1 - Sihir

130K 5.6K 378
                                    

Terlahir dengan kekuatan sihir tingkat biasa saja sudah cukup. Aku masuk sekolah sihir bagus. Banyak pula temanku yang masuk ke sana.

Namun, rasanya takdir tidak setuju jika hidupku berjalan biasa-biasa saja.

***

Semuanya berawal dari masakan rumah ibuku yang enak.

"Sudah kenyang, Varrel?" Wanita paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepalaku.

Anggukan kepalaku yang sarat akan semangat dan meminta lebih sudah cukup menjadi jawaban untuk memuaskannya. Baru saja aku hendak mengambil jatah makanan tambahan sebelum ayah berseru memanggil, "Varrel, sudah selesai belum? Jangan sampai terlambat di hari pertamamu, lho!"

"Oh, benar juga!" Aku segera meraih gelas air putih dan menandaskannya. "Ibu, aku dan ayah pamit dulu!"

Ibu memelukku erat sesaat setelah aku menyalami tangannya. "Hati-hati di jalan, Sayang."

Setelah memberi senyum pasti, aku lantas berlari masuk ke dalam mobil di mana ayah sudah siap memegang setir kemudi.

Hari ini aku akan belajar bagaimana cara menjadi penyihir!

Yah, soal sihir menyihir dan karir tak lazim tersebut sesungguhnya sangatlah wajar bagi penduduk Nevada, terutama yang di bagian barat. Saat menginjak usia remaja, anak-anak memang dibebaskan untuk memilih jalan yang dituju mereka: menjadi penyihir atau penduduk biasa, dan aku sungguh tertarik dengan pilihan pertama.

Soal mempelajari sihir adalah perkara mudah, sebab ada begitu banyak asrama sihir yang menjamin murid-muridnya lulus dengan nilai dan bakat sempurna.

Karena Nevada secara teknis merupakan kota penyihir, maka pemimpin kami pun juga seorang penyihir. Ia bernama Agatha Stephanie; Penyihir Putih berkekuatan sihir dahsyat yang kabarnya mampu meluluhlantakkan satu kota sekalipun. Ia begitu kuat. Banyak golongan penyihir-penyihir muda sampai tua yang memandang Penyihir Putih sebagai role model mereka. Yah, walau begitu, ada saja orang yang justru melihat Penyihir Putih dari sudut yang berbeda.

Tidak usah jauh-jauh, aku adalah salah satu orang yang memiliki pandangan demikian. Daripada agung, konteks kekuatan yang dimiliki Agatha Stephanie lebih terdengar .... mengerikan. Tidak manusiawi.

Ugh, entah Penyihir Putih yang memang mengintimidasi atau aku yang terlalu paranoid, pemikiran mengenai dirinya selalu sukses membuat bulu kudukku meremang.

***

Di tengah perjalanan, saat sedikit lagi sampai ke sekolah, ponsel ayah berbunyi. Oh, ada pesan masuk.

"Ada apa, Yah?" tanyaku.

Mimik wajah ayah menjadi lesu. "Katanya nenek tiba-tiba pingsan, ayah jadi khawatir."

Aku mengetukan jari ke kaca mobil seraya berpikir. "Jenguk saja nenek. Aku bisa jalan sendiri."

"Tapi, Varrel—"

"Nggak apa-apa, Ayah. Lagi pula jaraknya sudah dekat, kok!" ujarku mencoba meyakinkan.

Lama menimbang, akhirnya ayah setuju. Aku pun segera turun dari mobil.

"Sampai jumpa, hati-hati!"

Aku melambaikan tangan. Sambil menggendong tas, aku berjalan menuju sekolahku yang jaraknya tinggal sedikit lagi.

Belum lama aku berjalan, seorang kakek tua berpakaian hitam agak koyak terseok-seok menghampiriku. Darimana datangnya dia? Seingatku tidak siapa pun sejauh perjalanan ini. Meski perasaanku agak ngeri, sepertinya dia tidak berbahaya.

"Nak," katanya. Mencengkram tanganku erat-erat. Aku merinding merasakan sentuhannya. "Ambil ini, jangan biarkan siapa-siapa merengutnya darimu. Ini milikmu sekarang."

