Sosok itu menendang perut Ardanu—tepat pada lukanya. Ardanu tidak bisa melawan lagi. Ia membiarkan tubuhnya menerima rasa sakit tersebut. Di sisa-sisa kesadarannya, Ardanu bisa melihat resleting hodie sosok itu terbuka sedikit, hingga memperlihatkan kerah berwarna putih. Dan tidak salah lagi itu adalah seragam sekolah. Pakaian serba hitam itu hanya digunakan untuk menutupi identitasnya. Setelah itu Ardanu tidak bisa melihat apa-apa. Pandangannya menghitam.

*****

Stevlanka terburu-buru turun dari taksi. Ia bangun terlambat tadi pagi. Gerbang sekolahnya masih terbuka. Ada Pak Satpam yang berdiri di samping gerbang itu sambil menunggunya. Pak Satpam melambaikan tangannya menuruh Stevlanka segera masuk. Gadis itu berlari. Ia mengucapkan terima kasih pada Pak Satpam setelah melangkah gerbang.

Stevlanka memasukan tangannya ke dalam ranselnya. Ingin memastikan jika ia sudah memasukkan ponselnya ke dalam. Sedari tadi ia belum sempat membuka ponselnya. Ia menghela napas lega setelah berhasil mendapatkan apa yang ia cari. Ia membuka ponsel itu sambil terus berjalan.

Langkahnya seketika terhenti karena melihat banyak panggilan dari Ardanu. Ia mencoba menghubungi Ardanu kembali. Ia menunggu beberapa detik dan ternyata tidak ada balasan. Ia ingin mencoba menyambungkan kembali, tetapi terhenti karena private number yang mengirimkan pesan.

Stevlanka menelan salivanya. Ia mebuka sebuah gambar yang dikirimkan. Ia membekap mulutnya. Ardanu tidak sadarkan diri dengan seragam putihnya yang penuh noda darah. Mata Stevlanka melebar dan berkaca-kaca.

Masuk satu pesan lagi.

Kejutan kecil kuberikan. Jika kau ingin menjemput kejutanmu, kemarilah. Rumah Rusun Mimbar. Semoga harimu menyenangkan.

"Sial!" umpat Stevlanka. Ia berbalik.

"Pak, tolong buka gerbangnya," kata Stevlanka panik.

"Loh, sudah masuk—"

"Pak, buka sekarang!"

Setelah Pak Satpam mebuka dengan raut wajah bertanya-tanya, Stevlanka berlari tanpa beterima kasih. Ia berlari menuju jalan Raya. Menghentikan taksi dan menuju Rumah Rusun Mimbar. Wajah cemasnya tidak bisa ia tutupi. Sepanjang jalan gadis itu menggigit jarinya. Matanya berkaca-kaca.

"Ardanu, bertahan ...," gumamnya. Air matanya menetes. Bibirnya gemetar. "Pak, tolong lebih cepat lagi!"

*****

Stevlanka berlari memasuki Rumah Rusun. Napasnya terengah. Ia kembali membuka ponselnya. Melihat foto yang dikirimkan oleh laki-laki gila itu.

"Basement," gumamnya. Ia berlari ke mencari tempat yang ia tuju. Stevlanka mengatur napasnya ketika tiba di basement. Berjalan cepat. Matanya menyusuri di sekelilingnya. "Ardanu .... " Stevlanka terus merapalkan nama Ardanu. Dengan air mata yang berderai. Dan tak lama, matanya melebar ketika melihat laki-laki yang terbaring dengan noda darah yang memenuhi seragamnya. Stevlanka mendekat. Menyentuh pipi Ardanu. Ia meneriaki laki-laki itu yang masih memejamkan matanya.

"Ardanu!" Stevlanka terisak. Ia menyentuh luka Ardanu untuk menahan darah yang keluar. Stevlanka tidak memiliki apa pun untuk menutupi luka itu. "Dan, lo bisa dengar gue?"

Ardanu mengerjapkan matanya. Napasnya tersenggal-senggal. "Lo nggak papa?" Ardanu mengatakannya dengan bersusah payah.

"Bodoh! Lo yang terluka di sini!" teriak gadis itu.

"Gue takut lo terluka, Stevlanka."

Stevlanka menangis keras setelah mendengar Ardanu mengatakan hal itu. Stevlanka ingin menjerit melihat keadaan Ardanu. Saat ia terluka pun masih bisa mengkhawatirkan keadaan orang lain. Ardanu membuat Stevlanka merasa dirinya berharga. Ardanu adalah satu-satunya orang yang memberikan harapan sebesar ini.

DELUSIONSМесто, где живут истории. Откройте их для себя