Mata nun Gemilap

53 4 1
                                    

Katamu dahulu kau memuja langit, kau sebut ia indah tak terperi. Sahutmu lagi pantaslah surga dibangun di atas sana, sebab ia megah dan maha cemerlang, juga akbar pun agung. Bahkan tatkala ia mendung kelabu, pujamu masih saja terlontar.

Kau akan berbincang dengan abu-abunya, lalu selepas itu berbisik, "Sebentar lagi ia akan menjawabku."

Lantas kau bersorak, manakala hujan yang kau sebut sebagai dialog balasan langit mengguyur halaman, pun jalan beraspal, ranting-ranting pohon dan jendela kaca serta genting pondok-pondok.

Kau akan berlalu ke bawahnya, merentangkan tangan serupa kapal terbang, menjejakkan telapak kaki pada debu tanah yang melembut menjadi lumpur. Menengadah seakan kembali berdialog dengannya; merasai hujan, merasai pelukan langit.

Lalu di mataku, kau berpendar selayak emas. Menyala di tengah rintik yang mendung dan gelap.

Lalu di matamu, kutemui keindahan yang selama ini kau puja. Cemerlangnya; megahnya; gemilapnya. Di matamu kusaksikan purnanya langit.

Hanya di matamu.

Hening yang Kita Teriakkan [Kumpulan Puisi]Where stories live. Discover now