Ambil apa?

Si kakek membuka mulutnya lebar-lebar, anehnya mulut itu kosong layaknya lubang kehampaan. Dari mulut itu keluarlah asap gelap yang mengeluarkan suara teriakan kesengsaraan. Aku tidak bisa teriak—oh, tunggu—apa mungkin ini karena memang tipikalku bukan cewek penjerit?

Mulutku terbuka sendirinya, asap gelap itu akhirnya masuk ke dalam mulutku. Beberapa detik kemudian, kakek itu lenyap jadi abu yang ditiup angin. Aku jatuh tersungkur sambil terbatuk-batuk. Tak lama setelah itu, semuanya menjadi gelap.

***

Di sinilah aku berakhir: Rumah Sakit Nevada. Katanya aku pingsan selama seminggu penuh, padahal rasanya hanya beberapa jam saja.

Ayah dan ibuku tentu bersyukur, aku langsung diberi makan dan minum oleh mereka. Hm, aneh sekali, aku merasa sehat; aku merasa baik-baik saja. Sungguh.

"Dokter bilang semua organ tubuhmu memulih dengan sangat cepat," tutur ayah dengan nada, yang anehnya, khawatir. "Darahmu juga bukan lagi berwarna merah ... "

Aku tersedak ketika sedang makan. "Apa?"

"Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberi tahumu," desah ayah.

"Sebaiknya jangan!" Ibu mencegah.

"Kalau tidak, dia jadi tak tahu alasan kenapa ia dimasukan ke Asrama Xylone."

"Asrama Xylone?" Mataku membelalak. Apa mereka sedang bercanda?! Asrama untuk keturunan penyihir-penyihir tingkat dewa yang siswa-siswinya memiliki kemampuan sangat hebat! Mereka berada di asrama itu dari usianya tigabelas tahun. Apa yang sedang menimpaku di sini?

"Kamu telah memiliki kekuatan sihir hitam, Varrel," kata ayah. "Entah apa yang menimpamu, kau jadi sangat kuat dan cepat pulih."

"Sihir hitam?!" Aku makin terlonjak.

Untuk informasi, sihir hitam adalah yang terkuat dari segala sihir. Si pemilik sihir adalah orang terpilih yang kekuatannya mengerikan. Tapi kalau si pemilik sudah tua, ia harus segera memberikan sihirnya pada orang lain, kalau tidak ia akan terkutuk. Jiwanya tak pernah sampai ke surga atau neraka melainkan tetap di raganya sampai membusuk.

Masalah lainnya, setelah memberikan sihir itu pada orang lain, ia akan langsung lenyap.

Aku berpikir apa yang terjadi sampai aku jadi begini. Hari pertama sekolah ... sarapan lalu diantar ayah ... naik mobil lalu turun karena nenek pingsan ... ketemu kakek-kakek—tunggu, itu dia! Kakek itu pastilah si pemilik sihir hitamnya!

Ayah berdeham pelan. "Jadi, Varrel, bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Kamu mau, 'kan, tinggal di Asrama Xylone?" tanya ibu.

Menimbang sebentar, aku balas bertanya "Kalau aku tidak asrama di sana, apa yang akan terjadi?"

"Kamu tidak bisa mengendalikan kekuatanmu, kekuatan itu akan terus tumbuh hingga ia menguasaimu. Nggak ada sekolah atau asrama lain yang bisa menjinakan sihir hitam kecuali Asrama Xylone, metode belajarnya beda," jelas ayah.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengangguk. Bisa kalian bayangkan jika aku menggeleng? Aku nggak jadi masuk Xylone, lalu sihir hitam ini mengambil alih diriku, aku jadi penjahat yang tak bisa dibunuh. Dan aku akan menguasai dunia dalam genggamanku, menunggu adanya pahlawan yang hendak mengalahkanku. Tapi hei, itu tak buruk juga.

Sayangnya, sudah terlambat untuk menolak. Kepalaku telah dianggukan dan kedua orangtuaku tak mungkin punya pertimbangan lain. Aku akan masuk Asrama Xylone besok.

Black MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang