Part 1 - Lorong Gelap

17 0 0
                                    


Aku merasakan dunia tampak gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya kegelapan dan kesunyian. Mata ini terbuka, tetapi yang tampak hanya sebuah bayangan hitam. Dengan tertatih aku berjalan, sesekali merangkak, terkadang meraba-raba. Kosong. Hampa tanpa ada sebuah cahaya. Entah di mana aku berada.

Lama aku berjalan, hanya berputar-putar. Ke sana kemari mencari sebuah jalan keluar. Semakin jauh aku melangkah ternyata semakin pekat suasana yang tercipta. Hening, tanpa ada suara. Bahkan napas yang berhembus pun terdengar cukup keras di telinga. Aku bagaikan hidup dalam sebuah labirin waktu. Kotak hitam tanpa batas dan dinding beku, mendinginkan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah lorong kecil yang terlihat lebih terang. Ada pendar cahaya di sepanjang jalannya. Tidak terlalu terang memang tetapi cukup untuk membedakan antara kegelapan dan remang-remang.

Secara perlahan aku mengikuti jalan yang yang panjang. Lama sekali aku berjalan hingga napas yang tersisa semakin tersengal. Aku lelah, inginku berhenti namun pekat seakan mengikuti. Ah, bukan. Lebih tepatnya pendar cahaya hadir di sekeliling tubuhku. Menyelimuti raga ini hingga sedikit demi sedikit terlihat. Bukan tampak semu.

Aku melihat kedua tangan yang yang sempurna, tubuh yang sederhana. Kuputuskan untuk terus berjalan mengikuti kata hati. Jauh di depan sana, mataku menangkap ada sebuah kotak-kotak penuh pendar cahaya. Tak jauh dari sana ada sebuah buku hitam, terbaca dengan huruf aksara jawa kunonya yang tak bisa aku mengerti artinya. Aku pegang kemudian membukanya secara perlahan. Bagai tersedot dalam sebuah ruangan. Aku merasakan tubuh ini mengecil, menyusut. Tahukah kamu bagaimana rasanya? Badan seperti terbelah dua, hati berdebar tidak karuan, dan yang pasti otak ini seakan membeku.

Di ruangan ini, aku menemukan banyak makhluk aneh, ada yang berkaki empat dengan moncong, ada yang berkaki dua tanpa pakaian, ada yang berkepala botak bercelana dalam, ada pula yang berambut panjang, gondrong dan gimbal. Ada yang berkulit hitam, ada pula yang berkulit merah seperti api. Tempat apakah ini? Begitu banyak makhluk aneh dan asing.

Tak ada yang bersuara, hanya hening. Walau makhluk aneh ini berkumpul tetapi mereka hanya diam saja. Memperhatikan sosok di depan sana. Aku memperhatikan dari barisan paling belakang.

“Hai, kamu!” Aku mendengar suara memanggil seseorang. Kuamati apa yang ia lakukan, bercakap-cakap kemudian memberi selembar kertas kepada seseorang, ah apa yang bisa kusebut, sesosok? Bukan juga, seekor? Bukan juga. Entah apa yang pantas aku sebut untuk makhluk seperti dia.

“Ini kontrakmu. Besok langsung lewat  lorong kanan nol dua. Majikanmu sudah menunggu di pojok ruangan.” Suara itu memberikan perintah. Sesosok pendek, kecil nan botak,  hanya mengenakan sebuah celana dalam berwarna putih itu berjalan menyusuri lorong sesuai perintah. Sambil membawa sebuah kertas, ah bukan itu semacam daun mantra.  Baru kuketahui sekarang, jika makhluk berkepala plontos itu bernama tuyul.

Di sisi lain,  entah sudah berapa puluh makhluk yang dia beri daun mantra. Di sekelilingku hening. Tinggal aku seorang diri. Kutolah-toleh, rasa hati bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya berdiri, terdiam tanpa melakukan apa pun.

“Heh ... kamu, yang terakhir.” Suara itu terdengar lagi.
“Saya?” Aku bertanya sambil menunjuk diri sendiri.
“Iya ... siapa lagi?” tanyanya. “Apakah ada makhluk lain selain kita berdua sekarang?” lanjutnya kemudian, sambil sesekali jari telunjuknya mengarah padaku.

Aku mendekat dan melihat orang itu sedang berpangku tangan, baru kali ini bisa menatap dengan jelas. Sosok di depanku penuh wibawa. Juga tak terlihat jumawa. Mengenakan pakaian serba hitam dan ... blangkon hitam lengkap dengan keris di pinggang membuatnya tampak gagah. Ah, apa yang aku pikirkan sekarang. Melihatnya sesaat ada debaran yang tak biasa. Bukan ... ini bukan cinta. Melainkan rasa takut atau deg-degan.

“Aku bingung, harus memberimu tugas apa,” katanya tiba-tiba. Sambil sesekali memijat kepala atau menggaruk rambutnya yang kurasa tidak gatal.
Aku hanya bisa meringis, miris. Di saat yang lain sudah berhamburan pergi, aku hanya bisa berdiam terpaku di sini bersama sesosok yang tampak menyeramkan.

Sosok itu terlihat membolak-balik sebuah buku. Berwarna hitam legam. Mirip dengan buku yang aku lihat sebelum tersedot ke ruangan ini.

“Belum ada permintaan lagi,” gumamnya. Entah apa isi buku itu, dia terus saja membolak-balik. Sambil sesekali dia memijit kening, tak jarang pula dia menerawang jauh. Terlihat kebingungan.

Aku berusaha lebih mendekat, dalam jarak dua depa, medan di sekitarku berubah memberat. Untuk melangkah sudah tak kuat hingga akhirnya aku hanya bisa diam berpangku tangan dengan erat. Keadaan memaksaku untuk terduduk dan bersimpuh.

“ha ha ha ha ha ...,” Sosok itu tertawa lantang. Seringainya terlihat menajam. “Kamu tak akan bisa mendekat, medan di sini tak cukup kuat untuk makhluk sepertimu. Kamu belum terlatih. Lihat garis melingkar di bawahmu. Itu batas yang bisa kamu tempuh,” katanya menjelaskan.

“Tempat apa ini?” aku memberanikan bertanya. Masih dengan posisi mendekati sujud. Memang benar, gaya gravitasi di sekitar garis lingkaran menguat. Aku tak mampu menahannya, badan terasa tercabik-cabik. Sakit dan meluka. Namun, luka itu tak berdarah apalagi bernanah.

“Kamu sedang berada di lorong persinggahan, menunggu tuanmu menjemput. Maka kamu akan bebas melanglang buana di negeri atas.”

“Negeri apakah itu?” tanyaku penasaran. Seketika aku tertarik, berharap ada seorang tuan yang mau memungutku. Ah, pikiran macam apa ini. Bahkan, aku tak pernah tahu bentuk dari negeri atas itu seperti apa.

“Orang-orang menyebutnya bumi. Sebuah dunia di mana tempat singgah umat manusia. Kamu, akan melihat banyak hal di sana. Ada banyak pelajaran yang bisa kamu ambil,” katanya.

“Dunia seperti apakah itu?” Aku masih ingin banyak tahu.

“Bumi adalah dunia yang sangat indah, banyak pohon menghijau, samudera yang luas, awan yang berarak, juga sungai yang mengalir deras. Ada gunung juga gedung-gedung yang tinggi. Jauh berbeda dengan tempat ini, hanya sunyi, sepi, gelap serta pengap.” Matanya menerawang jauh, seakan sudah lama ia tak menginjakkan kaki di bumi.

“Mengapa anda berdiam di sini kalau di bumi itu indah?”

“Karena aku diberi tugas untuk menjaga. Memenuhi keinginan manusia. Keserakahan juga kemungkaran. Kamu tidak akan pernah mengerti ....”

Belum selesai dia berbicara, buku hitam yang dia taruh di atas meja mengeluarkan cahayanya. Cahaya pelangi berkilau emas yang membuat mataku silau. Sosok itu berjalan mendekati buku. Membuka bagian yang mengeluarkan cahaya. Tak berapa lama suasana kembali remang. Dia mengamati tulisan yang ada di buku. Matanya terbelalak, tak berapa lama dia melihat ke arahku, dengan seringai yang menghiasi bibirnya. Seringai khas seperti yang aku lihat pertama kali.

“Aha ... aku ada ide.” Dia bergumam sambil tersenyum seraya melirikku.

Tuyul Jadi MantenWhere stories live. Discover now