1. Kemarau Merindu

256K 36.7K 16.3K
                                    

Note:

Sengaja aku tulis di bagian awal karena biasanya banyak yang terlalu MALAS baca di akhir. Untuk siapapun yang biasanya bawa-bawa cerita orang lain ke kolom komentar work ku, mending nggak usah baca! Im sorry for this, tapi aku nggak suka sama orang yang nggak bisa menghargai orang lain. Dan jangan bawa work ku ke lapak orang lain juga. Ingat sopan santun!

Nggak usah nagih-nagih juga. Aku tahu kalian suka cerita ini, tapi tunggulah dengan SABAR. Dari dulu aku nggak menuntut apapun kan? Baca kalau memang suka. Kalau nggak suka pergi aja. Dan jangan terlalu tinggi berekspetasi ke aku, cukup baca aja. Simple kan?

Terima kasih dan maaf karena sudah marah-marah🙏

So here we go! Happy reading!

○○○》♡♡♡《○○○

Jika obat rindu adalah bertemu,
Lalu bagaimana caranya mengobati
rindu pada dia yang telah mati?

○○○》♡♡♡《○○○

Di antara remangnya lampu kemuning di atas nakas, Nana mengelus jaket denim warna kelabu peninggalan Sastra dengan sayang. Tengah malam ini, mimpi buruk kembali mengacaukan tidur tenangnya. Kematian Sastra bukanlah salahnya. Tapi entah bagaimana, ia selalu menemukan dirinya hanya berdiri di sebuah perempatan jalan yang sepi tanpa melakukan apa-apa. Padahal nampak jelas di hadapannya, Sastra mengerang kesakitan. Merintih dan memohon untuk diselamatkan. Kehadirannya dalam mimpi itu hanya membuat Nana merasa hatinya perlahan-lahan mati rasa dan ia selalu berakhir tak berkutik.

Dalam jaket itu, masih merebak aroma belagio. Meski hangatnya tidak lagi terasa sebab waktu bergerak pasti untuk membawanya pergi semakin jauh.

Sejak bulan juni tahun lalu, Nana menemukan dirinya sendiri tak lagi sama. Ia sadar, ada separuh dari dalam dirinya yang terasa kosong. Dia seperti seorang pujangga cinta yang ditinggal mati sang pujaan hati. Atau seumpama rumah yang terlalu lama ditinggal pemiliknya pergi hingga akhirnya sang pemilik memilih untuk tidak kembali lagi. Ia seperti rumah tak berpenghuni.

Merana, ia menekuk lutut di balik selimut. Mendekap jaket itu lebih erat dari sebelumnya. Tahun ini, kemarau mengajak dingin dan sepi untuk berkenalan dengan dirinya. Membuatnya perlahan-lahan akrab dan terbiasa bersenandung dalam sunyi.

Di tengah malam dimana suara jangkrik terdengar lebih keras dari hela napasnya sendiri, Nana tidak tahu lagi harus kemana ia mengais rasa kantuknya dan membuat raganya kembali terlelap seperti sebelumnya. Mimpi mengerikan itu selalu berhasil membuatnya sepenuhnya terjaga.

Ia sudah mengikhlaskan kenyataan bahwa raga abang tak mampu lagi untuk ia dekap. Awalnya ia kira segalanya bisa ia lalui dengan mudah. Namun ia menyadari sebuah kekeliruan. Rindu akan selalu datang mengejarnya tak ubahnya hantu. Dan semakin ia berlari kencang, semakin ia kelelahan. Nana selalu merasa bahwa ia tengah berjalan di sebuah labirin yang rumit tanpa jalan keluar. Ia memutuskan untuk terus berjalan, namun ia tidak tahu harus sampai kapan.

Kenangan demi kenangan, pembicaraan demi pembicaraan antara dia dan Sastra selalu berputar-putar dengan teratur dalam kepalanya. Padahal dia punya 3 orang kakak lagi selain Sastra. Tapi kenapa Sastra selalu mengambil tempat yang lebih besar?

Akhirnya ia menangis.

Kehilangan Bapak mungkin sama pedihnya. Tapi paling tidak, ia pernah berada dalam dekap Bapak dan mendapat petuah hangat sebelum ajal merenggut Bapak darinya.

Kata Bapak waktu itu...

"Bapak ingat waktu Nana bilang kalau Nana nggak suka Cetta lahir."

"Bapak sama Mama jadi lebih sayang sama Cetta daripada sama Nana. Belum lagi ada Jaya!" keluhnya. Bapak yang mati-matian menahan sesak dan perih dalam dadanya berusaha tergelak susah payah. Suara tawanya terdengar hangat dan bijaksana. Itu adalah suara tawa favorit Nana.

Narasi, 2021✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang