Bab XII

2.7K 331 3
                                    

Jayantaka terkejut akan perintah ayahandanya. Ya, baginya semua sabda sang Raja adalah titah yang tak boleh dibantah siapapun termasuk dirinya. Sekalipun kalimat itu terdengar seperti permintaan.

Pagi yang begitu cerah di musim kemarau, mendadak jadi hening setelah suara sang Prabu berhenti. Di ruang makan istana Purana yang megah ada Jnanashiwa dan permaisurinya Sritareswari, Jayantaka, Ranggadewa dan Galuh Dhyanindhita. Rajapatni dan selir juga putri bungsu tidak hadir pagi itu. Dan entah kenapa Jnanashiwa tidak marah atas ketidakhadiran mereka. Ataukah Jnanashiwa sendiri yang menyuruh mereka tak hadir tak ada yang tahu.

Mereka semua terdiam. Jayantaka yang jadi pusat perhatian. Semua menanti jawaban dari mulut pangeran sulung itu.

"Bagaimana, Jayantaka? Kau takkan menolaknya bukan?" desak Jnanashiwa.

Jayantaka yang selalu tampak tenang pun jadi gelagapan. Ia berjuang menenangkan diri. Sungguh tak disangka pagi ini ayahandanya mengatakan sesuatu di luar dugaannya. Wajahnya yang tampan dan terukir sempurna menunduk menghadap meja mencari kalimat yang sesuai dan tak mengecewakan sang ayah.

"Kau sudah dewasa, Jayantaka." Jnanashiwa kembali bersuara. "Kau sudah delapan belas tahun kurasa," sambungnya seraya menoleh pada istrinya meminta kepastian dan disambut anggukan sang prameswari.

"Gusti Prabu benar, Anakku. Sudah waktunya engkau menikah."

Suara lembut sang prameswari seolah menenangkan hati Jayantaka yang bergemuruh. Ranggadewa meliriknya sambil menahan senyum. Sedangkan Dhyanindhita hanya tertunduk diam.

"Aku ingin kau menikah dengan putri Ragawa."

Jnanashiwa sudah mengambil keputusan. Apapun jawabannya tak akan membawa perbedaan. Suka atau tidak sabda sang Raja adalah titah yang harus dijunjung tinggi. Jayantaka menghela napas sepelan mungkin. Kedua adiknya tahu ketenangannya kali ini seperti dibuat-buat.

"Baik, Ayahanda."

Jnanashiwa tersenyum puas. Dia tahu putra tertuanya itu pasti akan melaksanakan apapun yang diucapkannya tanpa membantah. Kemudian tatapannya beralih pada Ranggadewa yang tersenyum cerah melihat kakaknya mati kutu di hadapan ayah mereka.

"Dan kau, Ranggadewa. Kau juga harus segera menikah."

Ranggadewa terkesiap. Mulutnya terbuka. Panik langsung menyerangnya. Ia juga harus menikah? Dan dijodohkan dengan putri entah siapa seperti nasib Jayantaka? Oh tidak.

"Ampun, Ayahanda Prabu. Hamba sudah punya calon sendiri," potongnya cepat sebelum Ayahandanya menyebutkan siapa calon istrinya.

Jnanashiwa menaikkan alisnya. Dan secara tak terduga ia pun tertawa keras mendengar ucapan putranya. Prameswari yang adalah ibu kandung Ranggadewa ikut tersenyum bahagia.

"Benarkah itu, Ranggadewa?"

"Benar, Ibunda." Ranggadewa mengangguk pasti sambil melihat Jnanashiwa lewat ekor matanya. Ia merasa sedikit takut jawabannya membuat ayahanya tak suka.

Tapi Jnanashiwa justru tertawa. Sepertinya itu pertanda baik. Dia menatap tajam pada kedua putranya. "Bagus. Kalian sudah punya calon masing-masing sekarang. Dan aku mau pernikahan kalian dilaksanakan secepatnya."

"Kanda, apakah Patih Ragawa sudah mengetahui hal ini?" tanya Sang Prameswari.

Jnanashiwa menoleh cepat pada istrinya. "Tentu saja, Dinda. Aku dan Ragawa sudah mengaturnya. Bulan depan upacara pernikahan Jayantaka akan dilaksanakan."

Jayantaka menelan ludah. Ia benar-benar tak bisa berkutik sekarang. Seperti dugaannya, Ayahnya tak memintanya tapi memerintahkan dirinya untuk segera menikah. Semua sudah diatur.

"....dan pesta selama empat puluh hari empat puluh malam." Sambung Jnanashiwa dengan pongahnya. Dia akan mengadakan pesta besar-besaran rupanya.

"Jayantaka, pergilah ke kedaton kepatihan. Temui Ragawa dan katakan padanya kau sudah menyetujui rencana ini. Kau juga bisa sekalian menemui calon istrimu di sana."

"Baik, Ayahanda Prabu."  Tak ada yang bisa dilakukan atau dikatakan pangeran itu selain mengiyakan apapun kata sang ayah. Jika tidak, bukan mustahil ia akan dipenggal oleh Jnanashiwa.

"Dan siapa calon istrimu, Ranggadewa?"

*******

"Apa katamu?"

Suara Jnanashiwa melengking tinggi. Membuat Ranggadewa begitu terkejut sekaligus heran. Ia terkejut dengan reaksi Jnanashiwa. Raja Puranggahu itu tampak berang dan ia tak mengerti kenapa?

"Putri Resi Gaharu katamu?" Jnanashiwa menggeram. Matanya menyala-nyala.

Sungguh ia tak membayangkan ayahnya akan semurka itu padanya. Pikirnya putri seorang resi juga kalangan terhormat karena termasuk kasta brahmana, kasta yang tertinggi. Ia merasa tak salah pilih. Namun kenapa ayahnya malah memurkainya begitu ia mengatakan siapa calon istrinya.

"I...iya, Ayahanda. Ke...kenapa....?" tanya Ranggadewa terbata takut salah bicara.

Jnanashiwa langsung menyembur. "Kau ini bodoh atau apa? Gaharu itu tidak punya anak perempuan, kau tahu?"

Giliran Ranggadewa yang terkejut. Seperti ada petir yang menyambar kepalanya. Antara terkejut, bingung dan takut akan kemarahan ayahnya membuat Ranggadewa tak mampu berpikir tenang.

Ia sudah membayangkan hidup yang bahagia bersama kekasihnya namun tiba-tiba saja bayangan indah itu direnggut paksa. Senyumnya pun menghilang. Ia sekarang hanya berdua saja dengan ayahnya di ruang makan yang besar itu. Ibunya, kakaknya juga adiknya sudah keluar setelah acara sarapan selesai.

Dan apa kata ayahnya baru saja? Resi Gaharu tidak punya anak perempuan? Lalu Prasasti anak siapa? Siapakah yang berbohong dalam hal ini? Ranggadewa menggeleng cepat, tak mengerti sekaligus tak percaya.

"Tapi....Paman Resi sendiri yang mengakuinya, Ayahanda. Dia bilang Prasasti adalah putrinya."

PRASASTIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora