Bagian Dua

80 48 22
                                    

Badai sampai di kampus tepat saat hujan mulai turun dengan derasnya. Ia berlari kecil saat sepasang matanya tak sengaja menangkap sesosok gadis yang juga berlari sama sepertinya hendak menghindari hujan. Sembari berlari mensejajarkan langkahnya dengan gadis didepannya, ia melepas jas almamaternya yang kemudian ia gunakan untuk memayungi tubuhnya dan gadis mungil yang ada disebelahnya.

Mereka terus berlari hingga akhirnya sampai di parkiran. Sejenak ia melihat gadis yang barusan ada di sampingnya itu. Kulit kuning langsat sama seperti dirinya dengan bibir tipis yang mungil dan matanya bening dengan bulu mata yang lentik, apalagi dengan tinggi yang hanya sampai sebahunya itu membuat gadis itu terlihat imut saat berada disebelah Badai yang berperawakan tegap tinggi itu.

Sepertinya ia belum pernah melihat gadis ini di kampus. Mungkin dia mahasiswi baru, pikirnya.

Gadis itu kemudian mengucapkan terima kasih. Namun badai menyuruhnya menggunakan jasnya kembali supaya gadis itu tidak basah kuyup sampai dikelasnya. Badai pun kemudian berlari kecil menerjang hujan meninggalkan gadis itu di parkiran.

Sesampainya Badai di kelas, ternyata kelasnya itu masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang duduk, bermain handphone, dan ada pula yang berdiri di dekat jendela menyaksikan hujan yang turun dengan derasnya. Beberapa lagi justru tidur di bangku belakang tanpa peduli kalau hari masih terlalu pagi untuk sekedar digunakan tidur. Yah, siapa lagi kalau bukan Devan dan Rio, dua sahabat karib Badai sejak sekolah menengah pertama itu.

Badai lalu menghampiri keduanya sambil melemparkan tasnya yang kemudian mengenai wajah Rio yang terlihat tertidur pulas itu.

"Bruggh!"

"Eh buset, buset. Siapa yang nglempar tas ini?" Tanya Rio yang tidak mengetahui kalau ternyata Badai yang melakukannya. Beberapa anak melihat kepadanya.

Badaihanya berkacak pinggang melihat sahabatnya yang belum menyadari kehadiran dirinya di depannya.

"Eh, elo ternyata. Gue kira si Asep hehe." Rio yang kemudian menyadari ada Badai di depannya itu tiba-tiba berbicara pelan sambil nyengir.

Rio memang takut dengan Badai dan tidak pernah melawan meskipun Badai kadang mendzolimi dirinya. Karena terakhir kali sewaktu mereka masih di sekolah menengah, Rio mendapat bogem mentah-mentah dari Badai karena dirinya iseng mengerjai Badai yang saat itu merupakan anak taekwondo.

Sejak saat itu ia tak pernah lagi berani pada Badai. Ya, meskipun mulutnya kadang masih suka julid pada Badai, tapi itu masih amanlah dari bogem Badai daripada jika ia harus mengerjai sahabatnya itu.

Ia tahu betul seperti apa Badai. Badai memang bukan pendendam, ia juga pribadi yang baik kepada orang lain, tapi sekali ia marah, tak peduli siapa orangnya, saat orang itu salah, maka orang itu akan dapat peringatan dari badai bahkan mungkin dapat merasakan kepalan tangan badai yang kuat itu.

Tapi meskipun begitu, Rio tahu sahabatnya itu sebenarnya berhati mulia. Buktinya dulu saat orang tua Rio sering bertengkar, Badailah tempat Rio mencurahkan segala keluh kesah, bahkan membolehkan Rio tinggal di rumahnya sementara waktu.

Rio yang notabenya anak orang kaya ini seringkali iri kepada teman-temannya yang selalu mendapatkan limpahan kasih sayang dari orang tua mereka. Sedangkan dirinya? Orang tuanya justru hanya sibuk dengan bisnis mereka masing-masing.

Rio bahkan sudah menganggap badai seperti saudaranya sendiri, begitu juga sebaliknya. Dari orang tua Badai juga ia mendapat banyak kasih sayang ysng seharusnya ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bahkan Rio juga sudah dianggap anak sendiri di keluarga Badai.

"Kenapa, Yo? Mau mukul? Sini sini!" kata Badai seraya senyum-senyum sambil mengelus-elus dipipinya sendiri.

"Ehehe enggak, Dai. Lo kan sahabat gue masa gue pukul, sih," Jawab Rio masih dengan cengengesan.

Devan yang sayup-sayup mendengar orang berbicara pun terbangun dari tidurnya.

"Ngapain sih lu pada, berisik!" Umpatnya sambil mengangkat kepalanya dari meja.

"Lo tu yang ngapain, pagi-pagi dah molor aja. Begadang lo semalem?" Tanya Badai pada Devan.

"Tanya aja sama si Mario Teguh itu!" canda Devan pada Rio yang kini sudah duduk dengan kaki di silangkan pada kakinya yang lain.

Badai kemudian duduk didepan kursi kedua sahabatnya itu. "Kenapa sih, Yo? Kalian nonton Bola? Kok gak ngajak gue sih? Tanya Badai kepada Rio.

"Gue abis putus, Dai" jawab Rio dengan layu. Tangannya kini menompang dagunya diatas meja.

"Oh gitu, sekarang ceritanya ke Devan. Gue nggak dianggep lagi nih ceritanya," balas Badai sambil pura-pura merajuk kepada Rio.

"Lo sih semalem sibuk ngegame mulu. Gue telfon ga diangkat. Jadinya si Mario Teguh curhat sama gue kan," potong Devan tiba-tiba.

"Apasih gue gak nanya sama lo kudanil!" cibir Badai kepada Devan yang diiringi tawa Rio.

Devan memang mempunyai perawakan yang lebih berisi daripada kedua sahabatnya itu. Oleh karena itu dia lebih sering jadi bahan bulan-bulanan Badai dan Rio. Tapi meskipun begitu, Devan tidak pernah tersinggung. Ia tahu kedua sahabatnya ini hanya bercanda.

Devan sendiri lebih lama mengenal Badai daripada Rio. Mereka tinggal satu kompleks. Hanya berbeda blok. Devan merupakan anak seorang arsitek. Oleh karena itu, ayahnya menginginkan Devan mengikuti jejak sang ayah. Akan tetapi Devan sama sekali tidak tertarik. Ia justru lebih tertarik dengan desain grafis sehingga ia mengambil jurusan desain grafis bersama kedua sahabatnya itu.

Beberapa menit kemudian, mahasiswa lain mulai datang. Kelas mulai ramai. Dosen pun tak lama kemudian memasuki kelas. Rio dan Devan hanya melenguh panjang karena mereka tidak bisa melanjutkan tidur. Sedangkan Badai hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua sahabatnya yang hanya peduli jam tidurnya itu.

Kelas dimulai, bertepatan dengan hujan yang mulai reda. Menyisakan matahari yang semakin lama semakin bersinar tanpa terhalang mendung lagi.

Hayy semua. Aku update lagi nih. Jangan bosen-bosen ya. Tunggu kelanjutannya. Jangan lupa vote dan comment. Salam sayang😚😚❤❤

DESTINY [On Going]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن