War 22.7: Two Weapons

1.6K 101 11
                                    

Biru gelapnya malam menyelimuti langit Manchaster begitu mereka tiba di perempatan jalan. Di depan mereka, sebuah rumah menjulang dengan lampu-lampu jingganya yang menyala cerah seakan menyambut malam. Itu rumahnya. Alyssa menelan ludah, merasakan dadanya menjadi sesak penuh kerinduan. Rumahnya tetap rumahnya, bahkan tiap inci lumuran cat pelapis dinding batu bata-nya masih sama. Pintunya yang putih serta kusen-kusen kayu-nya, tanaman anggur yang merambati gerbang rumahnya, kursi tamannya. Desain vintage tersebut memang sengaja dibangun sesuai kesukaan Ibunya. Bahkan aromanya pun masih sama seperti dulu.

            Aroma Ibunya.

            Alyssa seakan menggigil hingga ke tulang. Kenangan akan kehidupan lamanya membuat kerinduan tersebut semakin menjadi-jadi. Seolah dunianya yang sekarang seperti bayang-bayang cahaya lilin yang berkeredep antara ada dan tidak ada. Bahkan dinginnya angin malam yang sebelumnya dirasakan Alyssa begitu sebeku es kini sama sekali tidak terasa di kulitnya. Alyssa begitu sibuk dengan pikiran masa lalunya hingga ia mendongak dan mendapati jendela kamarnya gelap.

            Jantungnya seakan diremas. Tentu saja, pikirnya. Semua orang telah melupakannya. Tidak ada yang menginginkannya di dunia. Ya, tentu saja. Dunia ini bukanlah bagian dari dunianya melainkan dunia yang berbeda. Hidupnya tidak ada disini. Ia tidak pantas berdiri disini. Bukan inilah tempatnya yang seharusnya. Ia seharusnya berada di Institut sekarang― berlatih, bersiap untuk perang dan segalanya. Hanya saja.. hanya saja ia..

            “Kau siap?” suara Gabriel memecah lamunannya. Dengan gerakan otomatis, Alyssa mendongak dan langsung menyadari bahwa pemuda itu sejak tadi memperhatikannya. Mata biru Gabriel nyaris hitam dibawah bayang-bayang malam.

            “Selalu.” Alyssa membalas meskipun sebetulnya ia tidak siap. Sama sekali tidak.

            Gabriel menyunggingkan senyuman menyemangati dan lantas memencet bel.

*

“Anakin, kau yakin?” Selina berbisik nyaris untuk yang ke seratus kalinya. Kalau bukan karena gadis itu adalah saudari kesayangannya mungkin Anakin lebih senang mendorongnya ke balik jeruji pagar istal sampai pagi nanti. Tapi ia tidak melakukannya. Terlebih lagi, mungkin ini bisa menjadi pertemuan terakhirnya dengan Selina, setelah misi rahasia yang bisa dibilang menantang maut. Tepatnya, misi bunuh diri.

            “Seratus satu persen yakin.” Ani memberikan cengiran terbaiknya. Berusaha sekuat tenaga agar tampak ceria. “Lagipula tenanglah, aku kan tidak sendirian. Yang lain akan bergabung denganku nanti di portal. Disana akan ada―”

            “Robert dan David, benar? Kau sudah mengatakannya berkali-kali dan aku sudah mengatakan kepadamu kalau aku akan memastikan apa itu benar atau tidak.”

            Ani mengangkat bahu cuek. “Silahkan.”

            “Dan kalau tidak―”

            “Kau akan melaporkan kejadian ini kepada Estelle, Dewan dan bla bla bla. Aku ingat Sel, dan kukatakan kau terlalu khawatir soal misi bodoh ini. Seolah aku akan mati saja, aku hanya berkeliling mencari Helena, benar? Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Tegasnya lagi. Selina memang tidak perlu takut. Karena seharusnya ia lah yang takut sekarang dan Ani memang takut. Tapi ia tidak bisa kelihatan takut di depan kakaknya sendiri. Tidak jika ia tidak ingin Selina berteriak sekencang-kencangnya sehingga membuat seluruh penghuni Institut sadar tentang misi ini. Misi illegal yang sengaja direncanakannya tanpa ia beritahukan kepada siapapun kecuali Selina. Bahkan Ani tidak memberitahukan Gabriel. Hanya Selina. Satu-satunya orang yang disayanginya, kakaknya yang pemarah dan tidak bisa diam.

The Half AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang