Sentuhan Ibra

3.5K 322 32
                                    

"Sayang kenapa lama sekali, aku tunggu dari tadi di dalam mobil tapi kamu tidak kunjung juga datang. Karena itulah aku susul ke sini," kata Ibra menatap Izma dengan penuh cinta, tatapan mata Ibrahim benar-benar begitu hangat membuat Izma tersenyum manis ke arah Ibra.

"Eh iya Sayang, aku hanya berbicara sebentar, dengan dia," kata Izma sambil menunjuk ke arah Azam.

"Halo Azam, kita berjumpa lagi sekarang, oh iya apa kamu sudah tahu bahwa aku sudah bertunangan dengan Izma, ya kan Sayang?" kata Ibra sambil mendekap lembut tubuh sang kekasih lalu mengecup kening Izma dengan penuh kasih sayang.

Izma sempat terkejut dengan sikap Ibra yang begitu mesra kepadanya, pasalnya selama ini Ibra bahkan tidak pernah menyentuh dan mengecup dirinya seperti itu.

Sentuhan lembut Ibra kepada Izma membuat Izma begitu malu, wajahnya memerah dengan seketika, sedangkan Azam kini hanya bisa menjadi seorang penonton seorang manusia yang tersakiti karena keadaan.

"Ya Tuhan rasanya sakit sekali, melihat Izma dipeluk dan dikecup seperti itu di hadapan mataku sendiri, rasanya aku ingin membunuh pria itu, membunuh si Ibrahim brengsek itu karena sudah berhasil mengambil Izma dariku." Azam berkata di dasar hatinya sambil mengepalkan tangannya.

Rasa cemburu sudah membakar seluruh jiwanya, dia kini sedang berusaha untuk menahan emosinya karena hampir saja meledak. Pria mana yang rela dan ikhlas mantan istrinya diperlakukan dengan mesra oleh laki-laki barunya, bahkan itu di depan matanya sendiri.

"Selamat untuk pertunangan kalian," kata Azam dengan suara yang rendah. Azam mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa sedihnya dia hanya terfokus kepada Izma dan menatap dengan tajam.

"Sayang haruslah kita mengajaknya untuk makan siang bersama. Lihatlah aku sangat lapar Sayang, apa kita akan terus di sini?" tanya Ibra kepada Izma.

"Ibra tidak baik membawa orang luar bersama dengan kita, bukankah kita akan membahas hal yang lain yang lebih pribadi daripada ini, jadi maaf aku tidak bisa mengajak orang lain," kata Izma sambil tersenyum manis ke arah Ibra, terlihat begitu bahagia dengan kedatangan Ibra.

Ibra Pun yang tadinya canggung kepada Izma mendadak menjadi begitu lembut dan romantis. Mungkin itu adalah faktor kesengajaan untuk memanas-manasi Azam, dan benar saja kini Azam sudah berada di dalam kuali panas kecemburuan yang telah membakar seluruh tubuhnya.

"Oke baiklah Sayang, kalau itu memang maumuz kalau begitu kita berangkat, maaf Azam kami tidak bisa membawa serta dirimu, kalau ternyata Izma tidak suka ada orang ketiga diantara kita," kata Ibra dengan menorehkan senyum sinis pada Azam.

"Lanjutkan saja agenda kalian, karena aku akan segera pulang ke Indonesia. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku disini, karena memang jam terbangku sebentar lagi," jawab Azam dengan tubuh yang bergetar, menahan semua amarah di dalam kalbunya, melihat sikap Ibra yang begitu romantis kepada Izma membuat Azam benar-benar merasa hancur.

Kesakitan yang dia rasakan saat ini benar-benar sudah membuat napasnya begitu sesak, dadanya seolah terhimpit dan benar saja seolah ada batu besar yang menggunung di atas dadanya, membuat dia benar-benar sianosis.

"Oke Azam, kami pergi dulu, permisi," kata Izma sambil pergi bersama Ibra, mereka berdua pergi dengan santai, Ibra menggandeng tangan Izma dan Izma pun memeluk lengan Ibra.

Melihat kemesraan yang begitu jelas di matanya. Azam benar-benar tidak bisa melangkahkan kakinya. Dia hanya bisa terduduk di dalam Apotek tersebut dia mencoba untuk menetralisir amarah di dalam jiwanya.

Dia tidak menyangka rasa cemburu benar-benar menyakitkan. Dia tidak mengira rasa cemburu benar-benar menyiksanya begitu dalam.

"Ya Tuhan Izma, rasanya sangat sakit." Azam terus terdiam merasakan kesakitan yang kini sudah menusuk hatinya.

"Aku harus apa agar aku tidak merasakan kesakitan yang seperti ini lagi, benar-benar tubuhku seolah tidak berdaya, lemah dan tak bertenaga, aku melihat senyummu untuknya, bukan untukku lagi, aku melihat pria itu merangkul dan  rasanya aku ingin mematahkan tangan yang merangkulmu itu."

"Tuan apakah anda membutuhkan sesuatu?" Tiba-tiba saja seorang pelayan Apotek datang.

"Iya Nona, saya membutuhkan multivitamin," jawab Azam dengan suara yang rendah, pria itu masih menetralisir rasa marahnya karena cemburu sudah membuat kepalanya seolah terbakar dan ingin meledak.

"Oke Tuan Ini vitaminnya. Anda tinggal memilih mau yang mana."

"Aku tidak meminum semua ini Adakah yang yang lainnya?" tanya Azam dengan suara yang rendah, pria itu merasakan kesakitan dalam dadanya, sakit karena rasa cinta yang telah menusuk seluruh jiwanya. Mencintai itu memang indah tetapi jika seperti ini hanya bertepuk sebelah tangan maka semuanya seolah hancur lebur.

Setelah menerima multivitamin dari pelayan toko tersebut, akhirnya Azam memutuskan untuk segera berangkat ke bandara dia melangkah benar-benar sekolah melayang, pikirannya kemana-mana tidak tentu arah.

Kemarahannya akan kejadian tadi belum juga mereda, dan membuat dia bahkan tidak tenang sama sekali.

"Bagaimana caranya aku melupakan kejadian tadi, mereka begitu mesra di hadapanku, mungkin di belakangku mereka melakukan hal yang lebih dari itu, rasanya sangat menyiksa. Aku tidak tahan dengan rasa sakit ini, rasa cemburu yang terus-menerus membakarku, membuat aku merasa ingin berteriak. Kenapa kamu tidak mati saja Azam, dari pada hidup menderita seperti ini?" lirih Azam di dasar hatinya dia itu benar-benar kesulitan bernapas.

Pikiran Azam yang kacau membuat dia melupakan bahwa kini dia sedang berada di dalam pesawat, dan bahkan sudah hampir sampai di Indonesia. Ketika pesawat mendarat barulah dia merasakan keterkejutan dan teramat dalam.

"Ya ampun, ada apa ini, kok cepat sekali sampai di Indonesia." Azam mengala napas dengan panjang. Lalu setelah pesawat berhenti dia pun langsung turun.

Sesampainya di rumah Azam disambut suka cita oleh buah hatinya yang bernama Namira. Oke fix Namira adalah anak angkat Azam tetapi Azam sangat mencintai balita tersebut.

"Ayah." Anak itu berteriak dengan begitu kencang.

"Namira, anak Ayah," kata Azam sambil memeluk buah hatinya.

"Namira rindu Ayah." Anak itu bergelayut manja kepada Azam, anak yang berusia 5 tahun yang selama ini selalu mengisi kekosongan hati Azam. Mungkin jika kelak Azam bersama dengan Namira, berjumpa dengan Izma, mungkin saja akan menyangka bahwa itu adalah anaknya Azam dan Aliza, padahal itu adalah bayi yang Azam pungut di rumah sakit karena ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

"Ayo Sayang kita duduk di sana, Ayah cape sekali," kata Azam sambil duduk di santai. Menatap ke arah buah hatinya yang tersenyum dengan manis kepadanya.

Dokter Izma 3 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang