H

18.1K 3.8K 432
                                    

Aku merebahkan tubuh diatas tempat tidur. Hari sudah malam, dan rasanya sepi sekali. sepanjang sore aku hanya makan sedikit kemudian berbelanja. Peralatan makan, microwave, dispenser, dan sebuah televisi kecil.

Kini benar-benar merasakan hidup sendiri. Bagaimana kelak aku akan bertahan? Bagaimana kalau tetap tidak mendapat pekerjaan? Darimana aku harus mendapatkan biaya hidup?

Kembali aku sampai dalam jurang keputusasaan. Kembali terlintas bayangan wawancara tadi. Semua berjalan lancar, sampai saat kami membicarakan gaji. Aku berpikir, apa memang sebesar itu gaji standard karyawan baru? Atau aku yang salah menuliskan angka? Kucoba mengingat yang didapatkan karyawan baru di kantor lama. Rasanya lebih dari itu.

Saat seperti ini kembali aku merasa gamang. Mau sampai kapan ini semua? Tak terasa aku menangis. Cukup lama sampai dadaku sesak. Meski lelah air mataku tak mau berhenti. Rasa sakit itu semakin menusuk.

Kutatap ponsel yang ada disamping, sedari tadi berkedap kedip. Kusentuh sekilas. Missed calls dari Andien, kuabaikan. Aku tidak butuh siapapun saat ini. Juga tidak ingin berbagi cerita apapun. Apalagi hanya sekedar pertanyaan tentang Bang Sadha. Juga kecemburuan yang tidak beralasan.

Lelah berpikir, aku tertidur, cukup lama terlelap sampai kemudian  tiba-tiba bangun karena ingin pee. Kuseret langkah menuju kamar mandi. Ada bunyi dibagian tengah perutku. Aku tersenyum sedih.

Selesai semua, kubuka kantong belanja tadi. Meraih sebuah mie instant dan sebutir telur. Memasukkan mangkok berisi air ke dalam microwave. Aku makan sambil termenung. Seumur hidup tak pernah makan mie instant saat kelaparan ditengah malam.

Di rumah, ibu rajin memasak karena kami semua suka makan. Lagipula memang ibu selalu ada di rumah, ayah melarangnya keluar, karena sangat menyayanginya. Bukan apa-apa, ibuku menderita  asma. Tidak tahan kalau berada di tempat yang banyak debu. Karena itu rumah kami sangat bersih.

Teringat akan mereka hatiku kembali sakit. Dulu saat kecil, aku tinggal bersama oma dari pihak ibu. Karena mereka tidak ingin kehidupan rumah tangga orangtuaku terganggu. Kejadian saat ibu kandungku merebut ayah dan memaksanya menikah, menjadi peristiwa kelam yang membayangi seluruh keluarga besar. Meski ibuku sudah meninggal saat melahirkan aku.

Aku tinggal bersama mereka semenjak SMU. Alasan Ayah, karena aku sudah besar dan mulai banyak pria yang melirik. Takut Oma dan Opa tidak bisa menjaga. Hal itu tidak serta merta membuat hubungan kami membaik. Meski ibu tidak mengatakan apapun.

Kami semua adalah pemain sandiwara, seolah tak pernah ada masalah. Ibu dan ayah tetap bisa bersikap baik dihadapanku. Dan aku menghormati mereka berdua. Seperti yang selalu diajarkan Oma dan Opa.

Kembali kepalaku sakit saat mengingat keluarga. Entah kenapa aku tidak merindukan satupun dari mereka, atau barangkali belum. Tapi aku percaya, akan ada satu fase dalam hidup, dimana kita ingin kembali ke tempat dimana kita berasal.

Kuraih ponsel sambil tetap berusaha menyuapkan mieku. Ada pesan dari Bang Sadha ternyata. Kulihat jam pengiriman, baru lima belas menit lalu. Ia hanya bertanya, apakah aku sudah tidur.

***

Sadhana

Aku tahu Aya membaca pesanku, tapi tidak ada balasan. Jujur aku khawatir dengan kondisinya saat terakhir kami bertemu. Ia belum siap menjalani kehidupan normal. Namun terlalu memaksakan diri.

Penasaran dengan semua, akhirnya aku mencoba meneleponnya. Pada dering kelima baru diangkat.

"Malam, Ay."

"Malam, Bang." Jawabnya lemah.

"Aya habis nangis lagi? Kenapa?"

"Iya, ngerasa sendirian."

USIA 34 /OPEN PO/Versi EBOOK tersedia Di IBUK.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang