Part 2 - Daun Mantra

11 0 0
                                    


“Kamu, kuberi tugas sederhana. Sepertinya Cuma kamu yang cocok menjalankannya. Lagian, tak ada makhluk lain lagi yang bisa aku suruh,” kata sosok itu. Suaranya menggelegar, menggetarkan kedua gendang telingaku.

“Tugas apa?”

“Ini, baca sendiri!” katanya sambil melemparkan sebuah kertas. Ah, sebuah daun matra lebih tepatnya. Selembar daun yang membuatku penasaran sejak tadi.

Kuterima daun itu, kemudian membacanya. Hanya ada 1 kalimat ‘Menjadi Tuyul Istimewa’. Ah, perintah macam apa ini. Dan Tuyul? Astaga bahkan mendengar namanya baru hari ini. Dua kali lebih tepatnya karena tadi aku mendengarnya menyebut tuyul.

Kalau diingat-ingat, tuyul tadi berkepala plontos dan hanya mengenakan celana dalam berwarna putih. Apa-apaan ini.

Sial!
Sial!
Sial!
Jelas aku menolak.

“Aku tidak terima! Menjadi tuyul katamu? Yang benar saja, cih ... ogah,” teriakku pada sosok itu.
“Kamu berani membantah?” tanyanya dengan sorot mata marah.

“Ya!” jawabku tegas.

“Kalau membantah tugas yang ada, kamu akan dikutuk menjadi batu. Bisa kembali seperti sekarang jika ada perempuan yang rela memelukmu.” jelasnya. “Dan ... aku yakin, jutaan tahun sekalipun, tak akan ada perempuan yang mau memeluk sebuah batu. Kamu pilih mana?” Dia benar-benar memberiku pilihan yang sulit. Antara memilih menerima tugas atau mendapat  kutukan. Keduanya benar-benar hal yang tidak bisa aku pertimbangkan. Andai ada pilihan ketiga tentu aku akan memilihnya.

“Baiklah ... baiklah ... aku menerima tugas ini. Seistimewa apa itu?” Akhirnya aku memutuskan untuk menerima tugasnya. Ya ... walaupun ini tak sesuai dengan hati kecilku. Menjadi seorang tuyul bukanlah keinginanku. Apa-apaan ini, tuyul? Makhluk macam apa itu? Bertubuh pendek, hampir telanjang, mengenakan celana dalam putih dan ah kelapa plontos.  Semua hal yang ada pada tuyul aku sangat membencinya.

“Kamu akan tahu setelah mengalaminya sendiri.” Dia berkata sambil tersenyum sinis.

“Ya ... ya ... ya ... itu akan menjadi rahasia kamu dan mantra sialan ini. Kapan tugasku di mulai?” tanyaku tak sabar. Ingin segera aku pergi dari tempat terkutuk ini. Melihatnya senang karena aku menerima tawaran ini sungguh membuatku muak. Wajah sinisnya mendadak mengerikan. Tak setampan tadi saat dia membagi tugas untuk makhluk lain.

“Sabar dulu. Aku harus menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan. Buka daun mantra kamu. Semua pasal-pasal perjanjian dengan tuanmu ada di sana,” perintahnya.

Aku membuka daun, melirik kunci yang ada. Membolak-balik, atas-bawah, kiri-kanan tetapi tak kunjung terbuka atau bergeser penutupnya. Sekali lagi aku coba untuk menyobeknya, daun ini seperti baja. Keras dan tak mau goyah. Kucoba merenung dan berdiam diri. Melirik sosok yang hanya melihat polah tingkahku. Tanpa suara atau memberi tahu.

“Bagaimana caraku membukanya?” Akhirnya aku mengalah untuk bertanya. Setelah sekian lama tak terbuka, aku merasa seperti berabad-abad lamanya.

“Ia tidak akan terbuka sebelum takdir yang membawamu membukanya.” Dia menjelaskan dengan suara yang mulai bersahabat dan wajah yang melunak.

“Lalu ... mengapa mereka yang dahulu bisa membukanya secara langsung? Aku bisa melihat dari pojok sana. Ada raut muka sedih, senang, tak jarang pula terlihat marah saat membuka daun mantra itu. Apa yang membedakan diriku dengan mereka?” Aku berfikir. Menimbang-nimbang segala perbedaan dan ketidak samaan antara aku dan mereka. Namun, tiada satu pun yang bisa aku temukan.

“Sudah kubilang kamu itu berbeda. Jangan samakan dirimu dengan makhluk rendahan seperti mereka. Yang hanya bisa menerima tugas tanpa bisa mengambil keputusan. Yang hanya bisa menerima perintah tanpa perlu berpikir panjang.” Dia menjelaskan. Kalimat panjang yang terucap dari bibirnya tak mampu aku tangkap.

“Menjadi tuyul istimewa,” kata-kata itu yang selalu aku ulang-ulang. Mencoba memahami maksud dan tujuannya.

Sejenak melupakan daun mantra sialan, rasa hati ingin segera terbuka dan pergi. Namun, berdiam diri di sini juga tak seburuk itu. Lama sudah kita bercengkerama, dan kalian belum mengenalku sepenuhnya. Aku sendiri tak mengerti mengapa takdir membawaku ke tempat persinggahan ini. Namun, yang pasti aku mengingat dengan sangat jelas bahwa aku bukan berasal dari tempat ini. Aku adalah seorang pangeran dari dimensi sebelah, yang terjebak dalam pusaran waktu sehingga terdampar di tempat yang pengap dan penuh kegelapan.

Ken, kalian bisa memanggilku demikian. Serta sosok terakhir menemaniku di sini adalah seorang penjaga gerbang dimensi. Di mana tugasnya adalah memberi perintah kepada para makhluk tak kasat mata atas permintaan dari cenayang di bumi. Itulah yang aku tahu saat kami bercakap-cakap dengan penuh rasa persahabatan. Baru kuketahui dia punya nama, Simmons. Nama yang aneh untuk seorang penjaga dimensi bumi. Ah ... sudahlah, mengapa aku harus memikirkan dia? Sedangkan untuk menghadapi masa depanku saja aku tak mampu. Semua masih menerawang. Aku ingin kembali ke dimensiku.

Kupejamkan mata, berharap waktu akan segera berlalu. Aku sendirian sedangkan Simmons kembali beraktivitas untuk mengatur permohonan. Kembali ruangan ini rame dengan aneka bentuk makhluk. Yah ... baru aku ketahui dari Simmons jika ternyata mereka ini datang dan pergi hanya jika ada perintah. Sedikit banyak aku mengenal mereka dari Simmons.

“Ken,” panggil Simmons seraya menepuk bahuku.

"Daun mantramu mulai bereaksi. Tak ingin coba membuka kembali?” tanyanya kemudian.
Segera kulirik daun mantra yang kutaruh di samping, memang benar mulai ada sedikit pendar cahaya berwarna jingga keemasan.

“Taruh telapak tangan kananmu di atas tulisan tuyul istimewa!” perintah Simmon. “Sekarang! Cepat! Sebelum cahaya memudar.

Gegas kutaruh telapak tangan di atasnya. Tak berapa lama daun itu mulai terbuka. Memperlihatkan perjanjian-perjanjian yang harus aku penuhi.

“Beri ia setetes darahmu,” perintah Simmons. Dia memberikan sebuah jarum untuk menusuk jempol tangan.

“Apakah harus?” tanyaku padanya. “Kulihat mereka tak perlu melakukan ini,” lanjutku sambil menunjuk kesalah satu makhluk di depan sana.

“Sudah kubilang, kamu berbeda dari mereka. Ada hal khusus yang harus kamu lakukan untuk menerima tugas.”

Tak perlu dua kali pikir, langsung saja aku beri setetes darah di lubang daun mantra. Tak berapa lama, daun itu berubah bentuk menjadi sebuah cincin berwarna putih keperakan dengan ukiran naga di sekelilingnya. Cincin itu melingkar manis di jari tangan kananku. Cincin yang elegan tetapi sangat aneh.

Kucoba melepasnya.
Sekali
Dua kali
Tiga kali

Namun, tak urung juga cincin ini terlepas. Kulirik Simmons yang melihat tingkahku. Seperti biasanya. Dia hanya tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang lantang memenuhi seluruh area tempat ini. Membuat beberapa makhluk melihat ke arah kami dengan tatap penuh keheranan.

“Ha ... ha ... ha ... Ken ... Ken ... kamu tak akan bisa melepas cincin ini. Kamu sudah terikat kontrak dengan Putri Naga Api yang di buang ke bumi.  Tugas pertamamu adalah mengabdi di keluarga Abiseka. Menjadi tuyul untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, jangan lupa dengan tugas utamamu menemukan sang Putri Naga Api untuk membawanya kembali ke dimensinya. Ah, iya. Nama Ken terlalu bagus untuk seorang tuyul, ganti namamu dengan Ucil!” perintahnya kemudian.

“Bagaimana caraku menemukan sang putri?”

Tuyul Jadi MantenWhere stories live. Discover now