbu dulu di tumis. Lah? Kok ditumis? Emang bikin indomie ditumis? Bukannya direbus ya?" Eros lantas garuk-garuk pantat. Bingung harus bagaimana.

"Aku nggak tahu." dan mungkin Jaya juga sama bingungnya. Kentara sekali saat anak itu menggaruk kepalanya.

"Apalagi gue."

"Manusia spesies apa kalian yang nggak bisa ngerebus mie?"

TANG!!

Nana langsung terperanjat saat Kak Ros dengan semena-mena mendaratkan bokong panci ke kepalanya. Tidak keras, namun cukup untuk membuat kepalanya nyut-nyutan bukan main.

"ANJIR KEPALA GUE BOCOR!"

"Itu air, Mas." Jaya panik, tapi Nana jelas lebih panik karena dia berpikir kalau panci itu telah membuat kepalanya bocor. Ternyata hanya air.

"Ngagetin aja!" Eros melotot. Saat itulah Nana akhirnya tahu, bahwa kacamata yang sering Eros pakai selama ini ternyata tidak ada kacanya.

Nana jelas kaget, tergoda untuk mencoloknya namun urung. Situasinya sama sekali tidak tepat.

"Aku laper, tapi kayaknya nyuruh Kak Ros bikin makanan adalah sesuatu yang salah."

"Nggak tahu terima kasih, masih untung Kakak mau bangun."

"Bangun pun nggak tahu cara bikin indomie."

"Tahu, tapi Kakak lupa urutannya."

Mereka justru adu mulut.

"Diam kalian! Aku aja yang bikin." karena sepertinya, Nana memang punya alasan yang sama untuk berada di sini.

Mereka sama-sama kelaparan.

Atau mereka sedang merindukan seseorang yang sering bangun tengah malam hanya untuk menikmati semangkuk indomie soto.

"Dari tadi kek." Eros melepas ikatan celmek dan kembali menggantungkannya di dekat kulkas.

Manusia jenis apa yang masak indomie saja harus pakai celmek?

"Aku mau indomienya kayak yang dijual Abang Uda."

"Oiya, enak tuh. Kakak juga kayaknya harus makan banyak sayur biar bisa tinggi."

Semua laki-laki di rumah ini memang tidak tahu diri. Kecuali Nana, sepertinya.

"Kata Bapak yang perlu ditinggikan itu bukan tubuh, tapi perasaan simpati dan empati kita sebagai manusia." kata Jaya setelah anak itu melipat kedua tangannya di atas meja makan. Menatap punggung Nana yang kini berdiri di depan kompor.

Nana menoleh dengan cepat. Kak Ros tertawa, dan Nana akhirnya juga ikut tertawa.

"Ada yang salah?" anak itu kebingungan.

Nana menggeleng, Kak Ros juga sama-sama menggeleng.

"Tumben ngomongnya bener." kata Nana. Sedikit meledek, tapi laki-laki itu mengakui bahwa apa yang dikatakan Jaya memang seratus persen benar.

"Jaya gitu loh!"

Nana dan Kak Ros tertawa lagi.


○○○○》♡♡♡《○○○


Butuh waktu 10 menit sampai akhirnya indomie ala Abang Uda tersaji dengan tampilan ala kadarnya di atas meja. Entah kenapa, Nana selalu merasa bangga setiap meletakkan makanan di atas meja ini. Seolah-olah dia telah memberi bukti bahwa ia telah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk mereka dengan sepenuh hati. Bahwa Nana telah merawat mereka sebaik yang ia bisa.

"Makasih Mas Nana!" mereka berkata bersamaan.

Desir darah dalam tubuh Nana terasa mengalir lembut. Sesederhana kata terima kasih dan senyuman di mata mereka, Nana merasa sangat dihargai.

"Sama-sama."

Lalu mereka makan dalam satu wajan yang sama. Tanpa piring.

Cara berbagi seperti ini mungkin kelihatan menjijikkan di mata sebagian orang. Tapi bagi mereka, ini adalah sesuatu yang harus mereka syukuri. Nana, Eros dan Jaya bukan hanya saling menyisihkan makanan untuk satu sama lain, tapi mereka juga menyisihkan waktu untuk mendengar cerita yang mereka punya hari itu.

Dari sana, mereka tahu bahwa tadi siang Jaya melihat dengan mata kepalanya sendiri teman sebangkunya yang kesurupan. Mereka tahu kalau Kak Ros menghabiskan seharian di kantor dengan marah-marah karena bawahannya melakukan kesalahan fatal. Mereka juga tahu bahwa ternyata Jovan tidak diterima kerja untuk kesekian kalinya.

Atau tentang Rinso yang berhari-hari menunggu kedatangan Bimo ke rumah, namun kucing bermata biru itu tak kunjung datang.

"Si Rinso kayaknya lupa kalau dia sama Bimo sebenernya udah putus." kata Jaya, sambil memutar garpunya.

Nana dan Eros hanya bisa menanggapinya dengan gelak tawa tanpa suara.

"Gimana lo tahu?" tanya Nana.

Lalu dengan percaya dirinya Jaya berkata, "Dia cerita sama aku." hingga dengan begitu saja membuat Eros dan Nana merunduk di bawah meja--mati-matian menahan tawa mereka agar tidak meledak dan membangunkan seisi rumah.

"Dia kenapa sih?" Eros bertanya. Sementara Nana hanya bisa geleng-geleng kepala.

Wajan penuh kerak itu mungkin bisa menyimpan cerita milik mereka untuk waktu yang lama.

Meski setelah cerita selesai, mereka selalu berakhir terdiam. Merasa bahwa masih ada yang kurang.

Mungkin karena yang seharusnya ada di sana, nyatanya tidak ada di sana.

Sampai hari itu, sepi masih sesekali menjenguk mereka. Tidak pernah mengajak mereka untuk bercengkerama. Hanya berdiam lama hingga dingin turut bergabung dan menenggelamkan mereka dalam lamunan panjang yang menyakitkan.

Hari itu berakhir tanpa suara.










Bersambung..

Narasi, 2021✔Where stories live. Discover now