E

19.9K 4.1K 684
                                    

Ternyata ada  pembaca saya yang tinggal di luar Indonesia ya? Bahkan eropa. Selain arab dan Malaysia yang menempati urutan teratas... Salam kenal buat kalian semua..

***

Andien berteriak kegirangan saat kuberitahu bahwa Bang Sadha akan bergabung. 

"Gimana caranya lo ngerayu dia?" Tanyanya tak percaya.

"Nggak dirayu, dia menawarkan diri."

"Ya ampun Aya, gue aja selama ini ngajakin, dia nggak pernah mau. Nah elo, sebentar aja udah, diajak."

Aku memilih untuk tidak menjawab. Kalau dibiarkan Andien akan berkomentar terus sampai tengah malam tentang Sadha. Aku sudah bosan mendengarnya.

***

Malam ini kami bertiga turun ke Bandung, menggunakan mobil Bang Sadha. Setelah sebelumnya menikmati makan malam masakan Tante biring dengan menu daun singkong tumbuk plus ikan teri sambal.

Baru kali ini aku makan menu itu. Dan rasanya cukup aneh dilidah. Entah karena makanan baru. Sementara Bang Sadha bahkan sampai menambah nasi dua kali. Terlihat ia sangat menikmati hasil masakan ibunya.

Kami memasuki sebuah klub ternama dikawasan Setia Budi.  Suasana hingar bingar, segera terasa. Jujur ini sebenarnya bukan tempatku favoritku. Tapi berhubung  sedang butuh suasana lain aku menurut.  Meski sebenarnya adalah pelarian, karena sudah enggan menangis.

Apalagi membayangkan pesta pernikahan yang seharusnya menjadi milikku. Tapi inilah kenyataannya, aku terdampar ditempat ini bersama Andien dan pria yang baru kukenal. Entah apa yang terjadi dalam pesta itu. Aku lelah memikirkan semua.

Bang Sadha  segera meminta ruangan VIP, karena dia bilang agak malas dengan suara berisik. Andien sudah  mulai menggoyangkan tubuhnya dan  segera menuju lantai dansa. Sementara, Aku memilih mengikuti pria itu.

"Kamu mau  minum apa, Ay?"

"Yang bersoda saja, Bang."

Ia memesan segelas vodka dan minuman pesananku. 

Kami kemudian duduk di sofa yang terasa empuk.

"Kok bengong?" Tanya pria itu lagi.

Aku menggeleng sambil menimang ponsel yang sudah beberapa hari kumatikan. Bang Sadha tampaknya memperhatikanku.

"Kenapa ponselnya?"

"Mau diaktifin tapi takut." jawabku jujur.

"Takut kenapa?"

"Ada yang menautkan pesta pernikahan dan memberi informasi. Rasanya aku belum siap." Jelasku.

"Tapi kamu tetap harus menggunakannya. Bagaimana nanti cari kerja kalau nggak punya nomor ponsel?"

"Aku nggak siap." Jawabku putus asa.

Pria itu menatapku lembut.

"Aku juga dulu begitu saat baru cerai. Nggak punya pekerjaan,  dan masih harus menjawab pertanyaan orang tentang perceraian,  karena selama ini kami terlihat harmonis. Kadang aku mau marah, tapi akhinya sadar itu nggak berguna. Semua sudah terjadi, dan aku merasa sudah melakukan yang terbaik.

Berbulan aku menstalker akunnya, karena tidak sanggup kehilangan. Sampai akhirnya sadar, kalau semua sia-sia. Terlalu sakit, saat melihat dia bisa melanjutkan hidup tanpaku, dan bersikap biasa aja seolah nggak ada masalah."

"Sakit banget ya, Bang."

"Banget, Aya. Saat itu aku tidak tahu apa salahku. Aku bukan pemabuk, bukan penjudi, nggak pernah selingkuh. Tapi sepertinya tekanan keluarganya agar berpisah denganku terlalu kuat. Dan akhirnya setelah kami punya dua anak,  dia menyerah.

USIA 34 /OPEN PO/Versi EBOOK tersedia Di IBUK.Where stories live. Discover now