11 | awal yang baru

Zacznij od początku
                                    


Yeonjun sih, diam saja. Dia juga tak mau ambil pusing, karena di sini ia hanya harus berpura-pura jadi siswa sekolah lamanya dan kembali ke peti kemas setelah manusia aneh itu pulang.


Mungkin Tuhan kini sedang tak berpihak padanya, karena secara mendadak tanduk di kepala Yeonjun lenyap. Itu berarti, Yeonjun kembali lagi ke tubuh asalnya.


Cowok itu tentu panik. Segera mengecek apakah tubuhnya benar-benar kembali ke asal atau tidak. Dan, benar saja. Tangan yang ia julurkan keluar dari atap halte membuat air menembus.

Gawat.

"Eh, lo ngapain?!" Minhee langsung panik ketika Yeonjun dikiranya akan bermain hujan-hujanan. "Jangan hujan-hujanan kalo lo belom dijemput. Di sini aja, ya?"

Yeonjun bergeming lama dengan mulut terbuka lebar. Dia bisa liat gue?

Tak lama, cowok mengangkat tas kembali, seperti posisi ketika mereka pertama kali bertemu. "Gue harus pulangㅡeh? Bando lo disembunyiin ke mana?" tanyanya bingung, karena tak melihat tanduk di kepala Yeonjun lagi.

"Bukan bando anjir. Lo kira gue cewek? Lagian ngapain gue sembunyiin." Lama-lama rasanya kesal juga harus berbicara dengan manusia kepala batu seperti Minhee.

Minhee mengangkat alis tak peduli. "Terserah. Gue pulang duluan deh." Cowok berponi tebal itu berbalik badan untuk berancang-ancang lari dari rintik hujan. "Oh iya!"

NGAPAIN LAGI SIH ANJIR? umpat Yeonjun kesal. Padahal baru saja ia akan berancang-ancang untuk kabur juga. Kalau begini caranya, rencana untuk main PS di markas saat hujan-hujan begini akan pupus begitu saja.

Minhee sialan.

"Lo anak kelas sepuluh apa? Kok gue kayaknya belom pernah liat lo?" tanya Minhee yang masih setia berdiri di ambang antara kering dan basah.

Ini dia yang paling jadi masalah. Ia sudah terlanjur mati dengan seragam sekolahㅡmembuatnya sampai kapan pun akan memakai itu kalau ia tak ada niatan untuk menggantinya saat berubah menjadi manusia.

"G-gue anak baru. Kelas sepuluh-satu."

Ia berharap kalau Minhee tidak di kelas itu juga, karena kalau memang begitu ... terpaksa Yeonjun harus benar-benar menjadi siswa di sekolah lamanya lagi.

"Oh, serius?! Gue sekelas sama lo, dong? Kapan lo masuk sekolah?"

Tapi, Tuhan sepertinya benar-benar mengutuk Choi Yeonjun. Memerintah keras agar ia tahu semua balasan atas kesalahannya saat benar-benar masih hidup dulu.

***

































































"Kak, serius! Lo tuh mau bikin gue sadar atau sengsara, sih?!"

Kim Namjoon, lelaki yang tengah melipat tangan di depan dada menaikkan alis sebelah. "Kamu berani sama saya dan Tuhan? Saya udah bilang, 180 hari itu Tuhan yang memberkahi, agar kamu tahu konsekuensi atas semua perbuatan kamu!"

"Masih mau protes? Kamu durhaka pada Tuhan, Choi Yeonjun!" Seruan itu berasal dari Namjoon juga.

"Lagian juga, harusnya kamu bersyukur bisa hidup lagi! Enggak banyak orang yang bisa kayak kamu!" Lagi.

"Aaargh! Iya-iya! Terus kenapa temen-temen gue ikut hidup juga?!" Yeonjun mulai frustasi. Ia benar-benar tak suka mendengar nasehat-nasehat tua milik Namjoon.

Namjoon menyipitkan mata. "Ya, biar kamu bisa ambil pelajaran sama mereka juga." Ia memberi jeda untuk menghela napas. "Juga, waktu hidup teman-teman kamu tidak setara dengan waktu hidup kamu."

Kedua bola mata Yeonjun tampak melebar. "Jadi ... gue bisa sendiri?"

Lagi, Namjoon menghela napas. "Ya. Jangan senang juga kamu, karena setelahnya kalian juga akan bertemu di akhirat nanti!"



Begitulah alasan mengapa Yeonjun dan yang lain bisa seperti sekarang ini. Konsekuensi yang membuat Yeonjun sadar akan semua hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

20:00 [✔]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz