2 - Asrama

58.5K 4.3K 134
                                    

Aku bangun di pagi hari dengan banyak perubahan: ada yang berbeda ketika aku bercermin. Rambutku yang awalnya berwarna cokelat mendadak menggelap, begitu pula nasibnya dengan sepasang iris mataku.

Yah, aku tak mempermasalahkan hal itu, sih. Asalkan aku tak punya aura seperti nenek pemakan anak kecil. Lagi pula aku kan mau pergi ke asrama sihir, bukan kontes peragaan busana.

Saat aku keluar dari kamar, ibu dan ayahku tidak kaget sama sekali. Katanya, setelah pulang dari rumah sakit, aku tertidur dan tiba-tiba warna rambut dan mataku berubah. Ini merupakan pengaruh dari sihir hitam.

Aku membasahkan rambutku ketika mandi pun warnanya takkan berubah.

Seragam Asrama Xylone rutin berganti setiap musimnya. Saat musim semi seperti sekarang, seragamnya berupa kemeja putih lengan pendek, dasi hitam, jubah hitam sepanjang lutut, dan rok hitam selutut untuk perempuan dan celana untuk laki-laki. Di musim panas, seragamnya sama saja, bedanya yang perempuan memakai kemeja lengan buntung. Di musim gugur, kemejanya lengan panjang. Sedangkan di musim dingin, kemeja diganti dengan sweater putih, semua perempuan diwajibkan berkaus kaki panjang. Lambang serta tulisan Asrama Xylone tertera dengan bangga di setiap dada kanan seragam bagian atas.

Aku merasa agak ganjil memakai seragam ini. Namun, ibu meyakinkan bahwa aku terlihat cocok dengan semua setelan. Bohong atau tidak? Hanya dirinya yang tahu.

Lepas itu, aku cepat-cepat menghabiskan sarapan lalu masuk ke mobil.

***

Mobil ayah dan ibu berhenti mendadak tepat di depan gerbang raksasa Asrama Xylone yang terbuka lebar. Di samping gerbang terdapat dua pelayan berpakaian formal yang tampak seperti ... zombi kembar yang benar-benar simetris.

"Kenapa berhenti?" tanyaku.

"Entahlah, ayah tidak tahu."

Tiba-tiba si salah satu pelayan zombi mendekati mobil ayah, lalu mengetuk pelan kacanya. "Maaf, hanya calon murid yang akan bersekolah di sini yang bisa masuk."

Aku menelan ludah. Namun, keraguanku luntur kala menerima tatapan penuh kepercayaan dari ayah dan ibu. Ini mudah, aku harus pergi, batinku pada diri sendiri sembari melangkahkan kaki ke luar mobil setelah mengucapkan salam pada kedua orangtuaku.

Pelayan-pelayan zombi mundur menjauh ketika aku menghampirinya. Hidungnya merengut seperti habis mencium bau bangkai. Aku balas merengut, kali ini gara-gara tersinggung.

Setelah melangkah masuk ke gerbang asrama, aku merasakan ada aura yang beda. Apa itu yang dirasakan setiap murid saat masuk ke area asrama?

"Lewat sini, Nona." Salah satu zombi memintaku mengikutinya dari jauh. Aku pun segera mengikutinya.

Wow, asrama ini benar-benar menakjubkan! Ada patung-patung gargoyle yang menghias di setiap sisi. Tapi ketika aku lewat, patung itu tampak menjaga jarak. Oh, nggak heran, deh, kalau patung di asrama semacam ini bisa bergerak.

Asrama bercat abu-abu-hitam ini bertingkat lima dengan atap datar, patung-patung gargoyle mengelilinginya. Ada dua lapangan, lapangan sihir yang berada di belakang asrama dan lapangan utama di tengah-tengah asrama. Di lantai satu adalah kelas-kelas pelajaran, ruang makan, ruang musik, kantor guru, dan sebagainya. Lantai dua sampai lima adalah kamar murid. Sang pelayan zombilah yang memberi tahuku seluruh informasi ini selagi kami berjalan-jalan mengelilingi asrama.

"Sekarang pukul 07.50," kata si zombi. Eh? Bagaimana dia bisa tahu pasti? Dia tak memakai jam tangan. "Sepuluh menit lagi sarapan bersama dimulai, dan kau akan diumumkan sebagai siswi baru disini. Ayo, kuantar ke ruang kepala sekolah."

Aku mengangguk. Tak lama, ia berjalan tergesa-gesa menjauh dariku. Makin tersinggunglah hatiku. Apanya yang salah?

Pintu ruang kepala sekolah dihiasi oleh sebuah kepala banteng bertanduk emas. Sungguh indah dan berkelas, walau agak menyeramkan. Banteng itu seolah tampak hidup. Enggan menatap lebih lama, aku kemudian mengetuk pintu—yang secara ajaib langsung terbuka pada ketukan ketiga.

"Varrelisa Arianel, pemililik ilmu sihir hitam generasi ke seratus enam." Aku bergidik mendengar suara pria menyeramkan itu. Pasti kepala sekolah.

"Masuklah," katanya. Aku lekas melangkah ke dalam ruangan, tepat ketika pintu di belakangku kembali tertutup secara otomatis. Di atas kursi sederhana yang terbuat dari beludru, duduklah sang kepala sekolah lengkap dengan jubah kulit cokelat bertutul hitam-putih yang melapisi seragam semi formal miliknya. Kuduga harganya setara dengan seluruh isi lemari pakaianku.

"Aku Gurdyn, kepala sekolah Asrama Xylone," ujarnya. "Varrelisa, bagaimana perkembangan sihir hitammu?"

"Ehm—" Deham kecil, usap-usap tenguk; aku gugup luar biasa—"Sebenarnya, aku baru dapat sihir ini seminggu yang lalu, jadi aku belum tahu caranya menggunakan sihir ini."

"Pilihan bagus kau memilih asrama ini." Bibirnya mengukir senyum hangat. "Nanti saat sarapan bersama, kau majulah ke atas panggung. Perkenalkan dirimu kepada seluruh penghuni Asrama Xylone."

Aku berusaha semaksimal mungkin guna meminimalisir deru napas legaku. "Baik, Pak Gurdyn."

"Tetapi, Varrelisa, bisakah kau duduk di ruangan ini dulu? Aku punya banyak pertanyaan untukmu."

Kau dengar itu? Itu suara napasku yang mendadak berhenti akibat kepanikan mendadak. Apa yang Pak Gurdyn hendak tanyakan padaku? Ia barangkali akan bertanya bagaimana aku bisa dapat sihir ini, apa rasanya, siapa orang yang melakukannya, dan kenapa aku nggak mati. Pertanyaan bagus!

Semua golongan penyihir tau sihir hitam hanya bisa ditampung oleh tubuh keturunan pemilik sihir hitam yang pertama. Aku, 'kan, bukan dari keluarga kayak gitu!

Biasanya orang luar yang mendapat sihir hitam, tubuhnya dijamin bakal lansung hancur. Namun, entah mengapa, aku tidak. Aku hanya mengalami perubahan kecil pada pigmen rambutku yang berubah warna serta iris mataku yang turut menggelap. Pingsan cuma dalam seminggu merupakan suatu keajaiban.

Karena sihir ini jugalah mahkluk non manusia menjauhiku karena merasakan aura gelap yang kuat dariku. Ugh, bagus sekali, Varrel, sekarang aku bukan penyihir remaja biasa lagi. Aku takkan punya kesempatan memelihara hewan.

Black MagicWhere stories live. Discover now