NICO - duapuluhempat

10.7K 659 10
                                    

Seminggu penuh ini rasanya rumah seperti penjara! Begitu menyiksa, bukan secara lahiriah, tapi batiniah! Penjara yang lebih mengerikan dari Nusa Kambangan!

Huff... Padahal aku yang memiliki rumah itu, tapi aku tidak merasa nyaman dengan rumah itu. Aku tuan rumahnya, perlukah aku mengingatkan pada diriku setiap hari?!

Aku mencoba ke rumah sakit dan menenggelamkan diriku ke dalam pekerjaan. Aku rasa itu satu-satunya cara agar aku berpikir jernih, selain mengguyur diriku di bawah shower. Tapi sialnya, aku langsung diusir oleh satpam di depan! Ternyata Amara tidak main-main dengan suratnya!

Bukan hanya tidak boleh bekerja, untuk menjenguk Alena saja tidak diijinkan!

Great!

Tapi aku tidak mungkin di rumah! Aku lelah ada di rumah. Sungguh menguras emosi dan aku tidak sanggup!

Aku mau kemana???

Leo di rumah sakit. Alena masih terbaring dan tidak mungkin aku mengajak orang koma mengobrol di kafe! Sedangkan Ello, dia entah ada di mana bersama Amara dan anakku sekarang.

Huff...

Aku benar-benar terjebak, dan hanya bisa kembali ke rumah itu. Ini hari Senin dan siapa juga yang mau menemaniku yang tiba-tiba pengangguran ini? Tetanggaku?? Ck, yang ada nanti aku dikira menggoda istri orang!

Aku tahu, bukan hanya aku yang tersiksa dan terjebak seperti ini.

Anika juga merasakan hal yang sama. Dia tidak punya apa-apa sampai Amara kembali!

Bisa saja aku memberikannya sejumlah uang, tapi masa iya aku mengusirnya pergi dari rumahku??! Aku masih tahu sopan santun! Walau benci mengakuinya, tapi Anika masihlah nyonya rumah!

Huff...

Aku terjebak dan aku ingin sekali berteriak untuk segera mengakhiri ini semua. Lelah dengan semua kegilaan ini.

Aku tidak menyangka sama sekali kalau aku harus merasakan rasa sakit setelah bertemu lagi enam tahun berlalu.

Aku tidak menyangka dan tidak pernah menginginkan seperti ini!

Anika ...

Dia memasak setiap hari selama seminggu ini, dan aku makan bersamanya. Dia sudah repot-repot memasak, dan aku hanya menghargainya. Walau dalm hati aku juga berharap dia melakukannya khusus untukku... dari lubuk hatinya yang terdalam karena masih mencintaiku.

Sayangnya, itu hanya khayalan. Baik sarapan, makan siang, bahkan makan malam, semuanya aku akui luar biasa. Dia seperti koki hotel berbintang. Hanya saja, bagiku terasa hambar. Suasana membuat makanan seenak apapun terasa tawar!

Selalu hening dan semua dilakukan tanpa percakapan apapun.

Anika mencoba untuk bicara, tapi aku mendiamkannya. Ya, aku yang bersikap antipati sekarang. Aku hanya.... Aku hanya tidak sanggup bicara dengan seseorang yang begitu menyakiti hatiku!

Rasanya begitu... sakit!

Ponselku berdering. Aku berharap pesan yang ku buka ini akan menyelamatkanku dari penjara ini sementara waktu. Aku sudah bosan mendekam dalam kamar Nicky terus! Aku bosan hanya memeluk teddy bear jumbo yang seminggu penuh ini menemaniku tidur!

Klik... Pesan terbuka.

Amara >> Gue udah di Jakarta, dan gue tau semua ga berjalan baik. Cafe samping club tempat gila lu bertiga. Jam dua.

Tanpa perlu aba-aba, kakiku langsung melangkah cepat ke garasi. Aku langsung memacu mobilku cepat ke tempat pertemuan. Tentu saja hatiku bersrak bahagia, sekalipun sekarang baru jam sepuluh pagi.

Kepagian?

Ya, memang aku sengaja! Lebih baik aku kepagian daripada aku menyiksa diriku di rumahku sendiri.

Aku langsung memesan segelas kopi pahit, dan duduk di pojokan menikmati padatnya lalu lintas. Lebih baik aku menunggu sendirian seperti ini daripada aku berubah gila.

Lamaaaaa sekali sampai Leo datang.

"Lu dateng juga?" Jujur, aku tidak menduga Amara juga mengundang Leo untuk datang ke cafe ini.

"Amara nyuruh. Lebih tepatnya maksa dan merintah. Dia ngancem bakal pecat gue! Gila, sadis banget dia. Padahal Cuma anak direktur, tapi berasa dia yang direkturnya!" Omel Leo setelah memesan segelas kopi pahit.

"Masih bagus Cuma diancem. Gue udah kayak diskors! Jenguk Alena aja ga boleh! Beneran berasa kayak anak sekolahan! Gue bisa gila di rumah doang." Keluhku.

"Bukannya bagus karena ada Anika di sana." Leo menaikkan sebelah alisnya bingung.

"She...."

Aku menggantung kalimatku. Ah, apa aku sanggup mengatakannya pada Leo? Jujur saja, aku malu dengan semua kisah cinta ini. Semuanya seperti drama-drama yang membuat para wanita menangis-nangis bombay! Dan aku benci itu!

"Kenapa dia?" Desak Leo tidak sabar.

Aku ragu, tapi aku mengatakannya juga. Toh, saat Amara datang, dia juga pasti akan menginterogasiku. Bedanya apa?

"She has a boyfriend. Ha... Dan gue ngerasa kayak orang bodoh yang selama ini nungguin dia."

"Dia ... APA?!"

Aku langsung melotot menatap Leo. Cafe ini memang sedang tidak ramai dan aku juga masih punya telinga yang bagus. Apa harus dia teriak 'apa' sampai seperti itu?!

"Lu ga usah teriak kayak orang gila. Malu ah!" Tegurku.

Tapi Leo malah tidak menghiraukan dan mencecarku dengan pertanyaan beruntun.

"Dia punya pacar?"

"Ya!"

"Tapi mana mungkin!"

"Pasti mungkin!"

"Ga mungkin! Dia..."

"Dia bahkan bilang dia tidur bareng tu cowok!"

"Tapi itu ga mungkin! Dia..."

"Kenapa ga mungkin sih?! Wajar aja kali. Lima tahun dan dia ada di bawah budaya barat. Bebas... sedangkan gue, menjaga Nicky dan menahan diri dari apapun! Rasanya sinting Le!" Kataku lirih.

Rasanya benar-benar sinting!

"That's impossible!" Kata Leo tidak percaya.

"Le.. udahlah. Ga usah ngehibur."

Hiburan seperti itu hanya memberikanku harapan palsu. Lagipula, aku sudah pasrah dengan semuanya.

Tepat jam dua, aku melihat Amara memasuki pintu cafe. Dia datang bersama Ello. Tumben, Amara tidak tersenyum. Apa liburan sebegitu melelahkannya?

Aku baru saja mau menyapanya, tapi Amara memberi isyarat supaya aku tidak bicara.

"Berdiri Nic..."

"Ha?"

"Berdiri!" perintah Amara lantang.

Daripada membuat keributan, aku menurut dan berdiri. Aku belum sampai benar-benar berdiri dan ... plakkk! Satu tamparan keras mendarat di pipiku.

What the....?!

I Love Her 3 : NicholasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang