Chapter 15 - Sebuah Amaran

Start from the beginning
                                    

Seelah kurang lebih ada tiga puluh menit, mereka semua masih berada di kamar inap Ardanu. Tetapi, karena Bu Naya harus kembali ke sekolah untuk kembali mengajar ia menuju ke sekolah terlebih dahulu. Sebenarnya tidak ada bedanya dengan Bara dan Cantika. Mereka juga harus kembali ke sekolah, tetapi dengan caranya menolak ajakan Bu Naya, Stevlanka tahu jika mereka akan memillih bolos. Dengan Alibi jika nanti akan menyusul.

Saat ini Stevlanka mengantarkan Bu Naya ke luar. Di sepanjang koridor rumah sakit, Stevlanka mencari kata-kata yang tepat untuk mencari informasi tentang Caya. Jika tanya langsung tentang alasan Caya ingin mengakhiri hidupnya akan terkesan lancang. Stevlanka terus mengigit bibirnya.

"Ada apa, Stevlanka?"

Stevlanka menoleh. Ia merasa tertangkap basah memikirkan sesuatu. Entah ini perasaan Stevlanka sendiri atau bagaimana, Stevlanka bisa merasakan tatapan Bu Naya berbeda di awal mereka bertemu. Beberpa kali Bu Naya bisa tahu apa yang Stevlanka pikirkan. Dan juga tatapan matanya yang menunjukkan kepedulian. Tetapi pemikiran itu terkadang lenyap begitu saja karena mungkin saja Stevlanka banyak berharap akan diberikan kepedulian orang lain.

"Tidak, Bu." Stevlanka tersenyum. "Oh, iya, seperti yang Bu Naya katakan waktu itu kalau Satya memang berbahaya. Dia kembali menganggu saya kemarin."

"Benarkah? Menganggumu seperti apa?" Wali kelasnya itu melebarkan mata.

"Tidak, dia tidak melakukan apa pun. Dia hanya sedikit mengganggu, setelah itu pergi karena Caya membantu saya," jawab Stevlanka.

"Caya? Ah, Caya memang sedikit keras anaknya," bibir wanita itu tersenyum.

"Dia baik, seperti Bu Naya."

"Kamu tahu dia putri saya?"

"Iya, saya tahu."

Meraka berdiri di depan lift, pintu itu terbuka setelah Stevlanka menombol lantai bawah. Mereka sama-sama diam setelah berada di dalam. Hingga Bu Naya kembali berkata, "Saya hampir kehilangan satu-satunya putri saya, Vla. Di kelas sepuluh dia hampir saja mengakhiri hidupnya."

Stevlanka memandang Bu Naya dari samping. Hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Stevlanka tidak menyangka Ia berhasil membuka topik pembicaraan masa lalu Caya. Ia tidak membalas ucapan Bu Naya. Sepertinya Bu Naya akan kembali mengatakan sesuatu sehingga Stevlanka memilih untuk mendengarkan saja.

"Saya tidak pernah tahu apa yang menyebabkan keinginan itu muncul. Saya ibunya sendiri tidak mengerti dengan pemikirannya. Saya selalu gagal mencari tahu apa yang ia rasakan." Tatapan Bu Naya kosong. "Yang saya tahu, saat kelas sepuluh ia hanya mengunci dirinya setelah pulang sekolah. Dan keesokan paginya ada beberapa luka kecil ditangannya. Ia selalu menghindar dari saya. Ada kurang lebih empat bulan dia seperti itu. Setelah menginjak akhir semester satu, dia berniat mengakhiri hidupnya."

Tidak salah lagi. Alasan Caya ingin mengakhiri hidupnya karena kisah cintanya yang tidak sehat. Stevlanka tidak percaya ini. Ia bisa melihat masa lalu seseorang. Bagaimana bisa Stevlanka memiliki penglihatan masa lalu itu?

"Saya tahu ketakutan di matanya begitu besar. Seperti luka yang ia pendam dan meledak saat tidak kuat lagi untuk menahan. Hati saya benar-benar hancur setelah melihat dia di turunkan dari jeratan tali. Ketika dia menjerit karena gagal mengakhiri hidupnya."

Mata Stevlanka berair. Tangannya mengepal, keinginannya untuk mencari berengsek itu semakin besar. Laki-laki itu menghancurkan mental Caya. Bersembunyi dengan rapi. Entah seperti apa wujud luar psikopat gila itu. Stevlanka memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap Bu Naya. Tangannya ia ulurkan di pundak Bu Naya.

"Saya sangat berterima kasih sama Alkar. Saya sangat berhutang budi dengannya," kata Bu Naya tersenyum tipis.

"Bu Naya sampai saat ini tidak tahu apa yang menjadi ketakutan Caya?" Stevlanka tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

DELUSIONSWhere stories live. Discover now